FIQHUL WAQI' [MEMAHAMI REALITA UMMAT]

Oleh
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani Rohimahulloh


Segala puja dan puji hanya milik Allah Jalla Jalaluhu, kami memujiNya, 
memohon pertolongan dan ampunanNya. Kami berlindung kepadaNya dari kejahatan 
diri-diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang 
ditunjukiNya tiada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa 
yang di sesatkanNya, maka tidak ada yang dapat memberi petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang sebenarnya selain Allah Jalla 
Jalaluhu Yang Mahaesa, tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya 
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan rasulNya.

Amma ba'du.

Bahwasanya Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Hampir tiba saatnya ummat-ummat itu saling seru menyeru untuk 
memerangi kalian, sebagaimana orang yang akan makan saling menyeru untuk 
segera ketempat makannya. Seorang berkata "apakah karena jumlah kami sedikit 
pada saat itu ?" Beliau berkata : (tidak) bahkan jumlah kalian pada saat itu 
banyak, namun kalian ibarat buih yang terbawa oleh banjir. Dan benar-benar 
Allah akan mencabut dari hati musuh-musuh kalian rasa segan mereka terhadap 
kalian, dan Allah akan melemparkan dalam hati kalian 'al-wahan', seorang 
bertutur : "Wahai Rasulullah apakah 'al-wahn' itu ?. Beliau menjawab : 
'Cinta dunia dan benci pada kematian". [1]

Terungkap dengan sangat jelas dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
yang mulia ini berbagai fenomena dan gambaran tentang "malapetaka besar" 
yang menimpa kaum muslimin, dan telah memecah belah persatuan mereka, 
melemahkan kemuliaan dan kehormatan mereka, serta memporak porandakan 
barisan-barisan mereka.

Salah satu sisi fitnah ini telah menimpa lubuk hati sejumlah besar para da'i 
dan penuntut ilmu. Sehingga -sangat disayangkan- merekapun terpecah dan 
terbagi. Sebagian mencela dengan sebagian yang lain, sedangkan yang lainnya 
mengeritik, membantah dan seterusnya.

Bantahan-bantahan itu tidak sekedar bantahan, demikian pula jika sekedar 
kritikan-kritikan, tidak akan membahayakan seorang dari mereka, baik pihak 
yang membantah atau yang dibantah. Karena menurut pandangan orang-orang yang 
adil, yang tidak fanatik bahwa kebenaran itu diketahui dengan cahaya dan 
dalil-dalilnya, bukan diketahui dengan orang yang menyampaikan atau yang 
menyatakannya.

Akan tetapi yang membahayakan mereka (para pembantah dan yang dibantah) 
adalah "berbicara tanpa ilmu", serampangan, tanpa memikirkan akibat dan 
dampaknya, serta berbicara tanpa hak terhadap hamba-hamba Allah Jalla 
Jalaluhu.

[A]. MASALAH FIQHUL WAQI'.
Ditengah fitnah yang buta, tuli dan dibangkitkan pula beragam masalah yang 
berhubungan erat dengan masalah fiqh, manhaj dan dakwah. Alhamdulillah kami 
mempunyai jawaban-jawaban ilmiah seputar masalah tersebut. Maka segala puji 
dan karunia hanya milik Allah Jalla Jalaluhu.

Diantara problematika yang cukup melelahkan dan banyak diperbincangkan 
secara serius dalam fitnah di zaman ini, apa yang diistilahkan oleh sebagian 
orang dengan "Fiqhul Waqi' " alias "Memahami realita umat".

Sementarta itu, saya tidak menyangkal gambaran atau ilustrasi ilmu yang 
mereka ada-adakan, namanya dengan sebutan "Fiqhul Waqi'", sebab telah banyak 
ulama-ulama ummat yang memberikan berbagai jawaban guna mencari jalan keluar 
bagi ragam kesulitan yang mereka hadapi dengan maksud dan tujuan agar 
mengetahui dan mengenal realita mereka. Dari sanalah kita jumpai ungkapan 
mereka yang populer :

"Menghukumi sesuatu adalah bagian (cabang) dari gambarannya"

Hal ini tidak akan terwujud melainkan dengan mengenal kenyataan, kejadian 
dan realita yang meliputi suatu masalah yang menjadi sasaran sebuah bahasan. 
Ini adalah suatu kaidah dasar dalam memberi fatwa secara khusus, dan 
ilmu-ilmu lainnya secara umum.

Dengan demikian "Fiqhul Waqi' " adalah memahami sesuatu yang menggelisahkan 
atau menyusahkan kaum muslimin yang berhubungan erat dengan 
kepentingan-kepentingan mereka, atau tipu daya/makar musuh-musuh mereka, 
yang akan mengingatkan mereka agar mewaspadainya dan bangkit bersama secara 
nyata tidak hanya sekedar menganalisa atau menyibukkan diri dengan berita 
dan informasi kaum kafir atau bersikap melampui batas terhadap 
pemikiran-pemikiran mereka.

[B]. PENTINGNYA MENGENAL REALITA
Mengenal sebuah realita dengan tujuan agar sampai kepada hukum syariat 
adalah sangat penting dan merupakan salah satu kewajiban. Tugas ini harus 
dijalankan oleh sekelompok khusus pelajar muslim yang memiliki kecerdasan 
tinggi dari berbagai disiplin ilmu, baik syari'at atau kemasyrakatan 
(sosiologi), perekonomian, kemiliteran, dan ilmu apa saja yang dapat memberi 
manfaat bagi ummat Islam, serta mendekatkan mereka untuk kembali kepada 
kehormatan dan kemuliaan mereka. Terutama jika ilmu-ilmu ini terus 
berkembang sejalan dengan perkembangan zaman dan tempat.

[C]. BERAGAM "FIQH" YANG HARUS DIFAHAMI
Yang wajib diingat pada kesempatan ini, bahwasanya terdapat beragam fiqh 
yang mana kaum muslimin dituntut untuk memahaminya. Tidak hanya terbatas 
pada fiqh madzhab yang telah mereka kenal dan menerimanya, atau sekedar 
memahami "fiqh" (yang tengah kita bicarakan) ini, yang telah diingatkan dan 
digerakkan oleh sebagian da'i muda kita, tidak demikian. Sebab fiqh yang 
wajib dilaksanakan oleh kaum muslimin meskipun minimal bersifat fardhu 
kifayah, lebih besar dan lebih luas, seperti fiqh Qur'an, fiqh as-Sunnah, 
fiqh bahasa, fiqh mengenai sunnatullah di alam semesta ini, fiqh khilaf 
(yang berfungsi untuk mengetahui bagaimana memahami perbedaan pandangan 
,-pent) dan lain sebagainya. Fiqh-fiqh ini secara umum tidak kalah 
pentingnya dengan dua macam fiqh yang telah disebutkan sebelumnya, baik fiqh 
yang berkenaan dengan madzhab ataupun Fiqhul Waqi' yang kami bermaksud untuk 
menjelaskannya disini.

Bersamaan dengan itu semua, namun kami tidak menjumpai orang yang 
mengingatkan atau mengisyaratkan kepada beragam fiqh ini, terutama fiqh 
al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih yang 
merupakan induk dan dasar bagi fiqh-fiqh yang lainnya.

Fiqh inilah yang jika seorang mengatakan atau berpendapat bahwa hukumnya 
fardhu 'ain, niscaya pendapat itu tidak jauh dari kebenaran, karena kaum 
muslimin sangat membutuhkannya, dan sangat lazim bagi mereka. Meski demikian 
kondisinya, namun tidak banyak kita dengar seorang yang mendengungkannya, 
meletakkan dasar-dasar manhajnya, menyibukkan para pemuda untuk memahaminya, 
serta mendidik dan membina mereka di atasnya.

D]. YANG KAMI INGINKAN "MANHAJ" BUKAN SEKEDAR BICARA.
Memang benar banyak yang membicarakan tentang al-Qur'an dan as-Sunnah di 
zaman ini, serta mengisyaratkan kepada keduanya, ini adalah hal yang patut 
disyukuri alhamdulillah. Namun demikian yang wajib dan yang kami inginkan, 
bukan sekedar menulis disini dan ceramah disana, akan tetapi yang kami 
kehendaki, kita pahami keduanya dengan pemahaman yang benar sebagaimana yang 
terjadi di masa generasi pertama (para Sahabat), kemudian kita, 
menjadikannya sebagai bingkai/batasan umum bagi setiap urusan, baik yang 
kecil maupun yang besar. Manhaj al-Qur'an dan as-Sunnah hendaknya menjadi 
syi'ar (semboyan) dan lambang bagi dakwah sejak permulaan hingga akhir. 
Dengan demikian diharapkan dari mereka yang didakwahi, baik generasi muda 
atau yang lainnya akan terus berkesinambungan sejalan dengan "manhaj yang 
mulia" ini yang dengan berpegang teguh dan berjalan di atasnya ummat akan 
menjadi baik.

Keberadaan ulama pada setiap disiplin ilmu yang telah disebutkan di atas 
adalah sebuah keharusan. Terutama dalam memahami al-Qur'an dan as-Sunnah 
sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih berdasarkan pada ketentuan/kriteria 
yang jelas dan pokok-pokok kaidah yang telah diterangkan.

