Indiah sekali tulisan ini, tiadalah sia-sia Insya Allah.
  Kiranya tidak dilewatkan tulisan ini begitu saja, kecuali kepepet.
   
   
  ~~~~~~~
  posted: "ifan m.l" <ifanml....>
  Realitas Buatan  
(Haedar Nashir)
  
Anda ingin tiba-tiba terkenal lalu kemudian jatuh terhuyung-huyung? Hadirlah di 
media, terutama layar kaca. Di media yang satu ini, orang atau peristiwa datang 
silih berganti dengan cepatnya. Kemarin naik ke puncak, esok dan lusa tiba-tiba 
jatuh tak berdaya. Kendati begitu, dunia yang satu ini tetap memikat dan penuh 
pesona. Selalu menjadi lahan perburuan siapa pun yang mendambakan diri menjadi 
bintang. Menjadi idola banyak orang. Menjadi sebuah perstiwa yang 
diperbincangkan sekaligus diguncingkan publik. 
   
  Namun di pangkuan media pula kejatuhan orang tak terampunkan. Dari artis 
hingga pendakwah tiba-tiba melorot pamornya, semuanya tampil dengan transparan 
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Seketika muncul sebagai idola, tapi 
tiba-tiba namanya redup bagaikan lilin yang kehilangan api. Sosok hingar-bingar 
tiba-tiba hilang dari pasaran. Wa ma baqiyat illa ismuha. Tak ada yang tersisa 
kecuali namanya. Sosoknya pergi terbawa angin. Menjadi sosok yang gampang 
dibuang (disposable), ujar Toffler. 
   
  Media layar kaca (televisi) telah menjadi penentu nasib seseorang atau 
putih-hitamnya sebuah peristiwa. Ketika goyang "ngebor" dikritik publik dengan 
keras, artis pelakunya malah jadi terkenal dan ditampilkan atau di-blow-up 
besar-besaran sedemikian rupa. Bahkan dimunculkan goyang-goyang sejenis yang 
tak kalah erotisnya. Tantanglah media, Anda akan memperoleh jualan yang lebih 
menggeramkan. Si penentang bahkan bisa mengalami nasib tragis, jadi olok-olokan 
publik, karena media berhasil membongkar jejak kehidupannya yang kurapan.
   
  Dalam publisitas media seolah tak ada nalar-rasional, kecuali nalar-simbolik, 
bahkan nalar-maya. Tiba-tiba publik di Tanah Air terjangkiti idiom populer: 
"kembali ke laptop", tanpa harus punya kesempatan mencerna kenapa harus terkena 
virus "laptop" itu. Bahkan anggota DPR malah ikut-ikutan dibelikan laptop 
sungguhan, seolah tak mampu beli laptop sendiri. 
  Mendingan kalai laptop itu digunakan untuk mencatat daftar seberapa banyak 
para wakil rakyat itu menunaikan amanat rakyat dan berapa banyak pula 
melalaikannya. Maklum ingatan manusia itu merupakan memori yang paling buruk 
ketimbang catatan tertulis. Tapi manakala laptop sebagai sebuah kekenasan, 
lebih-lebih karena latah acara di televisi, maka betapa pilunya dunia politik 
dan publik di negeri tercinta ini.
   
  Layar kaca begitu mendewakan sekaligus memproduksi pesona yang mangharu-biru. 
Pesona luar. yang menghibur dan menghipnotis publik. Pesona itu bahkan 
diproduksi ala pabrik. Sesuatu yang semula wajar dan biasa, tiba-tiba jadi luar 
biasa. Menjadi idola atau buruan publik. Guru besar, pendidik, dan para pekerja 
yang gigih berkhidmat untuk bangsa dan negara, akan dengan mudah dikalahkan 
oleh pelawak, artis, dan penghibur yang bermodalkan gerak tubuh. Persis seperti 
produksi kepopuleran tokoh "Twiggy" dari London atau boneka "Barbie" yang 
melejit menjadi idola baru di seluruh dunia, sebagai simbol pesona keunikan, 
keanehan, sekaligus kelatahan. Model rambut, pakaian, gerak tubuh, dan berbagai 
idiom mengikuti dua figur fiktif yang seolah menjadi sosok nyata. 
   
  Manusia digiring secara canggih ke dalam pesona yang diciptakan media. Pesona 
buatan. Alvin Toffler menyebut realitas yang diciptakan media yang penuh pesona 
fantastik itu sebagai citra kinetik (the kinetic image). Citra buatan yang 
serba instan alias seketika. Media berhasil menjadikan Anda sebagai pendidik 
seketika. Da'i seketika, seperti pildacil dan para da'i selebritis. Menjadi 
presenter seketika. Jadi tokoh seketika. Semuanya serbacepat dan menjadi magnet 
massa. 
  Tidak lama kemudian, jika media menghendaki, realitas sebaliknya bisa 
diciptakan seketika pula. Tiba-tiba Anda jadi pecundang seketika. Media seolah 
jadi malaikat baru, menentukan jadwal kapan Anda boleh "hidup" dan juga "mati". 
Media telah menjadi dewa baru yang perkasa, sekaligus perpaduan trinitas yang 
serba memperdaya. 
   
  Dalam dunia yang sarat dengan realitas buatan, yang maya mendominasi bahkan 
memanipulasi yang hakiki. Kesalahan dan kebatilan dikonstruksi menjadi tampak 
serba benar. Hal munkar pun ditampilkan seolah baik seperti logika obral 
kepornoan sebagai keindahan dan keindahan adalah kecintaan Tuhan. Media mampu 
dengan canggihnya membolak-balikkan logika dan nalar hingga moral. Tak ada 
kebenaran yang pasti, yang adalah ada relativitas. Realitas buatan semacam itu 
bahkan mempesona dan diproduksi untuk tetap awet sebagai pesona publik. 
