Sekedar back on track, wacana tentang "pornografi di internet" yang saya sampaikan di milis ini BUKANlah untuk menjawab pertanyaan: a. internet itu porno atau bukan? b. berbahayakah pornografi di internet? c. perlukah melakukan sensor/filter pornografi di internet? d. bagaimana pemerintah menyikapi internet? e. apakah pornografi di internet itu bersinggungan dengan norma dan agama?
Jadi bukan kelima pertanyaan di atas yang seyogyanya kita bahas. tetapi bagaimana agar presepsi masyarakat umum NON-pengguna internet tentang "internet" tidaklah tentang hal-hal yang salah atau negatif. Kita tidak tepat menghujat institusi pemerintah, institusi pendidikan ataupun institusi agama yang "siapa tahu" nantinya mengeluarkan statement yang merugikan pertumbuhan internet, karena kita terlalu 'ego-sentris' dalam memikirkan masalah-masalah TI. Bagaimana tidak ego-sentris, lah wong kita selalu berpikir TI tersebut berdasarkan "pengalaman kita" ataupun "pengalaman komunitas kita". Tentu saja, Internet sangatlah bermanfaat. Bagi kita, yang menggunakan tentunya! Nah sekarang bagaimana caranya agar mereka yang belum pernah menggunakan Internet, bisa mendapatkan "first impression" tentang Internet mengenai hal-hal yang positip, pendidikan dan pengetahuan. Karena kalau "first impression" itu sampai salah di mata masyarakat dan akhirnya menjadi "kesalah-kaprahan", maka jangan salahkan pemerintah atau institusi-institusi pendidikan/agama jika mempornokan Internet dan mentabukan warnet. Mungkin ada yang mengecam pemerintah atau insitusi agama/pendidikan lantaran mereka mengeluarkan statement yang "aneh" (menurut kita). Kita bisa saja berkata "peduli amat dengan mereka". Tetapi kita harus bijak melihat, bahwa statement apapun dari mereka, adalah cerminan dari masyarakat umum yang jumlahnya jauh lebih banyak dari komunitas TI. Atau sebaliknya, statement mereka bisa mempengaruhi masyarakat umum tersebut. Pun jangan salah kaprah dengan menjabarkan perilaku seseorang. Kang Onno pernah menyatakan bahwa orang mengakses pornografi hanya awet 3 bulan. Setelah itu bosen. Yang harus diperhatikan adalah, Kang Onno mencontohkan hal tersebut di ITB. Tepatkah? Pertama, lingkungan ITB adalah lingkungan pendidikan tinggi. Pola pikir, kematangan sosial dan lingkungannya berbeda dengan pengguna Internet di warnet-warnet sekeliling perumahan. Di warnet-warnet rata-rata adalah siswa sekolah menengah, yang pola pikirnya tentu belumlah sematang mahasiswa. Kedua, rata-rata warnet adalah masih dial-up. Sedangkan di kampus-kampus rata-rata Internet-nya berkecepatan tinggi. Berdasarkan pengalaman beberapa orang yang saya kenal, jika di kantor/rumah/kampus kita ada akses Internet berkecepatan tinggi, akan lebih cepat bosan melakukan browsing ketimbang yang aksesnya hanya dial-up. Apalagi kalau akses kecepatan tinggi tersebut sangat murah atau cenderung gratis, maka akan lebih cepat bosannya. Yang dilakukan akhirnya hanya mendownload mp3, e-mail, program2, dll. Tetapi justru yang dial-up tersebut, karena adanya keterbatasan-keterbatasan, akan cenderung lebih lama merasa bosan dengan browsing2, misalnya ke situs pornografi. Jadi intinya, peningkatan penetrasi Internet di Indonesia, baik untuk rumahan maupun warnet, kuncinya tergantung kepada kita. Mampu tidak kita "membungkus" Internet dengan hal-hal yang positip untuk disampaikan kepada masyarakat awam. Karena opini yang berkembang di masyarakat awam