"Alhamdulillah, Keluarga Kami yang Meninggal 7 Orang" <http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=view&id=3878&pop=1&page=0&Itemid=62> <http://hidayatullah.com/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=3878&itemid=62> *Mengenal lebih dekat keluarga pendukung Hizbullah, laporan langsung dari Beirut dan Libanon Selatan oleh wartawan hidayatullah.com [edisi lengkap bagian kedua]*
oleh: *Dzikrullah W. Pramudya & Santi Soekanto* * Ketika kami tiba di Qana, Libanon Tengah, dan mencari tempat terjadinya pembantaian warga sipil oleh jet-jet tempur Israel, sebuah sambutan hangat tersembur dari mulut seorang perempuan berpakaian serba hitam. Senyumnya ramah, tapi suaranya menggelegar. "Anda mencari siapa? Tempat pembantaian. Oh iya, di sebelah sana. Lihat saja sendiri kerjaan monyet-monyet Israel itu!"Rupanya amarahnya masih menyala-nyala, meskipun perang sudah lewat hampir sebulan. Kami bersiap-siap menemukan lautan kesedihan, namun yang kami jumpai malah samudera ketegaran. Pertemuan dengan keluarga Syalhub luar biasa dan tanpa diduga-duga. Salah seorang dari kami minta kepada Ahmad Hasyim, pria yang menemani kami, untuk ditunjukkan kamar kecil. Dengan ramah, gadis-gadis keluarga Syalhub yang berpakaian hitam mempersilakan kamar mandi rumahnya digunakan. Setelah itu kami duduk-duduk di teras rumah mereka, di bawah naungan pohon anggur yang teduh. Buahnya rimbun, tapi sudah banyak yang menghitam. "Selama perang tak ada yang sempat memanen anggur,"kata Zainab. Tentu saja mereka tak sempat memanen anggur di teras rumahnya. Tujuh orang anggota keluarga Syalhub wafat pada malam serangan Israel itu. Ayahnya, ibunya, kakak tertuanya, adik laki-lakinya yang masih remaja, dan adik bungsunya yang laki-laki, ditambah 2 orang cucu yang manis-manis tewas tertimpa rumah yang meledak. Tinggallah kini 4 orang perempuan keluarga Syalhub yang cantik-cantik duduk di hadapan kami, 3 diantaranya belum menikah. Wajah mereka serius, tapi kesedihan sudah tak ada bekasnya. "Alhamdulillah kami bersyukur Allah memanggil mereka dengan cara yang sangat mulia, " kata Zainab dalam bahasa Arab. Menurut Zainab, kalau Hasan Nashrallah, pemimpin utama Hizbullah, telah bersyukur kepada Allah karena pernah kehilangan seorang anaknya dalam pertempuran dengan Israel, maka ia dan saudara-saudaranya lebih bersyukur lagi karena telah kehilangan 7 orang sekaligus dari keluarganya. "Ini tandanya Allah sangat sayang kepada kami," kata Zainab. Ia mengaku beberapa hari setelah pembantaian itu sempat menangis bersama adik-adiknya, tetapi tidak sampai meraung-raung apalagi menyesali kematian mereka. Ia lalu mengutip surah Al-Baqarah ayat 154: "*Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya*." Di tengah kecamuk perang 34 hari kemarin, Hasan Nashrallah mengirim pesan kepada para kepala negara dan pemimpin Arab di kawasan Timur Tengah. Begini bunyinya, "Kepada para kepala negara dan pemimpin Arab di seluruh kawasan Timur Tengah, jadilah laki-laki walaupun hanya sehari saja." Sebelum mereka benar-benar tergerak berusaha menjadi lelaki, mungkin sebaiknya para pemimpin Arab itu belajar kepada perempuan-perempuan Qana. Ahmad Hasyim berlutut di pelataran keramik berwarna salem itu, di bawah matahari Qana yang mulai terik. Di depannya sekuntum mawar plastik ia tanam di semen basah, di sela-sela keramik. Ahmad berdoa, matanya tertutup. Pelataran itu adalah kuburan masal bagi jenazah 27 warga Qana yang wafat dibantai jet-jet tempur Israel. Diantara mereka ada Maryam Muhsin, istri Ahmad dan tiga anaknya, Husain 12 tahun, Ibrahim 7 tahun, Ali 3 tahun. Kepada penterjemah kami, Saudara Aziz, staf Kedutaan Besar Republik Indonesia, Ahmad menceritakan kejadiannya. Di malam angkara itu, hari ke-14 Perang Libanon, jet-jet tempur Israel melintas menggetarkan dinding-dinding rumah di kota perbukitan kecil yang indah itu. Tengah malam yang sunyi baru saja lewat. Suara bom-bom dilesakkan meledak di ratusan rumah warga selama berjam-jam. Keluarga besar Syalhub memutuskan untuk berkumpul di rumah Ahmad, seorang montir juga pemilik bengkel. Rumah itu berlantai dua, sederhana, tetapi pemandangannya sangat indah menghadap ke lembah Qana. Ada 50 orang yang berkumpul di rumah itu. Dalam kegelapan malam karena listrik padam, ditingkahi gelegar bom dan suara jet-jet berseliweran memekakkan telinga, 2 buah bom menyusup dan meledakkan rumah Ahmad. Blar!! Isak tangis anak-anak meledak. Ahmad berlari keluar menarik lengan Halwa, anak gadisnya berusia 14 tahun. Lalu duduk di bawah pohon di sudut halaman rumahnya. Ia berkumpul di situ bersama warga lain yang masih hidup sampai fajar menerangi langit. Saat itulah Ahmad merasakan kekosongan di hatinya, menyaksikan Maryam isterinya, dan ketiga anak laki-lakinya telah kembali dipanggil Allah. Mereka meninggal tertimpa reruntuhan rumahnya sendiri. Keesokan paginya Israel mengumumkan, rumah-rumah yang diserang di Qana adalah tempat persembunyian dan penyimpanan senjata Hizbullah. Menurut Israel, sebuah truk berisi pelontar bom Katyusha bikinan Russia, bersembunyi di dekat rumah-rumah yang dihancurkan. Di depan reruntuhan rumah Ahmad, kami berjumpa dengan tiga orang pengacara Muslim asal Inggris, yang sedang menyelidiki benar tidaknya keberadaan truk bermuatan Katyusha itu, untuk menjadi bukti ada tidaknya pelanggaran Konvensi Jenewa oleh Israel. Salah satu butir konvensi itu melarang penyerangan terhadap rumah-rumah warga sipil dalam perang. Para pengacara independen itu datang sebagai utusan dua LSM Inggris yang bekerja sama, IHRC (Islamic Human Rights Commission) dan Oxfam. Ahmad Hasyim menceritakan kisah malam itu tanpa ekspresi. Garis wajahnya yang murung sudah mengeras. Dia bukan saja kehilangan isteri dan anak-anaknya, tetapi juga ayahnya, Ibrahim Hasyim 65 tahun dan bibinya, Hasanah Hasyim, 75 tahun, dan adiknya seorang pejuang Hizbullah. Ahmad mengaku mendapat bantuan dari Hizbullah untuk membangun kembali rumahnya. Ia enggan bercerita lebih jauh tentang soal ini.* * *suami isteri wartawan ini ke Libanon dan Suriah bersama misi kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee*)