http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/790-ironis-kekerasan-terhadap-anak-terjadi-di-sekolah.html

Ironis, Kekerasan terhadap Anak Terjadi di Sekolah

Jumat, 12 Februari 2010 13:18    NAL

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kekerasan terhadap anak, justru sebagian
besar terjadi di lembaga pendidikan, yang selama ini diharapkan bisa
memanusiakan anak. Ada yang tak beres dalam dunia pendidikan di
Indonesia, karena itu Kementerian Pendidikan Nasional diharapkan bisa
mel akukan evaluasi menyeluruh, mencari akar persoalannya.

Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi
oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa
kanak-kanaknya. Pendidikan kita yang sarat beban dengan kurikulum
sebatas pengetahuan hafalan, menandakan betapa kelirunya kita
memandang anak. Anak dipandang tidak sebagai manusia, tetapi sebagai
barang milik.

Demikian antara lain benang merah yang terungkap pada Diskusi
Kekerasan Terhadap Anak, yang digelar Centre for Dialogue and
Coorperation among Civilisations (CDCC), Kamis (11/2/2010) di Jakarta.
Menghadirkan pembicara utama Arist Merdeka Sirait (Sekretaris Umum
Komnas Perlindungan Anak), Rieke Diah Pitaloka (anggota DPR RI), Maria
Ulfa Anshor (Fatayat NU), Romo Benny Sesetyo (Konferensi Waligereja
Indonesia), dan Abdul Muti (Direktur Eksekutif CDCC).

Arist Merdeka Sirait mengatakan, fakta dan data yang terlaporkan dari
masyarakat kepada Komisi Nasional Perlindungan Anak sepanjang tahun
2009, semakin kompleks dan di luar akal sehat manusia. "Kondisi yang
tidak bisa ditolerir dengan akal sehat manusia hamper terdapat di
setiap bentuk pelanggaran terhadap anak, mulai dari bentuk kekerasan
terhadap anak, anak putus sekolah, perdagangan anak, sampai anak
korban perceraian," katanya.

Kasus kekerasan terhadap anak misalnya, sepanjang tahun 2009 Komnas
Perlindungan Anak telah menerima pengaduan sebanyak 1.998 kasus. Angka
ini meningkat jika dibandingkan dengan pengaduan kekerasan terhadap
anak pada tahun 2008, yakni 1.736 kasus. "Ironisnya, kekerasan
terhadap anak terjadi di lingkungan terdekat anak, yakni rumah tangga,
sekolah, lembaga pendidikan dan lingkungan sosial anak. Sedangkan
pelakunya adalah orang yang seyogianya melindungi anak," ungkap Arist.

Kenyataan yang sama juga dipaparkan Abdul Muti, yang dari hasil survei
terhadap kasus kekerasan terhadap anak, menemukan sebagian besar
terjadi di sekolah dan lingkungan pendidikan lainnnya. "Sangat
ironistik, kasus kekerasan terhadap anak, justru sebagian besar
terjadi di lembaga pendidikan, yang selama ini diharapkan bisa
memanusiakan manusia. Anak dianggap sebagai makhluk yang lemah,"
katanya.

Maria Ulfah Anshor mengatakan, anak merupakan bagian terpenting dari
seluruh proses pertumbuhan manusia, karena pasa masa anak-anaklah
sesungguhnya karakter dasar seseorang dibentuk baik yang bersumber
dari fungsi otak maupun emosionalnya.

"Berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi
oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa
kanak-kanaknya," ujarnya.
Ubah paradigma

Arist Merdeka Sirait mengatakan, demi kepentingan terbaik anak perlu
diambil langkah-langkah segera melalui komitmen negara, masyarakat dan
pemerintah. Komnas PA mendesak setiap orang untuk seg era menghentikan
kekerasan terhadap anak serta merubah paradigma pendisiplinan dengan
kekerasan menjadi kasih sayang, komunikatif, dan dialogis.

"Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
segera menerbitkan Standar Pelayanan Minimal bagi perempuan dan anak
korban kekerasan dalam bentuk peraturan pemerintah," jelasnya

Maria Ulfah menawarkan solusi melalui pendidikan anak dan pengasuhan
anak yang berspektif gender. "Dalam melakukan pendidikan dan
pengasuhan anak yang berspektif gender, dimensi lain yang juga sangat
penting adalah memperhatikan hak-hak anak sesuai tahap tumbuh kembang
anak," katanya. (NAL/KOMPAS.COM)

Sumber: Kompas.com

Kirim email ke