Agama Buddha untuk Abad Berikutnya!

Menuju Pembaharuan Ulang Moral Masyarakat Thai

Biku Visalo

Diterjemahkan oleh Jimmy Lominto 

 

(bag 5)

Di bawah Ketiak Konsumerisme

Konsumerisme adalah ideologi mutakhir yang berpengaruh kuat terhadap agama 
Buddha setelah ilmu pengetahuan Barat dan nasionalisme membentuknya selama 
hampir satu abad. Sementara ilmu pengetahuan dan nasionalisme mempengaruhi 
agama Buddha secara sistematis melalui pendefinisian ulangnya oleh kaum elite, 
konsumerisme membentuk agama Buddha Thai bukan melalui upaya sadar siapa-siapa 
melainkan karena kelemahan internalnya sendiri. 

Dengan pengaruh konsumerisme, komunitas Buddhis dialihfungsikan menjadi pasar 
di mana bukan hanya jimat, jasa (merit) dan upacara pun yang dijual sebagai 
komoditi. Dalam beberapa dekade saja, ajaran, kepercayaan, dan praktik Buddhis 
Thai telah dirubah secara dramatis dan mempunyai banyak karakteristik 
konsumerisme berikut ini:

•  Materialisme: kekayaan, bukan kebahagiaan, yang diceramahkan dan diharapkan 
sebagai tujuan praktik agama

• Merangsang nafsu: segala jenis konsumsi didorong, termasuk konsumsi 
pengalaman religius, misalnya, mengunjungi surga dan melongok “nibbana sejenak.”

•  Orientasi pada uang: uang, bukan upaya, adalah faktor terpenting untuk 
pencapaian religius. Begitu jasa (merit) dikomoditikan, jasa bisa dikumpulkan 
dengan bantuan uang. Bahkan pengalaman religius dan ketenangan pun diharap bisa 
diperoleh dari persembahan uang sebagai pembuatan jasa. 

•  Hasil-hasil seketika: pelayanan dan praktik keagamaan diharap bisa 
memberikan hasil seketika. Tahayul menjadi menarik karena menjanjikan hasil 
yang cepat dan mudah. 

•  Individualisme: praktik keagamaan ditujukan untuk memuaskan nafsu-nafsu 
individu tanpa peduli akan akibat-akibat yang menimpa pihak lain. 

Meluasnya konsumerisme banyak menyumbang pada naiknya tahayul karena keduanya 
saling melengkapi dalam banyak aspek. Konsumerisme merangsang nafsu dan 
pemaksimalan  keuntungan, sedangkan tahayul menawarkan “jalan pintas’ 
pencapaian duniawi. Konsumerisme mengomoditikan sebanyak mungkin hal yang ia 
bisa, sementara tahayul menjual banyak komoditi  seperti jimat, ritual, dan 
“sertifikat nibbana.”

Begitu konsumerisme menyebar ke wihara-wihara, tahayul mengikutinya. Wihara 
bukan saja  mengonsumsi tahayul, tapi juga mereproduksinya. Seperti telah 
disampaikan sebelumnya, wihara yang dulunya merupakan penyebar agama Buddha 
resmi yang anti tahayul, kini semakin ditunggangi tahayul.   Kegagalan dalam 
mengenyahkan tahayul ini sebagian disebabkan oleh ia kekurangan hal-hal sakral 
yang bisa diyakini masyarakat. Ia tidak meninggalkan ruang untuk Buddha mistis, 
dewa-dewi, surga, mujizat, dsbnya. Bahkan nibbana yang tertinggi pun banyak 
diabaikan. Terlepas dari perjuangan Biku Buddhadasa dan Phra Dhammapitaka untuk 
menghidupkan kembali pentingnya nibbana, mereka tidak begitu diterima oleh 
hirarki dan institusi pendidikan Sangha. Tidak mengejutkan, pengaruh agama 
Buddha resmi semakin menghilang bahkan di kalangan biku sekalipun. 

Mereka yang berpaling dari agama Buddha resmi, tidak serta merta mengarahkan 
kuping mereka ke Biku Buddhadasa dan Phra Dhammapitaka. Kendati kesakralan hal 
tertinggi diperjuangkan kedua guru ini agar lebih dekat kepada orang biasa, 
namun hanya sedikit yang bisa nyambung dengannya, karena ketersambungan itu 
hanya dimungkinkan melalui meditasi. Bagi kebanyakan orang, yang tidak begitu 
tertarik pada meditasi, hal sakral yang mereka bisa nyambung bukanlah yang bisa 
dialami langsung oleh pikiran mereka melainkan yang didasarkan pada keyakinan 
dan yang diungkapkan melalui obyek-obyek fisik yang bisa dicerap panca indera, 
misalnya, Dewi Kuan Im (Kannon), Luang Por Toe yang muncul lewat  perantara, 
atau kekuatan mistis Buddha yang diisi ke dalam jimat. Wihara-wihara yang 
menawarkan akses ke aspek materialis dari hal yang sakral ini dapat menarik 
begitu banyak pengunjung. Semakin mampu mereka mengadaptasi konsumerisme, 
semakin sukses pula mereka. Tidak ada contoh yang lebih menonjol daripada 
 Wat (wihara) Phra Dhammakaya.

