Selasa, 31 Agustus 2010
 *Acil, "Budaya Sunda Sudah Tertinggal"*
  JATINANGOR,(GM)-
Peran intelektual saat ini tidak bisa menyajikan sebuah konsep budaya yang
bisa membangun Sumedang menjadi besar. Buktinya Sumedang dan Indonesia kalah
bersaing dalam pertarungan antar-SDM. Untuk mengatasinya, kaum muda harus
mempunyai jawaban berupa konsep masalah budaya.

"Masyarakat Sunda harus menjadi orang pribumi yang mempunyai konsep
kesundaan sebagai landasan gerakan kesundaan. Budaya Sunda kini sudah
tertinggal. Alasannya tak punya konsep kesundaan," jelas Acil Bimbo dalam
diskusi "Menjadikan Budaya sebagai Fondasi dan Potensi Bangsa" di Saung
Bambu Cikeruh, Jatinanggor, Kab. Sumedang, Minggu (29/8).

Menurut Acil, banyak cara yang bisa ditempuh untuk mempertahankan eksistensi
kebudayaan. Salah satunya menanamkan kecintaan pada seni budaya Sunda sejak
usia dini.

Acara yang digagas Pengurus Daerah Generasi Bangkit (PD GB) Kab. Sumedang
sekaligus buka bersama tersebut, selain menghadirkan Acil Bimbo, juga
sejumlah pembicara yang merupakan tokoh Sunda. Di antaranya Tjetje Hidayat
Padmadinata, Herman (Ketua Tim Akselerasi Sumedang Puseur Budaya Sunda), dan
Achmad Wiraatmaja (Pemangku Adat Yayasan Pangeran Sumedang).

Diskusi tersebut memunculkan pula sejumlah pandangan kritis perihal
pemaknaan kata "puseur" pada Kab. Sumedang yang dikhawatirkan akan
menimbulkan respons dan reaksi dari sejumlah daerah lainnya.

Dalam uraiannya Tjetje mengatakan, pencanangan Sumedang Puseur Budaya Sunda
(SPBS) bukan berarti akan membuat Sumedang sebagai satu-satunya puseur
budaya Sunda. Ia bahkan percaya tidak akan ada resistensi terhadap SPBS
karena Sumedang hanya salah satu dari puseur budaya Sunda yang juga ada di
daerah lainnya.

Budaya selalu diidentifikasi lewat suatu wilayah administrasi politik.
Akibatnya, kerap muncul kecemasan akan menimbulkan reaksi dari
wilayah-wilayah lainnya yang juga merasa memiliki hak atas budaya tersebut.

Terlebih ketika suatu wilayah administrasi politik, mengidentifikasi
wilayahnya sebagai puseur (pusat jati diri suatu budaya). Dengan demikian
mudah diduga, identifikasi itu terkesan menjadi semacam klaim yang
memosisikan daerah-daerah lain sebagai wilayah pinggiran di hadapan puseur
budaya tersebut. (B.48)**
http://www.goethe.de/ins/id/bad/idindex.htm

Kirim email ke