Akan tetapi kami telah mendengar dan memperhatikan dengan seksama, banyaknya 
jumlah pemuda muslim yang terperangkap dalam permasalahan seputar Fiqhul 
Waqi' yang seakan-akan tidak ada jalan keluar, mereka terpecah menjadi dua 
kelompok, sehingga sangat disayangkan kedua kelompok ini sebagian bersikap 
melampui batas terhadap masalah ini, dan sebagian lainnya lebih cenderung 
menggampangkan atau menganggap enteng serta tidak memiliki kepedulian 
terhadapnya.

Bahwasanya anda akan melihat dan mendengar dari mereka yang memperbesar 
urusan Fiqhul Waqi', serta meletakkannya tidak pada posisi yang semestinya, 
melebihi tingkat pengamalannya yang tepat (sesuai). Yang dikehendaki mereka 
bahwa setiap orang yang alim dalam masalah syariat, harus alim pula dalam 
apa yang mereka namakan Fiqhul Waqi'.

Sebagaimana realitanya bahwa kebalikan dari apa yang mereka inginkan terjadi 
pada diri mereka. Sungguh mereka telah menanamkan sebuah anggapan terhadap 
orang-orang yang mendengarkan ucapan-ucapan mereka atau orang yang berada 
diseputar mereka, bahwasanya setiap orang yang mengetahui realita dunia 
Islam, sama dengan seorang alim yang memahami al-Qur'an dan as-Sunnah diatas 
pemahaman Salafush Shalih.

Telah diketahui bahwa Fiqhul Waqi' bukanlah sebuah kelaziman sebagaimana 
yang telah kami isyaratkan diatas, lagi pula tidak pernah 
tergambar/terbayang oleh kami keberadaan seorang manusia yang sempurna yang 
mampu memahami seluruh ilmu yang telah kami sebutkan dan isyaratkan diatas.

Jika demikian kondisinya, maka menjadi kewajiban untuk berpartisipasi 
menolong mereka yang telah meluangkan waktu dalam mengetahui dan mengenal 
realita ummat Islam, serta apa saja yang menjadi lawannya. Dengan bekerja 
sama antar para ulama yang memahami al-Qur'an dan as-Sunnah sejalan dengan 
faham Salaf, maka mereka (ulama Fiqhul Waqi') mengemukakan gambaran-gambaran 
dan pemikiran mereka terhadap realita ummat, sedangkan ulama yang memahami 
al-Qur'an dan as-Sunnah menerangkan serta menjelaskan hukum Allah Jalla 
Jalaluhu kepada mereka, serta nasihat yang berdiri tegak diatas dalil yang 
shahih/benar dan hujjah/bukti yang terang benderang.

Adapun jika seorang yang berbicara Fiqhul Waqi', lalu dia dipandang oleh 
para pendengarnya sebagai salah seorang ulama dan pemberi fatwa, hanya 
karena ia berbicara tentang fiqh tersebut, hal seperti ini tidak dapat 
dihukumi sebagai sikap yang benar dari segala sudut pandang. Sebab nantinya 
dia akan menjadikan pembicaraan orang tersebut sebagai sandaran/pegangan 
yang dengannya ia menolak fatwa para ulama dan membatalkan upaya ijtihad dan 
hukum-hukum yang telah mereka putuskan.

[E]. KEKELIRUAN SEORANG ALIM TIDAK MENJATUHKAN
Yang sangat perlu untuk diterangkan pada kesempatan ini, bahwa seorang alim 
terkadang keliru atau salah dalam menghukumi suatu perkara tertentu dari 
sekian banyak problematika waqi'iyyah. Hal semacam ini adalah suatu perkara 
yang terjadi dan akan terjadi, akan tetapi apakah kasus tersebut menjatuhkan 
martabat sang alim itu atau ini ?. Dan menjadikan orang yang menyelisihinya 
menyipatinya dengan kata-kata yang tidak sepatutnya dikatakan kepadanya. 
Seperti dikatakan padanya, ini adalah seorang ahli fiqh dalam masalah 
syariat dan bukan ahli dalam masalah realita ummat (Fiqhul Waqi'). Pembagian 
semacam ini akan menyelisihi tuntunan syariat sekaligus menyelisihi realita. 
Sebab dari ucapan mereka itu seakan-akan mengharuskan kepada para ulama 
al-Qur'an dan as-Sunnah untuk mengetahui dan menguasai bidang perekonomian, 
sosial kemasyarakatan politik, militer, cara penggunaan persenjataan 
mutakhir dan lain sebagainya.

