Pengasingan Diri (Khalwat & Uzla)
Mawlana Syaikh Hisyam Kabbani ar Rabbani
www.mevlanasufi.blogspot.com
   
  
Bismillah hirrohman nirRohim
   
  Zikir dalam hati merupakan salah satu bentuk pengasingan diri bagi seorang 
hamba. Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan,  “Seorang Baduy datang kepada 
Rasulullah dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah saw! Siapakah manusia terbaik?  
Rasulullah  sallallahu alaihi wasalam menjawab, ‘Orang yang berjuang di jalan 
Allah dengan hidup dan kekayaannya, serta orang yang hidupnya menyendiri di 
sebuah jalur pegunungan di antara jalur-jalur lain untuk menyembah Tuhannya dan 
mencegah orang dari keburukan dirinya (jaa arabiyyun ila al-Nabi faqala ya 
Rasulullahi ayyu khayru al-nas?  Qala rajulun jahidun bi nafsihi wa malih)  
(Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 8, Buku 76, Nomor 501)
   
  Abu Saiid al-Khudri berkata, “Aku mendengar Rasulullah berkata, ‘Akan tiba 
saatnya di mana harta terbaik bagi seorang laki-laki Muslim adalah 
biri-birinya, yang akan di bawa ke puncak gunung dan ke tempat di mana turun 
hujan untuk melarikan diri dengan agamanya jauh dari ancaman (yati ala al nasi 
zamanun khayru mali al-rajuli al-muslim…) (Bukhari dalam Bahasa Inggris, Volume 
8, Buku 76, Nomor 502)
   
  Malik meriwayatkan, “Humayd bin Malik bin Khuthaym ra sedang duduk dengan Abu 
Hurayra  ra di tanahnya di al-Aqiq ketika sekelompok orang Madinah 
mendekatinya.  Mereka turun dari kudanya dan mendatangi mereka. Humayd berkata, 
‘Abu Hurayra berkata kepadaku, Pergilah ke Ibuku dan katakan padanya, Anakmu 
mengirimkan salamnya dan memintamu mengirimkan sedikit makanan.”  Aku pergi dan 
dia memberiku 3 potong roti dan sedikit minyak zaitun dan garam. 
   
  Aku membawakannya kepada mereka.  Ketika Aku letakkan di depan mereka, Abu 
Hurayra berkata, Allahu akbar, segala puji bagi Allah yang telah mengenyangkan 
kita dengan roti setelah masa-masa di mana makanan kita hanya 2 benda hitam, 
air dan kurma.” Orang-orang memakan semua yang tersedia dan ketika mereka 
berangkat, dia berkata, “Anak dari saudaraku, perlakukan ternakmu dengan baik, 
bersihkan lendir dari mereka, tingkatkan makanan mereka, dan shalatlah di 
sekitar mereka, karena mereka semua adalah hewan surga.  Demi Allah yang jiwaku 
berada dalam genggaman-Nya, akan segera datang suatu masa di mana sekelompok 
ternak lebih sayang kepada pemiliknya dibandingkan anak-anak Marwan.’” (Malik, 
Muwatta)
   
  Muslim dan Tirmidzi meriwayatkan, “Abu Hurayra berkata, ‘Dalam perjalanan ke 
Makkah, Rasulullah saw melewati puncak sebuah gunung yang dinamakan Jumdan 
(membeku di tempatnya), pada saat itu beliau berkata, ‘Bergeraklah (siru)!  Ini 
adalah Gunung Jumdan, dan orang yang berpikiran tunggal (al-mufarridun) adalah 
yang paling utama.’  Mereka bertanya, ‘Siapa yang berpikiran tunggal, wahai 
Rasulullah?’  Beliau berkata, ‘Pria dan wanita yang mengingat Allah tanpa henti 
(al-dzakirun allah katsiran wa al-dzakirat).”  
   
  Versi Tirmidzi berbunyi, “Rasulullah saw berkata,  ‘Orang yang berpikiran 
tunggal (al-mufarridun) adalah yang paling utama.’  Mereka bertanya, ‘Siapa 
yang berpikiran tunggal?’  Beliau berkata, ‘Mereka yang memusatkan pikirannya 
dengan mengingat Allah dan dianggap hina (oleh orang lain) karena melakukannya 
(al-mustahtirun bi dzikr Allah) dan yang bebannya hilang karena berzikir (yadau 
anhum al-dzikru atsqalahum), sehingga mereka mendatangi Allah dengan 
berdebar-debar (fa yatun Allaha khifaqan).”  
   
