Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-29 Terurut Topik Marto Blantik

Hebat, argumentasi anda sangat hebat, cuma aku mau tanya demokrasi yang
mempertontonkan keindahan itukah yang akan kita kembangkan ? Demokrasi yang
jelas-jelas ingin mengabaikan suara rakyat melalui pemilu dengan berlindung
dibalik aturan main, dan semua itu memang sah dan konstitusional. Suharto
pun bisa seperti itu karena sesuai aturan main, sah, dan konstitusional.
Argumentasi anda esensinya mirip dengan omongan Sarwono, saat mengomentari
kekalahan beruntun PDIP. Saat baca Tempo minggu ini yang diceritakan
bagaimana 'proses demokrasi' di MPR, aku jadi sadar bahwa rakyat sudah
terlupakan sama sekali. Yang dipentingkan bagaimana memperoleh kekuasaan
dengan cara yang indah, persetan dengan suara nurani, masa bodoh dengan
hasil pemilu.

PDIP dalam pesta lulusan Orba kemarin sungguh seperti orang kampung, lugu,
serba canggung dan kikuk, karena memang tidak pernah atau belum
berpengalaman meliuk-liuk dengan cara yang indah. Dan itu terungkap dengan
lugunya pada omongan Kwik 'kita dibohongi terus'. PDIP konsisten dengan
pilihannya. Konsistensi ini (kebodohan orang lain bilang) memang harus
dibayar mahal dengan kekalahan.Pendukungnya yang bingung dan merasa ada yang
tidak beres dengan aturan main yang konstitusional, ngamuk, dan lagi-lagi
mereka jadi barang cercaan karena berbuat haram menonjolkan otot dan
memamerkan kebolehan mengocor darah seperti anda bilang. Kekerasan ini
memang suatu  kebodohan dan senjata makan tuan, harusnya kalau mereka
pinter, bikin sesuatu yang lebih mengena, boikot misalnya. Jangan heran bila
di kalangan rakyat bawah, mereka bilang orang-orang pinter itu cuma pinter
'minteri' (menipu). Dan model-model permainan seperti yang anda
argumentasikan itulah yang terjadi di negara-negara miskin dunia ketiga,
dengan pemain-pemainnya para kapitalis global.

Marto Blantik
solider sama PDIP tapi bukan pendukung PDIP


- Original Message -
From: Abdullah Hasan [EMAIL PROTECTED]
To: Millis Kuli-Tinta [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, October 28, 1999 6:23 PM
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap



 From: Yap C. Young [EMAIL PROTECTED]
 menganggap bahwa kekuasaan itu adalah jatuhan dari langit.  "
   Ya gagal.
 Benar, pola pikir yang dogmatis dan terpaku pada pakem standard ternyata
 tidak mampu mengantisipasi langkah gerak politisi lain yang menghalalkan
 setiap kemungkinan yang terbuka. Akibatnya PDIP gagal total meraih kursi
 Presiden, dan menjadi bulan bulanan di SUMPR.

 ===
 Saudaraku Yap yang saya hormati,
 Anda mungkin kurang konsentrasi. Ron Moreau di Newsweek yang saya
 kutip, bicara soal nihilnya "pola pikir" alias main ilmu batin. Saya kok
 menduga itu betul. Jadi yang namanya "yang dogmatis dan pakem standard"
 cuma ilmu mistis nunggu durian runtuh dari kahyangan. Di tahun 2000 ini,
 "pola pikir" seperti itu ya diketawai banyak orang. Hasilnya pasti Gatot.
 Gagal Total, seperti kenyataan yang membuat nangis banyak orang itu.

 Yang harus dikerjakan bukan menghalalkan segala cara. Apalagi berbuat
 haram menonjolkan otot dan memamerkan kebolehan mengocor darah.
 Anak SMA saya kira sudah mulai tahu . Simply, to negotiate. Berunding
 bersama. Aktif , bukan cuma menunggu diujung ruang kaya Siti Nurbaya
 menunggu digoda jejaka. Saya tidak percaya orang PDIP tidak tahu hal itu.
 Tapi PDIP tidak melakukan itu. Saya curiga kejadian yang dilihat banyak
 orang tersebut adalah "perintah" Mbak Mega. ( maaf banyak lho. sekarang
 sudah bukan waktunya untuk nyek2an ( ledek2an). Saya cuma berusaha
 berpikir rasionil saja, untuk keperluan diskusi).

 Kalah dan  Jadi bulan-bulanan. Lebih sehat kalau anda berhenti pada kata
 'kalah". Nanti dikira ngambeg lho ! Kalah total kan tidak, PDIP berhasil
 mendapat Wapres ( nilainya tujuh menteri) walaupun sedikit tidak indah
 ( baca laporan WAM soal kebangkrutan : with smile).