tentu akan menjadi salah satu faktor penentu kebijakan pemerintah ataupun institusi-institusi pendidikan/agama. Sebenarnya usulan saya secara konkrit sudah beberapa kali saya sampaikan. Mungkin tidak ada salahnya lagi bila saya sampaikan kembali di sini. 1. Setiap ISP wajib memberikan brosur informasi kepada setiap pelanggan barunya tentang: (a). situs-situs pendidikan dan pengetahuan, dan (b). teknik/cara memfilter komputer pribadi (PC). Kalau bisa, ISP memberikan software filter semacam CyberPatrol dalam bentuk CD/disket kepada setiap pelanggan baru. Ini memerlukan kerjasama dengan APJII. 2. Warnet-warnet menyediakan brosus informasi yang dapat dibawa pulang oleh setiap pengunjung warnet tersebut. Isi brosur tersebut adalah tentang: (a). situs-situs pendidikan dan pengetahuan, dan (b). resep masakan atau tips&tricks rumah tangga yang sumbernya dari internet. Dengan adanya brosur tersebut, pengguna warnet yang masih duduk di sekolah menengah, dapat menunjukkan kepada orang-tuanya di rumah tentang sisi positip internet. Si anak bisa menunjukkan bahwa Internet mendukung pendidikan (dengan adanya informasi pendidikan) dan si kepala rumah tangga bisa mendapatkan "first impression" bahwa di internet itu banyak hal-hal yang bermanfaat (dengan adanya resep masakan atau tips&tricks rumah tangga yang disebutkan sumbernya diambil dari Internet). Ini memerlukan kerjasama dengan Awari dan Komitel 3. Insitusi komunitas pendidikan semisal Sekolah2000, JIS dan sukarelawan lainnya bisa terus-menerus memberikan pemahaman tentang Internet kepada masyarakat umum melalui seminar, workshop, dll. Sayangnya, baru Dikmenjur saja yang sudah "ngeh" TI. Sedangkan Dikmenum kok belum kedengaran suaranya. Dengan adanya kombinasi ketiga program tersebut, Insya Allah penetrasi Internet di Indonesia tidak akan menghadapi "barrier to entry" yang berkaitan dengan presepsi masyarakat umum. Dengan adanya kerjasama antara komunitas TI (tanpa harus mencari kambing hitam atau menghujat pihak lain), penetrasi Internet di rumahan dan di warnet-warnet akan dapat ditingkatkan. Itulah tugas kita yang sudah "mengerti" Internet untuk menjelaskan kepada mereka yang belum mengerti, bukan dengan "menyalahkan" dan "menganggap bodoh/kuper" mereka yang belum mengerti. Jangan eksklusif dan jangan ego-sentris. Cobalah berpikir lintas-sektoral. Komunitas TI itu khan hanya sebuah sub-sistem dari sistem kemasyarakatan yang lebih luas lagi. Tidak mungkin sebuah sub-sistem tersebut mengunci atau melepaskan diri sistem yang melingkupinya. Itu saja sih kuncinya. Mudah-mudahan sedikit tulisan saya ini bisa mengajak kita untuk 'back on track' :) nb: jangan sampai berita ini terjadi di Indonesia ==> ===== http://www.detikinet.com/berita/2002/02/20/20020220-154954.shtml Remaja Thailand Dilarang Kunjungi Warnet di Malam Hari Reporter : Sigit Widodo detikcom - Jakarta,Warung Internet alias Warnet di Thailand sekarang disamakan dengan tempat-tempat hiburan lainnya. Pemerintah negara tersebut melarang anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun memasuki warnet dan game center di atas jam sepuluh malam. ===== -dbu- Pekerja TI Biasa _______________________________________________ Milis Komunitas Sekolah2000 (A.K.A [EMAIL PROTECTED]) Untuk posting kirim email ke : [EMAIL PROTECTED] Untuk mengubah mode langganan anda, berhenti langganan kunjungi: http://milis.sekolah2000.org/mailman/listinfo/komunitas