Kendati, sekadar pesona polesan, bukan yang asli.
   
  Dalam realitas buatan, manusia tidak lagi manusiawi. Dalam dunia yang maya 
itu realitas sebagaimana apa adanya, seperti dikumandangkan para filosof 
eksistensialis, tak lagi menarik. Sesuatu yang serba hakiki dan substantif tak 
memikat hati publik yang telanjur dikonstruksi realitas buatan media, bahkan 
tampak kuno dan tak layak. Persis seperti teriakan kaum neo-ekologis, alam tak 
lagi alamiah karena diperkosa oleh para pemilik modal dan mereka yang rakus. 
Akibatnya alam kehilangan energi fitrahnya, lalu beroposisi terhadap manusia 
sendiri melalui berbagai bencana. Kita tak tak tahu persis, apa yang terjadi 
dengan masa depan kehidupan di muka bumi ini manakala manusia dan alam telah 
kehilangan energi autensitasnya, hilang keasliannya. Lebih-lebih jika sarat 
dengan komodifikasi dan manipulasi.
   
  Tapi tunggu dulu. Semakin keras kritik terhadap kemayaan realitas yang 
diciptakan media layar kaca, kian perkasa pula media yang satu ini. Realitas 
buatan terus diproduksi. Media yang memproduksinya tak ubah laksana Firaun di 
era modern. Menjadi kekuatan imperium baru yang tak tertandingi. Media tumbuh 
jadi dewa sekaligus monster yang mengerikan. Para artis selain diproduksi jadi 
sosok-sosok populer dan idola publik, juga jadi objek bulan-bulanan acara-acara 
infotaimnent, tak peduli dengan fatwa Nahdlatul Ulama tentang ghibah. Aib 
pribadi jadi tontonan menarik dan terus diproduksi ke wilayah publik. Manusia 
modern seolah tak risih dengan publikasi aib semacam itu. Potensi muru'ah atau 
rasa malunya menjadi hilang, yang mekar malah nalar instrumentalnya yang haus 
aktualisasi diri.
   
  Media layar kaca bukan hanya perkasa, tetapi juga sarat antagonistik. Di 
bulan Ramadlan dan hari-hari raya keagamaan, mereka tiba-tiba jadi beriman, 
jadi serbasaleh. Tapi selepas itu kembali ke asal, menampilkan sajian-sajian 
serbaboleh. Hingga di sini media memang menjadi etalase kehidupan manusia. Baik 
dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas, beriringan bagaikan 
diaspora. Manusia tinggal memilih, mau yang mana. Sampai di sini pula media 
menawarkan netralitas nilai, tak berpihak pada nilai moral tertentu. 
Acara-acara keagamaan dengan simbol-simbolnya yang menyala-nyala diakomodasi 
sejauh dapat diproduksi sebagai lahan komodifikasi, ajang komersialisasi. 
   
  Tak mengherankan manakala para da'i ceria pun rela hati bertingkah penuh aksi 
yang kadang tak elok dipandang, manakala dan jika memang dikhidmatkan untuk 
memenuhi selera konsumen. Namun ada satu nilai yang tak pernah luput dari 
denyut nadi media, lebih-lebih layar kaca. Yakni nilai uang atau kapital. 
Hingga di sini tak ada netralitas nilai, tapi pemihakan nilai, yakni nilai 
uang. Kaum posmodernisme menyebutnya komodifikasi atau kapitalisasi. Berbagai 
acara, sosok, peristiwa, dan apa pun yang ditampilkan media layar kaca dengan 
penuh warna dan pesona itu, semuanya membawa pesan nilai uang, bahkan 
dikendalikan dan diproduksi oleh kepentingan uang dan pemilik modal. 
   
  Dari sinilah hukum komodifikasi berlaku, semakin canggih realitas buatan yang 
diciptakan, maka semakin tinggi pula keuntungan yang diperoleh para pemilik 
modal yang berada di balik media. Uang dalam sistem kapital, kata sosiolog 
Georg Simmel, menjelma menjadi nilai dari segala sesuatu. Dia tak membutuhkan 
nilai lain, apalagi agama atau moral. Secara sataris, sosiolog Jerman itu 
bahkan menyatakan, ketika uang telah menjadi nilai utama, maka dia telah 
menjadi tuhan yang mendevaluasi tuhan-tuhan lainnya.
   
  Tapi percayalah. Dunia yang penuh permaianan atau realitas buatan, kendati 
digandrungi sesungguhnya tak melahirkan pesona yang otentik. Sekadar pesona 
buatan alias maya. Realitas buatan selalu melahirkan banyak hal yang tak 
hakiki, sesuatu yang palsu. Laksana jabad atau buih, begitulah sindirian Tuhan. 
Dunia buatan semacam itu tak pernah awet dan harum alami, sekadar olesan 
parfum. Weber bahkan menyebutnya sebagai disenchanment of the world. Fenomena 
hilangnya pesona dunia. Dunia yang menjadi kering dan kerdil. Alquran 
menyebutnya sebagai mata' al-ghurur, kehidupan dunia yang penuh permainan. 
Itulah dunia yang penuh gemerlap, tetapi tanpa sukma. 
   
  Haedar Nashir  
Tulisan ini dimuat di Republika Online tgl 25/03/07  http://www.republika.co.id

   
   
   
   
   
   
   

       
---------------------------------
Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di Yahoo! 
Answers

Kirim email ke