euleuh.... meni resep kanu sajarah model kieu... nuhun ah kang mh :) www.ahmadsahidin.wordpress.com
--- Pada Rab, 25/8/10, mh <khs...@gmail.com> menulis: Dari: mh <khs...@gmail.com> Judul: [kisunda] Sejarah - Darmamurcaya Kepada: "Ki Sunda" <kisunda@yahoogroups.com> Tanggal: Rabu, 25 Agustus, 2010, 1:58 PM DARMAMURCAYA alias JURU BAHASA PADA MASA KARAJAAN SUNDAby Richadiana Kartakusuma on Wednesday, August 25, 2010 at 6:31pm Penterjemah Bahasa Pada Zaman Kerajaan SundaKepentingan penerjemahan bahasa sebagai usaha untuk berkomunikasi dengan bangsa lain yang berbeda bahasa ternyata telah dlakukan oleh para leluhur di Kerajaan Sunda. Profesi penerjemah dianggap salah satu profesi yang cukup penting sebab tidak semua orang dapat memahami berbagai bahasa yang ada pada waktu itu. Selain Sangsakerta, salah satu bahasa yang digunakan untuk memperdalam sastra (agama) Hindu-Budha pada waktu itu adalah Jawa Kuna (digunakan hampir di seluruh pulau Jawa dan Bali). Salah satu tokoh yang ternama pada masa itu yaitu Bujangga Manik. Ia dikisahkan pergi ke belahan timur pulau Jawa dari tanah kelahirannya, Sunda, untuk mencari arti kehidupan dan menimba ilmu agama. Tentunya dalam melakukan perjalanannya itu, ia dapat berkomunikasi dengan orang-orang yang berbahasa Jawa (kuna), selain menguasai bahasa Sunda (kuna) sebagai bahasa ibunya.Edi S. Ekadjati memaparkan dalam bukunya, Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, halaman 204-205; Berhubung dengan tidak setiap orang memahami dan menguasai banyak bahasa, maka tampillah orang-orang yang menawarkan jasa pelayanan bagi yang memerlukan komunikasi dengan macam-macam orang asing itu. Mereka menguasai beberapa bahasa dan memilih profesi sebagai penterjemah atau juru bahasa. Profesi penerjemah diakui dalam masyarakat Sunda masa itu sehingga terdapat istilah tersendiri untuk menyebutnya yaitu jurubasa darmamurcaya. Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian dikatakan bahwa bila ingin tahu bahasa-bahasa negeri lain, bahasa-bahasa: Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kalantan, Bangka, Buwun, Beten (red: Buton?), Tulangbawang, Sela, Pasay, Pariaman, Nagara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Bali, Jenggi, Nusa Bini, Ogan, Kanangan, Komering, Simpangtiga, Gumantung, Manumbi, Bubu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjungpura, Sekampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam bahasa negara-negara lain, tanyalah sang Jurubasa Darmamucarya (Atja & Saleh Danasasmita, 1981a:17,42-43; Danasasmita dkk., 1987:86,110). Kutipan itu memberi informasi bahwa pada masa itu (1518) masyarakat Sunda, paling tidak kalangan elit dan intelektualnya, mengenal sejumlah bahasa asing yang digunakan oleh orang-orang dari berbagai negeri (disebut 55 negeri) di Nusantara dan luar Nusantara. Di samping itu, ada orang yang berprofesi sebagai penterjemah bahasa-bahasa dimaksud yang disebut sang Jurubasa Darmamurcaya. Para penterjemah itu, tentu bisa orang asing yang bermukim di Tanah sunda, bisa pula orang Sunda sendiri; yang jelas mereka berada di Kerajaan Sunda. Keberadaan mereka mencerminkan kekayaan pengetahuan atau penguasaan bahasa yang cukup luas untuk zamannya. Seperti telah disebutkan, Bujangga Manik misalnya paling tidak menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan bahasa Jawa sebagai bahasa ilmu. Dia bisa menterjemahkan pembicaraan dan teks tertulis berbahasa Sunda ke dalam bahasa Jawa dan sebaliknya. http://www.facebook.com/notes/richadiana-kartakusuma/darmamurcaya-alias-juru-bahasa-pada-masa-karajaan-sunda/425002254474