 Yap kemudian menulis :
 "..Saya perlu bertanya arti kata modern, urut dan indah bagi PAN, PBB
 atau PK yang seingat saya dalam meraup massa diantaranya jelas jelas
 menjanjikan memperjuangkan Amien Rais, Yusril Ihza  Tidak satupun
 dari Partai-partai  itu mencalonkan Gus Dur hanya PBB yang masih
 konsisten maju dengan Prof Yusril, tetapi itupun menarik diri ...menerima
 sumpah Gus Dur untuk tidak akan mundur dari pencapresan. Jadi
 pencapresan Yusril lebih didasari ketidak percayaan atas keseriusan
 Gus Dur..daripada memenuhi janji kampanye. Apakah ini yang dimaksud
 modern, urut dan indah?..."

 Arti kata modern berhubungan dengan yang diatas. Mereka tidak meng-
 gunakan "ilmu batin" dan mistik. Mereka memakai beberapa perangkat
 seperti kemampuan negosiasi, mereka menggunakan setiap potensi organi-
 sasi, tidak terborgol kaku diam oleh pucuk pimpinan saja.
 Yang lain yang amat penting ,tidak menganggap figur presiden setingkat
 nabi , sehingga layak ngocor darah atawa revolusi. Ngotot, saya kira
 bukanlah hal modern.Bila diting

Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-29 Terurut Topik mBah Soeloyo

mas marblan,
rasanya akupun pernah posting yang demikian
hahaha... biasa ngaku-ngaku kan enak?

bahwa di MPR itu yang bermusyawarah sudah
bukan rakyat lagi.
mereka bukan rakyat, karena yang membuat duduk
di gedung "SARU" (kalau bahasa sini artinya monyet,
yang saya maksudkan adalah anoman yang sedang jadi
duta, yaitu dutanya rakyat) adalah yang mengutus mereka.
walaupun cara mengutusnya juga bermacam-macam.
misalnya:
tertarik oleh baju mereka
tertarik oleh janji mereka
tertarik oleh mereka karena saudara sendiri
dll.
seharusnya mereka melepas semua baju itu. tinggalah
hati nurani yang bicara. dengan satu tujuan akan dikemanakan
negara dan bangsa.

di wojoseto dan arek-suroboyo, aku mengibaratkan kata-kata
haruslah seperti lepasnya panah dari tali busur.
lepas apa adanya, tak dapat balik lagi, bukan seperti boemerang.
yang selalu balik, bila tak mengenai sasaran.
(asal bukan boemerangnya si mickey tikus yang malah masuk
ke mulut pluto... hehe). karena panah yang salah sasaran, tak
layak diambil lagi.. biarlah dia dianggap musnah ditelan jaman.

jadi mereka sebenarnya adalah para pemanah. memanahkan
semua program dan kebijakan para duta itu. setelah sebelumnya
di-embat-embat (ditepatkan kepada sasaran) dengan cermat
dan penuh hikmat. tak lain adalah sasaran dan tujuan mereka
membentuk suatu negara bangsa INDONESIA. maka sekali
panah-panah melenceng, walaupun hujan panah... tetaplah
sia-sia... boros dan "mbelgedhes". karena tak layak bila diambil
lagi

dan bung yap bilang, sekarang gantian yang jadi oposisi
adalah yang di luar gedhung SARU itu...

mbah soeloyo
---
(yang tidak boleh berfikir berat-berat karena semakin soeloyo)

- Original Message -
From: Marto Blantik [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Friday, October 29, 1999 12:45 PM
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap


Hebat, argumentasi anda sangat hebat, cuma aku mau tanya
demokrasi yang
mempertontonkan keindahan itukah yang akan kita kembangkan ?
Demokrasi yang
jelas-jelas ingin mengabaikan suara rakyat melalui pemilu dengan
berlindung
dibalik aturan main, dan semua itu memang sah dan
konstitusional. Suharto
pun bisa seperti itu karena sesuai aturan main, sah, dan
konstitusional.
Argumentasi anda esensinya mirip dengan omongan Sarwono, saat
mengomentari
kekalahan beruntun PDIP. Saat baca Tempo minggu ini yang
diceritakan
bagaimana 'proses demokrasi' di MPR, aku jadi sadar bahwa rakyat
sudah
terlupakan sama sekali. Yang dipentingkan bagaimana memperoleh
kekuasaan
dengan cara yang indah, persetan dengan suara nurani, masa bodoh
dengan
hasil pemilu.