Atmosfir yang bersih dan tertib adalah kesan pertama yang dimiliki kebanyakan 
pengunjung tentang Wat Phra Dhammakaya, tapi hal sakral itulah yang mengikat 
begitu banyak pengikut ke wihara ini dengan keyakinan yang begitu rekat. Di 
samping mujizat-mujizat dahsyatnya yang tersohor, hal sakralnya itu bersifat 
imanen dan dapat disentuh. Kesakralannya dicirikhaskan oleh Dharmakaya Buddha 
dan nibbana. Nibbana dan Dharmakaya Buddhanya bukan hanya merupakan satu diri 
yang permanen (atta} tapi juga yang dapat dicerap seperti zat [matter] (punya 
kualitas fisik seperti dingin dan panas). Lebih jauh lagi, orang-orang biasa 
(yang belum dalam meditasinya) bisa kontak dengan Dharmakaya Buddha melalui 
upacara “persembahan nasi mereka ke Dharmakaya dalama upacara nibbana.”

Bukan yang sakral itu saja yang menjadi satu-satunya alasan pesatnya ekspansi 
Dharmakaya. Keberhasilannya dalam menyedot pengunjung (hampir sejuta umat) juga 
berkat adaptasinya pada konsumerisme. Dharmakaya bukan hanya menjanjikan 
pencapaian duniawi bagi umatnya, tapi juga menggunakan teknik pemasaran dalam 
menciptakan permintaan untuk jasa (merit) melalui “penjualan langsung.” Jasa 
dikomoditikan dan didiversifikasi ke banyak bentuk agar umat punya lebih banyak 
pilihan. Persaingan antarsukarelawan yang meminta sumbangan ditumbuhkan dan 
imbalan diberikan kepada mereka yang bisa menggalang jumlah sumbangan terbesar. 
Teknik-teknik ini berasal dari pemikiran pemimpinnya yang menganggap “Agama 
Buddha adalah komoditas unggul yang penjualannya buruk karena kurangnya 
strategi pemasaran yang baik.”

“Mega wihara” seperti Wat Dhammakaya hanyalah satu aspek agama Buddha yang 
telah ditunggangi konsumerisme (consumerized Buddhism). Aspek lain adalah 
banyaknya wihara kecil dengan aneka praktik dan kepercayaan yang begitu 
beragam. Ada banyak wihara yang menyampuradukkan aneka simbol, upacara, 
dewa-dewi, misalnya, menyampur Buddha, Kuan Im, dan Siwa dalam satu wihara yang 
sama. Kondisi ini bisa dijelaskan oleh semakin meningkatnya diferensiasi sosial 
dalam masyarakat Thai, sehingga menciptakan aneka ragam kepercayaan dan 
permintaan untuk pengalaman-pengalaman religius yang berbeda. Perilaku religius 
yang demikian lebih dicirikhaskan “konsumsi” religius ketimbang “praktik” 
religius, karena tidak didasari keyakinan yang kuat terhadap praktik tertentu 
melainkan nafsu untuk memuaskan diri atau bahkan nafsu untuk “mencicipi” 
pengalaman religius sejenak.

Pelajaran apa saja yang bisa kita ambil dari kasus Wat Dhammakaya, gado-gado 
religius, dan naiknya tahayul ini?  Hal-hal ini memberitahukan kita bahwa:

1.      Sudah berlalu agama Buddha yang seragam dan standar. Agama Buddha Thai 
sudah kembali lagi ke keanekaragaman, mungkin jauh lebih beragam daripada 
sebelum reformasi Pangeran Wachirayan.

2.      Dulu, agama Buddha yang seragam dimungkinkan karena kendali negara dan 
Sangha pusat. Tren di poin 1 merupakan sinyal bahwa agama Buddha kian mandiri 
dari negara dan hirarki Sangha, kembali lagi ke tangan rakyat.

3.      Konsumerisme makin berpengaruh dalam membentuk agama Buddha Thai, 
sebagian lewat “konsumsi” dan seleksi orang-orang biasa.

4.      Kepercayaan-kepercayaan dan perilaku orang Thai semakin menyimpang dari 
ajaran Buddhis dan lebih mengenai pemuasan nafsu diri daripada mengurangi 
keegoisan. (bersambung)

 

==============================================================

Bagi saudara-saudari seDharma yang tertarik untuk Belajar, Berlatih, dan 
Berbagi Hidup Berkesadaran serta mengembangkan Socially Engaged Buddhism* (SEB) 
di Indonesia silahkan bergabung dengan kami di Milis Dharmajala. 

*Agama Buddha yang terjun aktif ke dalam segala aspek kehidupan manusia  
seperti urusan sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik,  perlindungan 
lingkungan hidup…dsbnya tapi yang dilakukan secara PENUH KESADARAN atau dengan 
PERHATIAN PENUH.

Silahkan kunjungi:
http://groups.yahoo.com/group/Dharmajala/
  

Untuk bergabung, kirimkan email ke:
[EMAIL PROTECTED]
  

 

Dharmajala bertujuan untuk:

Menyingkap Tabir Ketidaktahuan
Membongkar Sekat Ketidakpedulian
Menganyam Tali Persahabatan 
Merajut Jaring Persaudaraan
Saling Asah, Asih, dan Asuh dalam Semangat Sanggha 
Aktif Mengupayakan Transformasi Diri Transformasi Sosial
Melalui Hidup Berkesadaran

=========================================================


                
---------------------------------
Do you Yahoo!?
 Make Yahoo! your home page   

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Would you Help a Child in need?
It is easier than you think.
Click Here to meet a Child you can help.
http://us.click.yahoo.com/0Z9NuA/I_qJAA/i1hLAA/b0VolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

** Kunjungi juga website global Mabindo di www.mabindo.org ** 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/MABINDO/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke