BERHAJI adalah pengalaman yang 
multirasa, multinuansa, dan karenanya multikenangan bagi me-reka yang 
pernah melakukan-nya. Ada rasa senang dan bahagia, karena kita mampu 
meme-nuhi panggilan Allah, suatu cita-cita yang mungkin lama kita 
idam-idamkan. Ada rasa sedih, karena kita harus meninggal-kan keluarga 
yang kita cintai. Di antara kedua rasa itu, selama pengalaman di Tanah 
Suci, boleh jadi kita memperoleh ba-nyak pengalaman lain yang dramatis, 
menakjubkan, menjengkelkan, ironis, jenaka, dan sebagainya.
Banyak jemaah yang datang ke Tanah 
Suci untuk pertama kali dan tidak memahami bahasa Arab serta nilai yang 
dianut masyarakat Arab, sehingga tidak jarang terjadi benturan antara 
mereka dan masyarakat pribumi. Jika benturan itu ber-kepanjangan dan 
membuat kita depresi dan ingin pulang, pe-ngalaman itu disebut gegar 
budaya. Hal itu mungkin hanya dialami segelintir orang, de-ngan 
kepribadian labil dan kurang tegar. Untuk bisa bertahan di suatu negara 
asing, kita memang harus tahan banting. Anggaplah segala pengalaman tak 
menyenangkan itu sebagai bumbu perjalanan. Sikap sabar, humoris, dan 
berpikir positif menjadi modal sosial yang akan membuat kita dapat 
menikmati perjalanan dalam berhaji. Jangan lupa, orang Arab yang datang 
ke negara asing pun tidak jarang mengalami hal serupa. Kesalahpahaman 
menjadi hal biasa.
Sebagai ilustrasi, di salah sa-tu kota
 di Malaysia, beberapa pendatang Arab yang tidak bisa berbahasa Melayu 
bermaksud membeli bensin untuk mobil yang mereka kendarai. Seorang dari 
mereka mengutarakan maksudnya dalam bahasa Arab, tetapi dijawab oleh 
pegawai pom bensin dalam bahasa Melayu bahwa bensinnya sudah habis 
terjual. Akan teta-pi, orang Arab tersebut tidak mengerti jawaban orang 
Ma-laysia itu. Mereka ngotot ingin membeli bensin. Menyadari bahwa ada 
kemacetan komunikasi, sang pegawai mencari akal. Akhirnya ia 
mengucapkan, "Shadaqallahul adzim" (lazim diucapkan kaum Muslim untuk 
menutup bacaan Alqu-ran). Orang Arab itu akhirnya mengerti. Mereka pun 
tertawa. 
Contoh lain, meskipun mungkin lebih 
bersifat lelucon, suatu hari seorang tamu datang dari Arab untuk 
berkunjung ke Kota Bandung. Dalam perja-lanan dari Bandara 
Soekarno-Hatta ke Bandung, orang Arab itu sengaja meminta sopir untuk 
melewati wilayah Puncak. Saat melihat rambu lalu lintas yang 
menggambarkan dua gunung yang berdekatan (di depan yang akan dilewati 
pengendara), orang Arab itu sangat ka-get. Serta merta ia pun berteriak,
 "Haram! Haram! Haram!" Rambu lalu lintas itu rupanya mengingatkan orang
 Arab itu akan bagian sensitif tubuh wanita. 
Kesalahpaham antarbudaya orang asing 
yang datang ke Ta-nah Arab, termasuk orang Indonesia, baik dalam rangka 
berhaji ataupun bukan, pastilah melimpah termasuk pengala-man jenaka. 
Contohnya adalah pengalaman berikut yang diceritakan seorang mahasiswa 
Fi-kom Unpad. "Kejadian ini dialami orang tua teman saya yang menunaikan
 ibadah haji. Saat berjalan-jalan mereka me-lihat bus yang sedang 
berhenti mencari penumpang. Kebetul-an mereka kelelahan dan ingin 
kembali ke perkemahan. Mereka pun memutuskan untuk na-ik bus tersebut. 
Ketika menginjakkan kaki di tangga bus, tiba-tiba sopirnya berteriak, 
"Ha-ram, Haram!" Mereka kaget, mengira tidak boleh naik. 
Ya, namanya juga sedang na-ik haji, 
pasti akan selalu waspada terhadap yang haram-ha-ram. Mereka pun tidak 
jadi naik bus itu, lalu berjalan kaki sampai ke perkemahan yang jauh. 
Sesampainya di perke-mahan, dengan napas yang masih terengah-engah 
setelah berjalan belasan kilometer, si ibu cerita kepada temannya yang 
sudah naik haji berkali-kali. Ia pun menjelaskan bahwa Haram itu berarti
 "ke Masjidilharam". Bukan tidak boleh naik. 
Terkadang pengalaman jenaka itu 
menjadi semacam anekdot, yang sumbernya tidak jelas lagi. Misalnya, 
seorang pria Arab dari luar Arab Saudi ter-sesat di Mekah. Ia bertanya 
kepada seorang pria Indonesia dalam bahasa Arab arah ke Masjidilharam. 
Pria Indonesia itu tahu arah ke masjid. Namun, karena ia tak dapat 
berbahasa Arab, maka ia menjawab, "Ihdinassiratal mustaqiim" suatu ayat 
dalam surat Al Fatihah (Tunjukkanlah aku ke jalan yang lurus) seraya 
menunjuk arah ke masjid suci ter-sebut.
Kesalahpahaman di atas bersifat 
verbal. Kesalahpahaman nonverbal boleh jadi lebih banyak lagi. Jika Anda
 datang ke Arab Saudi untuk pertama kalinya, jangan kaget jika pria Arab
 yang baru Anda kenal pun memeluk Anda, bukan karena ia "homoseksual" 
tetapi karena ia menyukai Anda atau sedang membujuk Anda agar Anda 
membeli barang yang ia tawarkan. 
Di kalangan pria Arab, membaui tubuh 
orang Arab dan merasakan sapuan napasnya adalah hal yang menyenang-kan. 
Pada zaman dulu bahkan suatu keluarga mengirim utus-an untuk membaui 
badan ca-lon menantunya, untuk mengetahui apakah calon menantu-nya itu 
kelak prospektif atau ti-dak. Orang Arab sesama jenis memang terbiasa 
berdekatan. Seorang pria Arab bahkan mencium pipi kawan akrabnya, dengan
 bibirnya saat bertemu. Kecupannya itu terdengar cu-kup keras, suatu hal
 yang dianggap "jijay" oleh orang Barat, bahkan oleh orang Indonesia 
sekalipun. 
Di Jerman pernah seorang pria Arab 
mengingatkan ka-wannya, yang akan turun dari kereta dan akan ia jemput 
di stasiun untuk menghindari ta-tapan ganjil orang-orang Jerman di 
sekitarnya.
Perlu diingat, suara orang Arab yang 
keras bukanlah tanda kekasaran melainkan tanda kasih sayang dan 
ketulusan. Semakin orang menyukai Anda, maka suaranya semakin keras. 
Mengusap dagu Anda bukanlah kekurangajaran, melainkan sebagai isyarat 
bujukan, misalnya untuk meredakan marah seseorang, atau bahkan sebagai 
tanda penghormatan. 
Jangan sekali-kali menyentuh pantat 
orang Arab, sesama pria sekalipun, karena hal itu merupakan pelanggaran 
serius. Meskipun orang Arab saling menatap saat berkomunikasi dengan 
sesama jenis, jangan sekali-kali menatap orang ber-lainan jenis. Hal itu
 boleh jadi menimbulkan risiko yang tidak kita inginkan, seperti yang 
diceritakan mahasiswi Fikom Unpad yang lain. 
Ketika melaksanakan haji kecil (umrah)
 ke Tanah Suci Me-kah, seorang wanita Indonesia bernama Uli sempat 
melihat-lihat kota itu, untuk mencari ba-rang-barang yang menarik. Sa-at
 menawar jilbab sebagai suvenir untuk temannya, tanpa sengaja mata Uli 
tertuju pada seorang lelaki Arab di ujung ja-lan. Tanpa sengaja Uli dan 
lelaki itu bertatapan beberapa kali. 
Lalu Uli merasa tidak enak untuk 
melihatnya lagi. Namun, lelaki itu masih memperhati-kan gerak-gerik Uli.
 Setelah beberapa menit, lelaki itu berjalan menuju Uli dan ia ber-tanya
 dalam bahasa Indonesia, "Apakah Anda mau menjadi istri saya?" 
Mendengar hal itu Uli terkejut, lalu 
ia balik bertanya, "Me-ngapa Anda berkata demiki-an?" Lalu lelaki itu 
berkata, "Mengapa Anda melihat terus kepada saya? Menurut kebia-saan 
orang Arab, wanita tidak boleh menatap mata lelaki. Bila itu terjadi, 
itu merupakan ’zina’." Uli baru mengerti setelah lelaki itu memberi 
penjelasan. Menurut lelaki itu, daripada "berzina" lebih baik menikah. 
Uli berkata bahwa ia tidak tahu mengenai hal itu dan ia pun belum 
berniat menikah, apalagi dengan orang yang belum dikenal. Lelaki itu 
mengerti dan berpesan padanya agar ia hati-hati menjaga mata. (Deddy 
Mulyana, Dekan dan Pengajar Fikom Unpad)***

www.ahmadsahidin.wordpress.com


      

Kirim email ke