BHINEKA BHASA TUNGGAL BANGSA
Hanya suatu impian?
( Moderator Mailing List Jawa, Wojoseto)

Tulisan ini sebenarnya, dengan kemasan lain, pernah penulis
postingkan setahun yang lalu, ketika mencoba manyambut bulan
bahasa Indonesia. Tidak terasa, bulan Oktober hampir habis.

Secara kebetulan pula di bulan ini terjadi peristiwa sangat
bersejarah dengan digelarnya SU MPR hasil pemilihan umum
yang dinyatakan jauh lebih LUBER dibanding pemilu-pemilu
sebelumnya. SU MPR yang diakhiri dengan pemilihan presiden
yang pertama kali di lembaga MPR, menutup kebiasaan upacara
pengesyahan presiden, sebanyak 8 kali sejak 1968.

Memang disayangkan, bayaran tebusan yang cukup mahal harus
terjadi, pada rangkaian SU MPR itu.  Terjadi pergolakan
hebat, namun ditutup dengan perpaduan kembali, yang
dinyatakan secara simbolik politis, bahwa calon
presiden dan calon wakil presidennya, sama mengutub menjadi
2 orang saja.

Mencermati ulang Sumpah Pemuda dengan unsur bertanah air,
berbangsa dan menjunjung tinggi bahasa yang satu Indonesia,
maka dengan membandingkannya kondisi dewasa ini, saya merasa
sangat sedih. Dengan satu pertanyaan besar, "Benarkah bangsa
besar Indonesia ini masih ada?" Dilihat dari perekat
pemersatunya yang tiga itu, rasa-rasanya bangsa ini
menghadapi ancaman besar menuju "bubar".

Namun pun demikian, penulis masih mengharapkan akan adanya
perekat persatuan atau menguatnya perekat persatuan bangsa
Indonesia. Salah satu perekat itu adalah unsur ketiga Sumpah
Pemuda, Bahasa Persatuan, INDONESIA. Akan tetapi bukan dari
bahasa Indonesianya itu sendiri, melainkan dari kekayaan
bangsa Indonesia akan banyaknya Bahasa Daerah.

Dalam setiap kali menghadiri pertemuan atau acara-acara
pemaparan Indonesia di tempat saya tinggal sekarang
(Jepang), sering terungkapkan dengan rasa bangga oleh
pemaparnya akan kekayaan Indonesia itu. Sering dinyatakan,
bahwa Indonesia dengan 13.000 pulau sangat kaya dengan 300
lebih bahasa daerah, yang sangat sering memang memancing
kegaguman pengunjung. Kagum akan kekayaan dan kebesaran
bangsa besar Indonesia itu. Akan tetapi keadaan segera
berbalik, bila ada pengunjung yang bertanya, "Bisakah Anda
berbahasa Bali, karena saya akan berlibur ke sana musim
panas mendatang?" Mati kutulah saya. Jangankan bahasanya,
berkunjung ke Balinya sendiri pun belum pernah. Ini yang
membuat orang asing keheranan, mengapa seseorang dari suatu
negara tidak mampu bercakap dengan bahasa yang juga terdapat
di negara itu, apalagi bagi orang Jepang.

Orang Jepang yang dengan ujud negara serupa berbentuk
kepulauan, mampu berkomunikasi antar sesamanya yang
terentang jauh dari Hokaido hingga Okinawa. Padahal dialek
mereka sering sangat berbeda. Ternyata orang Jepang memiliki
perekat kuat dalam segi bahasa, terutama bahasa tulisnya,
yaitu karakter Kanji, yang diadopsinya dari negeri Cina.
Jangankan dengan sesama orang Jepang, dengan bangsa Korea
dan Cina, merekapun mampu berkomunikasi secara tertulis
dengan sedikit improvisasi ketatabahasaannya. Maka bahasa
menunjukkan bangsa sangat kental arti positifnya bagi ketiga
bangsa asia timur ini. Bersatu dengan erat, karena saling
faham akan unsur budaya mereka melalui bahasa tulis.

Akan halnya bangsa Indonesia yang buta karakter kanji,
bahasa menunjukkan bangsa terkesan berarti negatif. Walaupun
punya bahasa pemersatu, tetaplah belum cukup kuat
mempersatukan suku-suku bangsanya. Masalah SARA mudah sekali
bergejolak. Apakah ini bukan karena kurangnya saling faham
antar simpul-simpul budaya daerah melalui pemahaman bahasa.

Rupa-rupanya perekat persatuan berupa bahasa yang mengendur
ini, mulai merembet ke simbul-simbul pemersatu yang lebih
komplit, yaitu Pancasila. Pancasila mulai digugat, mulai
dituntut untuk diganti dengan yang lain. Kita telah melalui
banyak gejolak bermuatan SARA. Isu negara serikat dan negara
kesatuan sempat mengemuka berkepanjangan. Masalah gender
presiden mengemuka memancing perpecahan. Ancaman
disintegrasi makin hari makin meluas dan mengkristal.
Kesemuannya dapat dikembalikan kepada kebuntuan komunikasi
antar budaya, khususnya pemahaman antar bahasa daerah. Maka
harapan agar bahasa daerah menjadi unsur undang-undang dasar
yang diamandemen, perlulah sangat kita dukung.

Bila tidak demikian, bentangan pita putih tempat bertengger
Garuda-paksi akan mudah robek. Bhineka Tunggal Ika terasa
terancam. Sumpah Pemuda 71 tahun yang lalu akan tinggal
sekedar sumpah yang hanya menghiasi kenangan di buku-buku
sejarah. Kekayaan bahasa Indonesia yang berupa ratusan
bahasa nusantara justru menjadi ancaman menuju perpecahan.
Antar pengguna bahasa daerah itu kesulitan dalam
berhubungan, karena hambatan pemahaman.

(bersambung)

iklan milis: WOJOSETO MAILING LIST
langganan: [EMAIL PROTECTED]
brenti: [EMAIL PROTECTED]
tanya: [EMAIL PROTECTED]
dolin:  http://www.egroups.com/list/wjseto







______________________________________________________________________
Untuk bergabung atau keluar dari Milis, silakan LAKUKAN SENDIRI 
dengan mengirim e-mail kosong ke alamat;
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Keluar: [EMAIL PROTECTED]

Sambut MASA DEPAN BARU Indonesia!

Kirim email ke