PDIP dalam pesta lulusan Orba kemarin sungguh seperti orang
kampung, lugu,
serba canggung dan kikuk, karena memang tidak pernah atau belum
berpengalaman meliuk-liuk dengan cara yang indah. Dan itu
terungkap dengan
lugunya pada omongan Kwik 'kita dibohongi terus'. PDIP konsisten
dengan
pilihannya. Konsistensi ini (kebodohan orang lain bilang) memang
harus
dibayar mahal dengan kekalahan.Pendukungnya yang bingung dan
merasa ada yang
tidak beres dengan aturan main yang konstitusional, ngamuk, dan
lagi-lagi
mereka jadi barang cercaan karena berbuat haram menonjolkan otot
dan
memamerkan kebolehan mengocor darah seperti anda bilang.
Kekerasan ini
memang suatu  kebodohan dan senjata makan tuan, harusnya kalau
mereka
pinter, bikin sesuatu yang lebih mengena, boikot misalnya.
Jangan heran bila
di kalangan rakyat bawah, mereka bilang orang-orang pinter itu
cuma pinter
'minteri' (menipu). Dan model-model permainan seperti yang anda
argumentasikan itulah yang terjadi di negara-negara miskin dunia
ketiga,
dengan pemain-pemainnya para kapitalis global.

Marto Blantik
solider sama PDIP tapi bukan pendukung PDIP


- Original Message -
From: Abdullah Hasan [EMAIL PROTECTED]
To: Millis Kuli-Tinta [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, October 28, 1999 6:23 PM
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap



 From: Yap C. Young [EMAIL PROTECTED]
 menganggap bahwa kekuasaan itu adalah jatuhan dari
langit.  "
   Ya gagal.
 Benar, pola pikir yang dogmatis dan terpaku pada pakem
standard ternyata
 tidak mampu mengantisipasi langkah gerak politisi lain yang
menghalalkan
 setiap kemungkinan yang terbuka. Akibatnya PDIP gagal total
meraih kursi
 Presiden, dan menjadi bulan bulanan di SUMPR.

 ===
 Saudaraku Yap yang saya hormati,
 Anda mungkin kurang konsentrasi. Ron Moreau di Newsweek yang
saya
 kutip, bicara soal nihilnya "pola pikir" alias main ilmu
batin. Saya kok
 menduga itu betul. Jadi yang namanya "yang dogmatis dan pakem
standard"
 cuma ilmu mistis nunggu durian runtuh dari kahyangan. Di tahun
2000 ini,
 "pola pikir" seperti itu ya diketawai banyak orang. Hasilnya
pasti Gatot.
 Gagal Total, seperti kenyataan yang membuat nangis banyak
orang itu.

 Yang harus dikerjakan bukan menghalalkan segala cara. Apalagi
berbuat
 haram menonjolkan otot dan memamerkan kebolehan mengoc

Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-29 Terurut Topik Paladin A.

From: "Marto Blantik" [EMAIL PROTECTED]

Hebat, argumentasi anda sangat hebat, cuma aku mau tanya demokrasi yang
mempertontonkan keindahan itukah yang akan kita kembangkan ? Demokrasi yang
jelas-jelas ingin mengabaikan suara rakyat melalui pemilu dengan berlindung
dibalik aturan main, dan semua itu memang sah dan konstitusional. Suharto
pun bisa seperti itu karena sesuai aturan main, sah, dan konstitusional.
Argumentasi anda esensinya mirip dengan omongan Sarwono, saat mengomentari
kekalahan beruntun PDIP. Saat baca Tempo minggu ini yang diceritakan
bagaimana 'proses demokrasi' di MPR, aku jadi sadar bahwa rakyat sudah
terlupakan sama sekali. Yang dipentingkan bagaimana memperoleh kekuasaan
dengan cara yang indah, persetan dengan suara nurani, masa bodoh dengan
hasil pemilu.

Kalau menurut saya tidak ada istilah "demokrasi yang mempertontonkan
keindahan", yang ada cuman "demokrasi", dan "keindahan" itu adalah bagian
dari demokrasi. Demokrasi yang berlaku di negeri kita ini adalah demokrasi
tidak langsung yang artinya mempercayakan pelaksanaannya kepada wakil-wakil
yang berada di lembaga legislatif, bukan dilakukan sendiri. Seperti kata
simBah, ibarat anak panah yang telah dilepas, kita sudah membiarkan anak
panah itu mencari sasarannya, tidak untuk ditarik lagi. Dan masalahnya
bukan rakyat sudah terlupakan, melainkan rakyat yang tidak melakukan
kontrol yang efektif terhadap wakil-wakil rakyatnya. Lagipula sebetulnya
keinginan rakyat (baca : pendukung PDI-P) itu apa sih? Megawati jadi
Presiden, atau perbaikan menyeluruh alias reformasi melalui platform PDI-P?
Kalau jawabannya yang kedua, mengapa harus sampai protes begitu, toh pada
intinya mengarah kepada tujuan yang sama, Presiden atau bukan, ya nggak?