  Al-Mundziri berkata, “Mereka adalah orang-orang yang terbakar karena 
mengingat Allah  (al-muwallaun bi dzikr Allah)” (al-Mundziri, al-Tharghib wa 
al-tarhib). Nawawi menulis, “Beberapa orang melafalkannya mufridun (=mereka 
yang mengisolasikan diri mereka)… Ibnu Qutayba dan yang lain berkata, ‘Arti 
yang asli dari kata ini adalah orang-orang yang sanak keluarganya telah 
meninggal sehingga dia menjadi sendirian (di dunia ini) dan mereka terus 
mengingat Allah.’  Riwayat yang lain adalah, ‘Mereka yang bergerak ketika 
menyebut atau mengingat Nama Allah (hum al-ladzina ihtazzu fi dzikr Allah), 
yaitu, mereka dengan sungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah dan hatinya 
terikat kepada-Nya.  Ibnu al-Arabi berkata, ‘Disebutkan bahwa seorang laki-laki 
menjadi sendiri (single, farada al-rajul) ketika dia menjadi terpelajar, 
menyendiri, dan memusatkan dirinya dalam melaksanakan perintah Allah dan 
menjauhi larangan-Nya.’” (Nawawi, Syarh Sahih Muslim, Bk.48, Ch.1, Hadits 4)
   
  Zikir dalam isolasi atau pengasingan diri (khalwah) berhubungan dengan hadits 
dalam Bukhari, yang dimulai dengan, “Tujuh orang akan dinaungi oleh Allah,” 
orang ketujuh adalah, “Orang yang mengingat Allah dalam pengasingannya (dzakara 
Allaha khaliyan) dan matanya dibanjiri dengan air mata.” 
   
  Menurut Tirmidzi, “Aisyah ra menyatakan, ‘Di awal masa keNabian Rasulullah, 
pada saat Allah ingin memberi kemuliaan kepadanya dan kasih sayang kepada semua 
hambanya melalui Rasulullah, seluruh pandangan beliau datang bagaikan terbitnya 
matahari.  Hal ini berlangsung terus selama yang Allah kehendaki. Yang paling 
dicintai beliau adalah mengasingkan diri (al-khalwa) dan tidak ada yang lebih 
dicintainya daripada menyendiri dalam pengasingan.” (Tirmidzi meriwayatkannya 
dan menyatakan hadits itu hasan sahih gharib. Bukhari dan Muslim menyatakan hal 
yang sangat serupa lewat sanad yang berbeda dan kata khala digunakan 
menggantikan khalwa)
   
  Ibnu Hajar berkata dalam komentarnya terhadap Bukhari (Ibnu Hajar, Fath 
al-Bari dalam komentar terhadap Bab mengenai pengasingan diri dalam Bukhari), 
   
  “Ibnu al-Mubarak menyatakan dalam Kitab al-raqaiq dari Syuba dari Khubayb bin 
Abd al-Rahman dari Hafs bin Asim bahwa Umar  ra berkata, ‘Ambillah manfaat 
bagimu dari pengasingan diri.’  Dan perkataan yang baik adalah yang diucapkan 
oleh al-Junayd, semoga Allah melimpahkan kita kebaikan dari berkahnya.  
‘Menjalani kesulitan dalam pengasingan diri adalah lebih mudah daripada hidup 
dalam masyarakat yang tanpa cacat.’  
   
  Al-Khattabi berkata dalam buku mengenai pengasingan diri (Kitab al-uzla), 
‘Jika tidak ada yang lain yang didapat dari pengasingan diri kecuali selamat 
dari gunjingan dan pandangan terlarang yang tidak dapat dihilangkan, itu saja 
sudah cukup berguna sekali.’  Judul dalam Bukhari, [Bab mengenai Pengasingan 
Diri sebagai Waktu Istirahat dalam Menemani Setan] merujuk pada hadits yang 
disebutkan oleh al-Hakim dari Abu Dzarr ra dari Rasulullah saw dengan sanad 
yang baik (hasan), ‘Pengasingan diri lebih baik daripada bersosialisasi dalam 
melakukan keburukan.’  
   
  Namun yang biasanya dipertahankan adalah perkataan Abu Dzarr atau Abu 
al-Darda. Ibnu Abi Asim menyatakan hal itu… Al-Qusyairi berkata dalam 
Risala-nya, ‘Metode bagi orang yang berkhalwat adalah dia harus mempunyai suatu 
keyakinan bahwa dia menjaga orang lain dari kejahatannya, bukan sebaliknya.  
Ini mengisyaratkan bahwa dia menganggap rendah dirinya dan ini adalah suatu 
atribut dari sifat rendah hati sedangkan sebaliknya berarti dia menganggap 
dirinya lebih hebat dari orang lain dan ini merupakan atribut sifat arogan.”
   
  Abu Bakr bin al-Arabi menulis, “Jika dikatakan bahwa waktu menjadi sangat 
korup sehingga tidak ada yang lebih baik daripada mengisolasi diri, kami 
berkata, seseorang mengisolasikan dirinya dari orang lain dalam 
perbuatan-perbuatannya, sementara itu dia masih tetap bergaul dengan mereka 
secara fisik, namun jika dia tidak berhasil, maka pada saat itu dia mengisolasi 
dirinya dari mereka secara fisik tetapi tidak dengan memasuki suatu biara atau 
kuil (yataziluhum bi badanihi  wa la yadkhulu fi al-rahbaniyya) yang dilarang 
dan ditolak oleh sunnah. (Abu Bakr bin al-Arabi, Aridat al-ahwadhi syahr sahih 
al-Tirmidzi, Buku 45 (daawat) Ch. 4)
   
  Wa min Allah at Tawfiq
   
  wasalam, arief hamdani
www.rabbani-sufi.blogspot.com
www.mevlanasufi.blogspot.com

 
---------------------------------
Access over 1 million songs - Yahoo! Music Unlimited.

Kirim email ke