PDIP dalam pesta lulusan Orba kemarin sungguh seperti orang kampung, lugu,
serba canggung dan kikuk, karena memang tidak pernah atau belum
berpengalaman meliuk-liuk dengan cara yang indah. Dan itu terungkap dengan

lugunya pada omongan Kwik 'kita dibohongi terus'. PDIP konsisten dengan
pilihannya. Konsistensi ini (kebodohan orang lain bilang) memang harus
dibayar mahal dengan kekalahan.Pendukungnya yang bingung dan merasa ada yang
tidak beres dengan aturan main yang konstitusional, ngamuk, dan lagi-lagi
mereka jadi barang cercaan karena berbuat haram menonjolkan otot dan
memamerkan kebolehan mengocor darah seperti anda bilang. Kekerasan ini
memang suatu  kebodohan dan senjata makan tuan, harusnya kalau mereka
pinter, bikin sesuatu yang lebih mengena, boikot misalnya. Jangan heran bila
di kalangan rakyat bawah, mereka bilang orang-orang pinter itu cuma pinter
'minteri' (menipu). Dan model-model permainan seperti yang anda
argumentasikan itulah yang terjadi di negara-negara miskin dunia ketiga,
dengan pemain-pemainnya para kapitalis global.

Apa nggak terasa aneh menurut anda? Semestinya orang-orang PDI-P sebagai
'veteran' dari PDI zaman Orba dulu lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam
cara-cara meliuk-liuk yang indah. Dan mereka adalah orang-orang yang
semestinya paling tahu bahwa politik itu tidak selalu indah dan
berbunga-bunga. Siapa yang salah? Dan kalau mereka ternyata kalah dalam
permainan nggak boleh ngambek dan ngomel gitu dong, yang salah bukan
peraturannya, tapi pemainnya. Mana ada pemain sepakbola yang beralasan
tidak masuknya tendangannya karena gawangnya kurang lebar? Play by the
rules, kalo gak bisa ya nggak usah ikutan main. Lagipula konsistensinya itu
menurut saya bukan jadi masalah, yang menjadi masalah adalah kok setelah
itu nggak ngapa-ngapain? Sama saja seperti Persebaya yang sesumbar akan
memenangi final Ligina tetapi pas pertandingan diem-diem aja, main defense
thok, nggak nyerang blas. Dapat skor aja boro-boro, apalagi menang?!? Dan
bagi para pendukung, kalau ternyata tidak sesuai dengan apa yang
diinginkannya mestinya ngomelnya ke wakil-wakil yang telah dipilihnya, kok
jadi begini hai wakil rakyat? Kok calonku gak dadi presiden opo'o ho,
gebleg kuabeh, laopo aku dhisik milih sampeyan toh yodan
ngomong-ngomong soal negara miskin dunia ketiga, selama anda masih
berpendapat seperti itu maka Indonesia bakal terus menjadi negara miskin
dunia ketiga...kalau nggak kepingin ditipu en dibodohin, belajar! Para
pendahulu kita bisa melepaskan diri dari belenggu penjajahan dengan
belajar, bukan dengan senjata dan adu fisik saja.

Marto Blantik
solider sama PDIP tapi bukan pendukung PDIP

Solider tapi bukan pendukung? Koncoan ae mas:-)


Wassalam,

Paladin A.
ICQ 50753984

- Original Message -
From: Abdullah Hasan [EMAIL PROTECTED]
To: Millis Kuli-Tinta [EMAIL PROTECTED]
Sent: Thursday, October 28, 1999 6:23 PM
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap



 From: Yap C. Young [EMAIL PROTECTED]
 menganggap bahwa kekuasaan itu adalah jatuhan dari langit.  "
   Ya gagal.
 Benar, pola pikir yang dogmatis dan terpaku pada pakem standard ternyata

 tidak mampu mengantisipasi langkah gerak politisi lain yang menghalalkan
 se

Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-29 Terurut Topik Marto Blantik


- Original Message -
From: Paladin A. [EMAIL PROTECTED]
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Saturday, October 30, 1999 9:06 AM
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

 Kalau menurut saya tidak ada istilah "demokrasi yang mempertontonkan
 keindahan", yang ada cuman "demokrasi", dan "keindahan" itu adalah bagian
 dari demokrasi. Demokrasi yang berlaku di negeri kita ini adalah demokrasi
 tidak langsung yang artinya mempercayakan pelaksanaannya kepada
wakil-wakil
 yang berada di lembaga legislatif, bukan dilakukan sendiri. Seperti kata
 simBah, ibarat anak panah yang telah dilepas, kita sudah membiarkan anak
 panah itu mencari sasarannya, tidak untuk ditarik lagi. Dan masalahnya
 bukan rakyat sudah terlupakan, melainkan rakyat yang tidak melakukan
 kontrol yang efektif terhadap wakil-wakil rakyatnya. Lagipula sebetulnya
 keinginan rakyat (baca : pendukung PDI-P) itu apa sih? Megawati jadi
 Presiden, atau perbaikan menyeluruh alias reformasi melalui platform
PDI-P?
 Kalau jawabannya yang kedua, mengapa harus sampai protes begitu, toh pada
 intinya mengarah kepada tujuan yang sama, Presiden atau bukan, ya nggak?

Wah enak betul jadi anak panah, bisa-bisa sasaran yang dicari  nanti duwit
dan kekuasaan, atau cipratan dari kekuasaan, dan ujungnya lagi-lagi KKN
he-he Sebenarnya rakyat sudah mengontrol dengan baik yakni melalui pers.
Ini harus diakui sebagai jasa Habibie buat reformasi. Hanya sayang pers ada
yang digunakan sebagai alat penguasa untuk membangun opini. Dan sering kita
terjebak baku hantam karena pers juga.

Begini Mas, ada satu yang selalu menjadi pegangan buat saya, kalo ada
kalangan bawah demo, atau pemberontakan menurut istilah penguasa (entah yang
demo itu petani, nelayan, buruh, atau kalangan grass root yang
penghasilannya pas-pasan, entah itu pendukung Megawati atau bukan) berarti
ada suatu tekanan atau bahasa PKI nya penindasan. Demo (ngamuk untuk Promeg)
sebenarnya adalah ungkapan manusia untuk bebas dari tekanan tsb, dengan kata
lain ingin diakui sebagai manusia (diakui hak-haknya). Kalau ada orang demo,
itu berarti dia cuma ingin bilang aku ingin bebas (dari tekanan), akuilah
aku sebagai manusia yang sama denganmu (mu disini adalah penindas atau
penguasa). Tekanan bisa berupa mental (mis. ketakutan), atau secara fisik
(senjata), atau diperlakukan semena-mena, tidak dianggap manusia. Jatuhnya
Suharto adalah contoh yang jelas. Untuk kasus Promeg pendukungnya mengusung
Megawati sebagai simbol pembebas atau seperti menurut anda perbaikan
menyeluruh alias reformasi melalui platform PDI-P. Untuk bebas dari tekanan
itu orang bikin pemilu.Pemilu adalah salah satu cara untuk keluar dari
tekanan secara damai. Namun rupanya itu tidak berlaku untuk di Indonesia.
Panah sudah dilepaskan, biarlah cari sasarannya sendiri, ini kata simbah.
Karena MPR pun yang katanya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, ternyata
dapat pula dijadikan sebagai alat penindas.

 Apa nggak terasa aneh menurut anda? Semestinya orang-orang PDI-P sebagai
 'veteran' dari PDI zaman Orba dulu lebih tahu dan lebih berpengalaman
dalam
 cara-cara meliuk-liuk yang indah. Dan mereka adalah orang-orang yang
 semestinya paling tahu bahwa politik itu tidak selalu indah dan
 berbunga-bunga. Siapa yang salah?

Oleh karena itu PDIP disebut bodoh karena tidak ikut-ikutan meliuk-liuk yang
indah, yang dituruti adalah suara nuraninya sendiri. Kalo anda baca Tempo,
anda akan tau, kalau misalnya pertanggungjawaban Habibie disetujui, saya
yakin Habibie akan jadi presiden lagi. Lha wong poros tengah di belakang
Habibie semua, itu kelihatan saat malam-malam para tokoh penting porteng
grudukan ke rumah Habibie. Dan naifnya Mega, dia cuma berharap ada suara
nurani. Gara-gara nurani pula Golkar pecah, PAN ribut. Tapi itu sudah usai,
hanya masih ada pertanyaanku yang menggantung apakah 5 tahun yang akan
datang kita ribut lagi dan saling caci maki di milis ini lagi ? Apakah
ungkapan permainan indah nan cantik akan muncul lagi ? Atau kita akan bikin
tradisi tiap 5 tahun diadakan pesta bakar-bakaran he-he-... Oaalah apa yang
telah kita wariskan pada anak cucu ini..

 ngomong-ngomong soal negara miskin dunia ketiga, selama anda masih
 berpendapat seperti itu maka Indonesia bakal terus menjadi negara miskin
 dunia ketiga...kalau nggak kepingin ditipu en dibodohin, belajar! Para
 pendahulu kita bisa melepaskan diri dari belenggu penjajahan dengan
 belajar, bukan dengan senjata dan adu fisik saja.

Ya-ya-ya saya akan belajar, belajar bagaimana melepaskan diri dari belenggu
penindasan. Nanti rakyat dibilangi saja kalau protes jangan ngamuk pakai
senjata atau adu fisik, ada cara lain yang indah dan cantik, dan lebih
ampuh, boikot, pemogokan masal atau sabotase, pasti golongan menengah ke
atas kelimpungan termasuk modal asingnya he-he..anda ini gimana, pemilu yang
jujur kemarin itu sudah merupakan pembelajaran/pendidikan politik yang baik
dan benar buat rakyat, rakyat berperan dalam memerahputihkan Indonesia biar
tidak 

Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-28 Terurut Topik Abdullah Hasan


From: Yap C. Young [EMAIL PROTECTED]
menganggap bahwa kekuasaan itu adalah jatuhan dari langit.  "
  Ya gagal.
Benar, pola pikir yang dogmatis dan terpaku pada pakem standard ternyata
tidak mampu mengantisipasi langkah gerak politisi lain yang menghalalkan
setiap kemungkinan yang terbuka. Akibatnya PDIP gagal total meraih kursi
Presiden, dan menjadi bulan bulanan di SUMPR.

===
Saudaraku Yap yang saya hormati,
Anda mungkin kurang konsentrasi. Ron Moreau di Newsweek yang saya
kutip, bicara soal nihilnya "pola pikir" alias main ilmu batin. Saya kok
menduga itu betul. Jadi yang namanya "yang dogmatis dan pakem standard"
cuma ilmu mistis nunggu durian runtuh dari kahyangan. Di tahun 2000 ini,
"pola pikir" seperti itu ya diketawai banyak orang. Hasilnya pasti Gatot.
Gagal Total, seperti kenyataan yang membuat nangis banyak orang itu.

Yang harus dikerjakan bukan menghalalkan segala cara. Apalagi berbuat
haram menonjolkan otot dan memamerkan kebolehan mengocor darah.
Anak SMA saya kira sudah mulai tahu . Simply, to negotiate. Berunding
bersama. Aktif , bukan cuma menunggu diujung ruang kaya Siti Nurbaya
menunggu digoda jejaka. Saya tidak percaya orang PDIP tidak tahu hal itu.
Tapi PDIP tidak melakukan itu. Saya curiga kejadian yang dilihat banyak
orang tersebut adalah "perintah" Mbak Mega. ( maaf banyak lho. sekarang
sudah bukan waktunya untuk nyek2an ( ledek2an). Saya cuma berusaha
berpikir rasionil saja, untuk keperluan diskusi).

Kalah dan  Jadi bulan-bulanan. Lebih sehat kalau anda berhenti pada kata
'kalah". Nanti dikira ngambeg lho ! Kalah total kan tidak, PDIP berhasil
mendapat Wapres ( nilainya tujuh menteri) walaupun sedikit tidak indah
( baca laporan WAM soal kebangkrutan : with smile).

Yap kemudian menulis :
"..Saya perlu bertanya arti kata modern, urut dan indah bagi PAN, PBB
atau PK yang seingat saya dalam meraup massa diantaranya jelas jelas
menjanjikan memperjuangkan Amien Rais, Yusril Ihza  Tidak satupun
dari Partai-partai  itu mencalonkan Gus Dur hanya PBB yang masih
konsisten maju dengan Prof Yusril, tetapi itupun menarik diri ...menerima
sumpah Gus Dur untuk tidak akan mundur dari pencapresan. Jadi
pencapresan Yusril lebih didasari ketidak percayaan atas keseriusan
Gus Dur..daripada memenuhi janji kampanye. Apakah ini yang dimaksud
modern, urut dan indah?..."

Arti kata modern berhubungan dengan yang diatas. Mereka tidak meng-
gunakan "ilmu batin" dan mistik. Mereka memakai beberapa perangkat
seperti kemampuan negosiasi, mereka menggunakan setiap potensi organi-
sasi, tidak terborgol kaku diam oleh pucuk pimpinan saja.
Yang lain yang amat penting ,tidak menganggap figur presiden setingkat
nabi , sehingga layak ngocor darah atawa revolusi. Ngotot, saya kira
bukanlah hal modern.Bila ditingkat negosiasi tidak ada harapan, cari
yang lain. Negeri ini menyimpan ratusan orang layak presiden bila kita
sepakat pakai otak. Partai Keadilan yang banyak S2  S3-nya , dengan
humble mencalonkan seorang ustat kampung sederhana. Bukan seorang
Bintang gemerlap. Mereka tahu betul pasti kalah. Tujuannya cuma
pesan gampang , tapi tidak sederhana : Banyak orang layak Presiden di
negeri ini.

Ada lagi yang saya anggap modern. Yang penting bukan alat , tapi tujuan
dan cara mencapai tujuan. Konsisten dengan calon memang tindakan heroik
Tapi amat kekanak-kanakan. Itu adalah konsisten kepada alat. Dengan
modern , partai2 yang anda sebut seperti PAN, PBB, dan PK mengganti
calon, tapi tetap berusaha mendapat kepastian negeri ini dikelola sedekat
mungkin dengan ideal mereka. Mereka dengan gigih berunding , kalau perlu
meminta janji, meminta sumpah, dan mengukur visi calon lain yang bakal
disetujuinya. Bukan dagang sapi seperti yang dipahami sebagian orang
tradisionil. Itu namanya Negosiasi. Itulah demokrasi : tidak mesti
mendapatkan semua yang dimaui.

Kiprah PBB, Yusril dan Mardjono menurut saya adalah salah satu yang
terindah dalam SU MPR. Langkah mereka setajam pisau silet. Sama sekali
tidak memberikan ruang nakal pada lawan. Mereka mau Gus Dur tidak mau
Mega. Mereka bukan lagi anak bangsa jaman dulu yang gampang dibodohi
oleh Londo Eropa. Mereka berbuat hal yang halal dan cerdas. Bagi saya
sekali lagi, amat mengagumkan. Seperti Kasparov!

Keindahan dalam politik adalah kecerdasan kombinasi langkah halal untuk
mencapai tujuan. Urut yang saya maksud adalah kefasihan dalam pengung-
kapan. Transparan. Bukan cuma diam yang membingungkan dan mengun-
dang teka-teki. Bisa dikatain bloon!.  Urut bisa pula berarti sadar tahapan.
Umpamanya : setelah pemilu, ada sidang MPR. Setelah menang pemilu,
mesti menang pula ditahap berikut. Kemudian selain presiden apa...
Kalau ada partai yang cuma terobsesi meng-Gol-kan Presiden saja apakah
bisa dikatakan modern ?  Alasannya amanat Kongres. Hayoh Toh !
Apakah itu yang dinamakan Pakem Standard ? Nanti keliru dengan Parem
( kocok) Standard? Ya ketinggalan, mas..
Persis benar seperti yang anda ( Yap) katakan:
"Seingat saya 

Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap

1999-10-28 Terurut Topik Yap C. Young

Terima kasih pak Hasan atas penjelasannya. Untuk sekedar meramaikan, dari 
saya cukup segitu saja, biar rekan lain yang nerusin.

Wassalam,
Yap

From: "Abdullah Hasan" [EMAIL PROTECTED]
To: "Millis Kuli-Tinta" [EMAIL PROTECTED]
Subject: Re: [Kuli Tinta] PDIP ( LAGI ) : u/Yap
Date: Thu, 28 Oct 1999 16:23:08 +0700

Saudaraku Yap yang saya hormati,
Anda mungkin kurang konsentrasi. Ron Moreau di Newsweek yang saya
kutip, bicara soal nihilnya "pola pikir" alias main ilmu batin. Saya kok
menduga itu betul. Jadi yang namanya "yang dogmatis dan pakem standard"
cuma ilmu mistis nunggu durian runtuh dari kahyangan. Di tahun 2000 ini,
"pola pikir" seperti itu ya diketawai banyak orang. Hasilnya pasti Gatot.
Gagal Total, seperti kenyataan yang membuat nangis banyak orang itu.

Yang harus dikerjakan bukan menghalalkan segala cara. Apalagi berbuat
haram menonjolkan otot dan memamerkan kebolehan mengocor darah.
Anak SMA saya kira sudah mulai tahu . Simply, to negotiate. Berunding
bersama. Aktif , bukan cuma menunggu diujung ruang kaya Siti Nurbaya
menunggu digoda jejaka. Saya tidak percaya orang PDIP tidak tahu hal itu.
Tapi PDIP tidak melakukan itu. Saya curiga kejadian yang dilihat banyak
orang tersebut adalah "perintah" Mbak Mega. ( maaf banyak lho. sekarang
sudah bukan waktunya untuk nyek2an ( ledek2an). Saya cuma berusaha
berpikir rasionil saja, untuk keperluan diskusi).

Kalah dan  Jadi bulan-bulanan. Lebih sehat kalau anda berhenti pada kata
'kalah". Nanti dikira ngambeg lho ! Kalah total kan tidak, PDIP berhasil
mendapat Wapres ( nilainya tujuh menteri) walaupun sedikit tidak indah
( baca laporan WAM soal kebangkrutan : with smile).

Yap kemudian menulis :
"..Saya perlu bertanya arti kata modern, urut dan indah bagi PAN, PBB
atau PK yang seingat saya dalam meraup massa diantaranya jelas jelas
menjanjikan memperjuangkan Amien Rais, Yusril Ihza  Tidak satupun
dari Partai-partai  itu mencalonkan Gus Dur hanya PBB yang masih
konsisten maju dengan Prof Yusril, tetapi itupun menarik diri ...menerima
sumpah Gus Dur untuk tidak akan mundur dari pencapresan. Jadi
pencapresan Yusril lebih didasari ketidak percayaan atas keseriusan
Gus Dur..daripada memenuhi janji kampanye. Apakah ini yang dimaksud
modern, urut dan indah?..."

Arti kata modern berhubungan dengan yang diatas. Mereka tidak meng-
gunakan "ilmu batin" dan mistik. Mereka memakai beberapa perangkat
seperti kemampuan negosiasi, mereka menggunakan setiap potensi organi-
sasi, tidak terborgol kaku diam oleh pucuk pimpinan saja.
Yang lain yang amat penting ,tidak menganggap figur presiden setingkat
nabi , sehingga layak ngocor darah atawa revolusi. Ngotot, saya kira
bukanlah hal modern.Bila ditingkat negosiasi tidak ada harapan, cari
yang lain. Negeri ini menyimpan ratusan orang layak presiden bila kita
sepakat pakai otak. Partai Keadilan yang banyak S2  S3-nya , dengan
humble mencalonkan seorang ustat kampung sederhana. Bukan seorang
Bintang gemerlap. Mereka tahu betul pasti kalah. Tujuannya cuma
pesan gampang , tapi tidak sederhana : Banyak orang layak Presiden di
negeri ini.

Ada lagi yang saya anggap modern. Yang penting bukan alat , tapi tujuan
dan cara mencapai tujuan. Konsisten dengan calon memang tindakan heroik
Tapi amat kekanak-kanakan. Itu adalah konsisten kepada alat. Dengan
modern , partai2 yang anda sebut seperti PAN, PBB, dan PK mengganti
calon, tapi tetap berusaha mendapat kepastian negeri ini dikelola sedekat
mungkin dengan ideal mereka. Mereka dengan gigih berunding , kalau perlu
meminta janji, meminta sumpah, dan mengukur visi calon lain yang bakal
disetujuinya. Bukan dagang sapi seperti yang dipahami sebagian orang
tradisionil. Itu namanya Negosiasi. Itulah demokrasi : tidak mesti
mendapatkan semua yang dimaui.

Kiprah PBB, Yusril dan Mardjono menurut saya adalah salah satu yang
terindah dalam SU MPR. Langkah mereka setajam pisau silet. Sama sekali
tidak memberikan ruang nakal pada lawan. Mereka mau Gus Dur tidak mau
Mega. Mereka bukan lagi anak bangsa jaman dulu yang gampang dibodohi
oleh Londo Eropa. Mereka berbuat hal yang halal dan cerdas. Bagi saya
sekali lagi, amat mengagumkan. Seperti Kasparov!

Keindahan dalam politik adalah kecerdasan kombinasi langkah halal untuk
mencapai tujuan. Urut yang saya maksud adalah kefasihan dalam pengung-
kapan. Transparan. Bukan cuma diam yang membingungkan dan mengun-
dang teka-teki. Bisa dikatain bloon!.  Urut bisa pula berarti sadar 
tahapan.
Umpamanya : setelah pemilu, ada sidang MPR. Setelah menang pemilu,
mesti menang pula ditahap berikut. Kemudian selain presiden apa...
Kalau ada partai yang cuma terobsesi meng-Gol-kan Presiden saja apakah
bisa dikatakan modern ?  Alasannya amanat Kongres. Hayoh Toh !
Apakah itu yang dinamakan Pakem Standard ? Nanti keliru dengan Parem
( kocok) Standard? Ya ketinggalan, mas..
Persis benar seperti yang anda ( Yap) katakan:
"Seingat saya sejak PDIP konggres di Ba