Saya tidak mengira bahwa seorang yang berakal sehat akan tergambar atau 
terbayang padanya kemungkinan terkumpul/terpadunya seluruh ilmu dan 
pengetahuan tersebut dalam dada seseorang meskipun ia seorang alim yang 
sempurna.

[F]. TIDAK MENGENAL WAQI' ADALAH SEBUAH KEKELIRUAN
Kami telah mendengar dari beberapa orang berkata : "Tidak penting bagi kita 
mengetahui realita ini". Ucapan ini sebuah kekeliruan. Yang tepat/adil jika 
dikatakan : "Bagi setiap ilmu yang beragam itu harus ada beberapa orang yang 
membidangi dan menjadi ahlinya, mereka saling tolong menolong , bahu membahu 
secara benar dan jujur sesuai dengan tuntunan syariat, tanpa adanya 
pengkotak-kotakan (hizbiyyah) dan fanatisme. Semua itu dilakukan untuk 
mewujudkan kebaikan/kepentingan ummat Islam dan menegakkan apa yang menjadi 
cita-cita setiap muslim, yaitu menerapkan syariat Allah di setiap belahan 
bumi yang tidak menjalankannya"

Dengan demikian setiap ilmu-ilmu tersebut adalah wajib secara kifayah atas 
sejumlah ulama kaum muslimin, dan bukan merupakan kewajiban atas seseorang 
untuk mengumpulkan pada dirinya secara sendirian, lagi pula secara realita 
hal itu adalah perkara yang mustahil.

Sebagai contoh, terkadang tidak boleh seorang dokter untuk melakukan sebuah 
operasi tertentu, kecuali jika telah meminta pendapat seorang alim yang 
telah memahami al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salaf. Sebab 
jika kitapun tidak mengatakan mustahil, namun merupakan hal yang amat sulit 
keberadaan seorang dokter yang benar-benar memiliki keahlian dalam bidangnya 
sekaligus sebagai seorang yang benar-benar memahami al-Qur'an dan as-Sunnah 
serta hukum-hukum yang dikandung oleh keduanya.

[G]. PENEKANAN PADA KEWAJIBAN SALING TOLONG MENOLONG
Oleh sebab itu kaum muslimin harus saling tolong menolong sebagai wujud 
pengamalan firman Allah Robbul 'aalamin (Tuhan semesta alam) dalam kitabnya 
yang mulia.

" Artinya : .....Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan 
dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan 
pelanggaran...." [Al-Maa-idah : 2]

Dengan upaya ini akan terwujud segala kemaslahatan /kebaikan yang menjadi 
idaman bagi ummat Islam.

Masalah ini termasuk yang tidak memerlukan berfikir terlalu panjang, karena 
hampir tidak pernah terbayang pada seorang muslim adanya seorang alim yang 
memahami al-Qur'an dan as-Sunnah, bersamaan dengan itu dia sebagai dokter 
yang sukses (dalam bidangnya), dan bersamaan dengan itu pula, ia memahami 
apa yang mereka namakan "Fiqhul Waqi", sebab dengan menyibukkan diri pada 
satu bidang ilmu, secara otomatis ia tersibukkan olehnya dari mempelajari 
bidang-bidang keilmuan lainnya. Dan sejauh mana perhatiannya terhadap ilmu 
yang ditekuni menjadikannya berpaling dari bidang-bidang ilmu lainnya, dan 
seterusnya.

Dengan demikian tidak mungkin tercapai hasil yang optimal (sempurna), 
sebagaimana ungkapan saya di atas, kecuali dengan mewujudkan kerjasama 
(ta'awun) diantara mereka dengan yang lainnya, dan masing-masing berbicara 
pada bidang keahlian yang dimiliki. Hanya dengan cara inilah akan terwujud 
segala tujuan syariat bagi kaum muslimin, dan merekapun akan selamat dari 
kerugian yang nyata. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Jalla Jalaluhu 
Rabb semesta alam :

"Artinya : Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam 
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, 
serta nasehat menasehati dalam mentaati kebenaran dan nasihat menasehati 
supaya menetapi kesabaran" [Al-Ashr : 1-3]

Meskipun demikian dari hasil pengamatan kami selama ini, kami jumpai bahwa 
sesungguhnya perasaan simpati dan semangat yang menggelora yang terpadu dan 
tidak terbatasi atau tidak terkendali, membuahkan berbagai dampak negatif. 
Diantaranya sikap berlebihan yang ditonjolkan dalam mengajak manusia untuk 
memahami Fiqhul Waqi' (realita umat). Karena pada hakikatnya kewajiban yang 
harus dilaksanakan terbagi menjadi dua bagian : Fardhu 'Ain/wajib 'ain yang 
merupakan kewajiban individual (perseorangan) setiap muslim, dan Fardhu 
Kifayah/wajib kifayah, yaitu manakala telah dilaksanakan oleh sebagian 
orang, maka gugurlah kewajiban tersebut dari sebagian lainnya. Dengan 
demikian tidak dibolehkan bagi kita menjadi sesuatu yang bersetatus Fardhu 
Kifayah sama dengan sesuatu yang bersifat Fardhu 'Ain.

Kalaupun kita mengambil sikap mengalah dengan mengatakan ; bagi para 
penuntut ilmu yang baru bermunculan dalam karir mereka harus 
mengetahui/memahami fiqhul waqi', namun tidak mungkin ucapan ini kita 
berlakukan terhadap ulama-ulama besar kaum muslimin. Apalagi mengharuskannya 
kepada para penuntut ilmu atau mewajibkan mereka untuk mengetahui Fiqhul 
Waqi'.

Adapun sesuatu yang merupakan hasil pemantauan dari Fiqhul Waqi' yang telah 
diketahui, akan ditetapkan hukumnya sesuai dengan kondisi (porsi)nya.

Jika realitanya seperti itu, maka tidak boleh bagi seorang penuntut ilmu 
agama mengingkari pentingnya memahami suatu "kejadian", karena tidak mungkin 
kita dapat mewujudkan apa yang menjadi idaman kaum muslimin, yaitu 
pembebasan diri mereka dan negeri mereka dari penjajahan kaum kafir, kecuali 
dengan mengenal makar dan tipu daya mereka, atau apa yang menjadi konspirasi 
mereka terhadap kaum muslimin, dengan tujuan mengingatkan kaum muslimin agar 
waspada dan mengambil sikap berhati-hati terhadap makar dan tipu daya 
tersebut, sehingga penjajahan dan penindasan terhadap dunia Islam segera 
berakhir dan tidak terus berkelanjutan.

Apa yang kami katakan ini tidak mungkin tercapai/terjadi secara maksimal 
kecuali dengan membina generasi muslim dengan pembinaan aqidah yang didasari 
ilmu dan manhaj/metode yang benar, berdiri tegak atas dasar "tashfiyah" 
(pemurnian) Islam dari segala kotoran-kotoran yang digantungkan padanya, dan 
asas-asas "tarbiyah" (pembinaan) mereka (generasi Islam) diatas Islam yang 
telah dimurnikan tadi sebagaimana ketika Allah Jalla Jalaluhu turunkannya 
pada hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Termasuk hal penting yang patut disebutkan disini bahwasanya yang mampu 
membawa ummat kepada kewajiban mereka, baik berupa wajib 'ain atau wajib 
kifayah, bukan pada khotib yang energik dan bersemangat tinggi, atau para 
ulama fiqh yang selalu menganalisa, akan tetapi yang memiliki kemampuan 
untuk maksud tersebut adalah para penguasa yang memegang urusan (kekuasaan) 
dan mampu melaksanakannya. Bukan pula para pemuda yang hanya bermodalkan 
semangat, atau para da'i yang hanya bermotifasi oleh perasaan yang mendalam, 
namun tidak dapat berbuat sesuatupun.

Atas dasar ini merupakan kewajiban para penceramah, ulama dan da'i untuk 
membina dan mendidik kaum muslimin agar mau menerima, tunduk dan pasrah 
kepada hukum Islam.

Kemudian langkah berikutnya, mengajak para penguasa dengan menggunakan cara 
terbaik dan terlurus, mengajak mereka agar mau meminta bantuan para fuqaha' 
dan ulama dari berbagai disiplin ilmu dan fiqh yang dibidanginya, baik fiqh 
al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, fiqh yang 
berhubungan erat dengan peraturan Allah Jalla Jalaluhu di alam ini, fiqh 
tentang realita ummat dan fiqh-fiqh lainnya yang memiliki peranan penting. 
Semua ini mereka (para penguasa) lakukan sebagai wujud pengamalan salah satu 
asas Islam yang agung yaitu asy-Syura' (permusyawaratan). Pada saat itulah 
segala urusan akan tepat mengenai sasaran dan berjalan diatas rel-relnya, 
serta orang-orang yang beriman akan bergembira dengan pertolongan Allah 
Jalla Jalaluhu atas mereka. Namun jika mereka (para penguasa) berpaling dari 
ajakan ini, (marilah kita simak ayat dibawah ini, -pent).

"Artinya : ... Jika mereka berpaling maka kami tidak mengutus kamu sebagai 
pengawas bagi mereka ..." [Asy-Syura : 48]

[H]. PENYEBAB TERHINANYA KAUM MUSLIMIN
Kami harus menjelaskan pada kesempatan ini, suatu hal yang amat penting 
namun dilalaikan oleh mayoritas kaum muslimin. Saya katakan : Penyebab 
keabadian kaum muslimin pada kondisi mereka yang terpuruk berupa kehinaan 
dan penindasan kaum kafir, bahkan kaum yahudi terhadap sebagian dunia Islam, 
penyebabnya bukanlah karena mayoritas ulama Islam tidak memahami Fiqhul 
Waqi' atau tidak mengetahui rencana-rencana dan tipu daya orang-orang kafir 
sebagaimana anggapan sebagian orang.

Oleh sebab itu saya berpendapat bahwa perhatian yang dicurahkan secara 
berlebihan terhadap Fiqhul Waqi' , hingga menjadikannya sebagai manhaj bagi 
para da'i dan generasi muda, dimana mereka membina dan terbina di atasnya, 
dengan menganggapnya sebagai "jalan kesalamatan", ini adalah sebuah 
kesalahan yang sangat nyata dan kekeliruan yang amat jelas.

Sedangkan suatu hal yang telah menjadi kesepakatan para fuqaha' dan tidak 
terdapat perbedaan di antara mereka, bahwa penyebab yang paling mendasar 
bagi kehinaan kaum muslimin sehingga terhentinya perjalanan mereka (untuk 
terus maju) adalah:

Kejahilan/kebodohan kaum muslimin terhadap Islam yang diturunkan Allah Jalla 
Jalaluhu, ke dalam hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mayoritas 
kaum muslimin yang mengetahui hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan 
berbagai kepentingan mereka, tidak melaksanakannya, mereka cenderung 
mengentengkan, menggampangkan dan menyia-nyiakan.

[I]. TASFIYAH DAN TARBIYAH
Dengan demikian, "kata kunci" bagi kembalinya kemuliaan Islam adalah dengan 
penerapan ilmu yang bermanfaat dan pengamalannya. Keduanya adalah perkara 
yang mulia, tidak mungkin dicapai oleh kaum muslimin kecuali dengan 
menerapkan manhaj/metode "tasfiyah" dan "tarbiyah" yang merupakan dua 
kewajban besar yang amat penting.

Yang saya maksudkan dengan "tasfiyah" (pemurnian) adalah : Pemurnian aqidah 
Islam dari sesuatu yang tidak dikenal dan telah menyusup masuk kedalamnya, 
seperti kesyirikan, pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah Jalla Jalaluhu, 
atau penakwilannya, penolakan hadits-hadits shahih yang berkaitan dengan 
aqidah dan lain sebagainya.

Pemurnian fiqh Islam dari segala bentuk ijtihad yang keliru yang menyelisihi 
al-Qur'an dan as-Sunnah, serta pembebasan akal dari pengaruh-pengaruh 
taqlid[2] dan kegelapan sikap fanatisme.

Pemurnian kitab-kitab tafsir al-Qur'an, fiqh, kitab-kitab yang berhubungan 
erat dengan raqa'iq (kelembutan hati), dan kitab-kitab lainnya dari 
hadits-hadits lemah dan palsu, serta dongeng israiliyyat dan 
kemunkaran-kemunkaran lainnya.

Adapun kewajiban kedua (tarbiyah), yang saya maksudkan adalah pembinaan 
generasi baru muslim, diatas Islam yang telah dibersihkan dari hal-hal yang 
telah kami sebutkan, dengan sebuah pembinaan secara Islami yang benar sejak 
usia dini tanpa pengaruh oleh pendidikan ala barat dan kafir.

Tidak diragukan lagi bahwasanya upaya untuk mewujudkan kedua kewajiban ini, 
memerlukan dan menuntut kesungguhan ruhnya dengan penuh keihlasan, baik 
secara kolektif maupun individual (perseorangan).

Sikap ini sangat diperlukan dari semua komponen masyarakat yang benar-benar 
berkepentingan untuk menegakkan sebuah masyarakat yang Islami yang menjadi 
idaman, disetiap negeri yang telah rapuh pilar-pilarnya, semua pihak bekerja 
pada bidang dan spesialisasi masing-masing.

Maka bagi para ulama yang mengetahui hukum-hukum Islam yang benar, harus 
sungguh-sungguh mencurahkan perhatian mereka, mengajak kaum muslimin kepada 
pemahaman Islam yang benar, baik aqidah maupun manhaj, serta memahamkannya 
kepada kaum muslimin. Kemudian ditindaklanjuti dengan pembinaan mereka 
diatas pemahaman tersebut, seperti apa yang telah difirmankan oleh Allah 
Jalla Jalaluhu.

"Artinya : .... Akan tetapi hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani 
[3] karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap 
mempelajarinya" [Ali-Imran : 79]

Inilah jalan satu-satunya dalam pemecahan problematika ummat yang dikandung 
oleh ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : ... Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu 
dan meneguhkan kedudukanmu" [Muhammad : 7]
===

[J]. BAGAIMANAKAH DATANGNYA PERTOLONGAN ALLAH JALLA JALALUHU ?
Alhamdulillah, merupakan sebuah kesepakatan yang tiada persilangan pendapat 
diantara kaum muslimin tentangnya, bahwa makna firman Allah Jalla Jalaluhu : 
"Jika kamu menolong (agama) Allah" adalah : "Jika kamu mengerjakan apa-apa 
yang diperintahkanNya, niscaya Allah Jalla Jalaluhu akan menolong kamu dari 
musuh-musuhmu".

Di antara nash-nash yang mendukung makna ini dan sangat sesuai dengan 
realita yang kami alami, dimana dalam nash tersebut telah digambarkan "jenis 
penyakit" dan sekaligus "cara terapinya" secara bersamaan, sebagaimana sabda 
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Jika kamu telah berjual beli dengan sistem "baiiul 'innah" [4]
memegang ekor sapi dan ridlo dengan pekerjaan bertani serta meninggalkan 
jihad (dijalan Allah), niscaya Allah akan menjadikan kehinaan menguasai 
kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian kembali kepada 
agamamu" [5]

Jika demikian kondisinya, maka penyakit kaum muslimin pada zaman ini bukan 
karena kejahilan mereka akan ilmu tertentu saja, saya (Al-Albani) katakan 
hal ini dengan tetap mengakui bahwa setiap disiplin ilmu yang bermanfaat 
bagi kaum muslimin adalah wajib, sesuai dengan porsinya akan tetapi, 
kehinaan dan kerendahan yang dijumpai mereka bukan karena kejahilan mereka 
tentang apa yang dinamakan Fiqhul Waqi', namun penyebabnya adalah sikap 
mereka yang menggampangkan dan meremehkan pengamalan hukum-hukum agama, baik 
yang termaktub dalam al-Qur'an maupun dalam sunnah Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam.

Sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam : "Jika kamu telah berjual beli 
dengan sistem "baiiul 'innah", adalah sebuah isyarat dari beliau yang 
menunjukkan salah satu jenis mu'amalah yang bermuatan riba, dan memakai 
siasat (tipu daya) terhadap syari'at Allah Jalla Jalaluhu.

Sabda beliau : "dan kalian telah mengambil/memegang ekor-ekor sapi". Isyarat 
beliau yang menunjukkan perhatian yang difokuskan kepada urusan-urusan 
duniawi, dan kecenderungan kepadanya, serta tidak adanya perhatian terhadap 
syariat dan hukum-hukumnya. Seperti ini pula yang diisyaratkan oleh sabda 
beliau : " dan kamu telah ridha dengan pekerjaan bertani".

Sabda beliau : "kamu telah meinggalkan jihad" sebagai buah dari sikap ingin 
hidup kekal di dunia ini, sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan 
kepada kamu : "berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa 
berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di 
dunia sebagai ganti kehidupanmu di akhirrat ? Padahal kenikmatan hidup di 
dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit" 
[At-Taubah : 38]

Dan sabda beliau : "niscaya Allah Jalla Jalaluhu akan menjadikan kehinaan 
menguasai kamu, Dia tidak akan mencabutnya dari kalian, hingga kalian 
kembali kepada agamamu", mengisyaratkan secara jelas bahwasanya "agama" yang 
merupakan kewajiban kita untuk kembali kepadaNya, adalah agama yang 
disebutkan oleh Allah Jalla Jalaluhu pada beberapa ayat yang mulia seperti :

"Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam 
..." [Ali-Imran : 19]

"Artinya : ... Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah 
Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku, dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu 
..." [Al-Maaidah : 3]

Komentar Imam Malik yang sangat masyhur tentang ayat ini telah memberikan 
penjelasan tentang maksudnya, beliau berkata :

"Artinya : Apa saja yang bukan dari agama ketika ayat ini diturunkan, maka 
bukanlah ia bagian dari agama pada hari ini, dan ummat yang datang kemudian 
tidak akan menjadi baik, kecuali dengan sesuatu yang dengannya telah menjadi 
baik para pendahulu mereka"


[K]. SIKAP GHULUW TERHADAP FIQHUL WAQI'
Para da'i di zaman ini yang selalu mendengungkan seputar Fiqhul Waqi, 
membesarkan dan meninggikan statusnya, perbuatan ini pada dasarnya bisa 
dibenarkan, namun mereka telah melampaui batas padanya, dimana mereka 
mewajibkannya bagi setiap orang alim bahkan setiap penuntut ilmu untuk 
menjadi seorang yang mengetahuinya, meskipun mereka lakukan itu bisa jadi 
tanpa disengaja.

Padahal bersamaan dengan itu banyak diantara para da'i yang mengetahui 
secara seksama, bahwa pemahaman agama Islam yang telah diridhoi Allah Jalla 
Jalaluhu pada ummat ini telah mengalami perubahan sejak sediakala, bahkan 
perubahan pemahaman tersebut menyentuh masalah-masalah yang berkaitan dengan 
aqidah.

Banyak orang yang kita jumpai mengucapkan Laailaha illallah (Tiada 
sesembahan yang sebenarnya kecuali Allah Jalla Jalaluhu), menegakkan semua 
rukun Iman, bahkan melaksanakan ibadah-ibadah yang sifatnya 
nafilah/tambahan, seperti qiyamul lail (shalat malam), bersedekah dan yang 
semacamnya. Namun mereka melakukan penyimpangan/penyelewengan dari ayat 
Allah Jalla Jalaluhu seperti.

"Artinya : Ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang sebenarnya 
kecuali Allah ..." [Muhammad : 19] [6]

[I]. REALITA PARA DA'I TERHADAP FIQHUL WAQI'
Kami mengetahui bahwa banyak di antara da'i-da'i itu yang juga sama seperti 
kami dalam mengetahui akar/pangkal penyebab keburukan yang dialami kaum 
muslimin pada zaman ini, yaitu jauhnya mereka dari pemahaman Islam yang 
benar, dalam hal-hal yang merupakan wajib 'ain (kewajiban atas 
perseorangan), dan bukan hanya pada apa yang merupakan wajib kifayah 
(kewajiban atas sebagian orang).

Maka yag wajib (kita laksanakan) meluruskan dan membenarkan aqidah, ibadah 
dan suluk (akhlak, perangai dan budi pekerti). Siapakah orang yang telah 
melaksanakan kewajiban yang merupakan fardhu 'ain dan bukan sekedar fardhu 
kifayah dari kalangan ummat ini ? Karena kewajiban melaksanakan fardhu 
kifayah itu datangnya sesudah (fardhu 'ain).

Oleh sebab itu menyibukkan diri dan mencurahkan perhatian terhadap ajakan 
segelintir manusia dari kalangan ummat ini untuk memperhatikan sebuah fardhu 
kifayah yaitu Fiqhul Waqi', serta mengecilkan sebuah pemahaman yang sifatnya 
fardhu 'ain bagi setiap muslim, yaitu memahami al-Kitab (al-Qur'an) dan 
Sunnah Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, yang telah saya tunjukkan, 
ini merupakan perbuatan melampaui batas dan penyia-nyian terhadap suatu 
kewajiban yang ditekankan kepada setiap orang dari ummat muslimin ini dan 
merupakan sikap berlebih-lebihan dalam memposisikan sebuah urusan (Fiqhul 
Waqi') yang kondisi sebenarnya sebagai fardhu kifayah.

[M]. PENDAPAT YANG WASATH (TEPAT/BENAR) PERIHAL FIQHUL WAQI'
Dengan demikian perkara Fiqhul Waqi' adalah sebagaimana dikatakan oleh Allah 
Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Demikianlah kami telah menjadikan kamu sebagai ummat yang wasath 
(adil dan pilihan) .." [Al-Baqarah : 143]

Fiqhul Waqi' dengan maknanya secara syar'i adalah sebuah kewajiban, namun 
sifatnya fardhu kifayah, jika telah dilaksanakan oleh sebagian ulama, maka 
gugurlah kewajiban dari sebagian lainnya, dari para penuntut ilmu dan gugur 
pula dari kaum mulimin secara umum.

Oleh sebab itu kita wajib bersikap i'tidal (adil dan lurus) dalam mengajak 
kaum muslimin kepada pengetahuan/pengenalan terhadap Fiqhul Waqi', tidak 
menghanyutkan mereka dengan informasi dan berita politik, serta 
pemecahan-pemecahan problematika ala pemikir-pemikir barat. Yang wajib 
selama-lamanya adalah mendengungkan/menyuarakan seputar "tasfiyah" pemurnian 
ajaran Islam dari segala kotoran yang digantungkan padanya kemudian ditindak 
lanjuti dengan pembinaan kaum muslimin, baik sebagai sebuah kelompok 
masyarakat, maupun perseorangan diatas Islam yang telah murni tersebut. 
Serta mengikat mereka dengan manhaj (metode) dakwah yang hak, yaitu 
al-Qur'an dan as-Sunnah, sejalan dengan pemahaman para Salaf (pendahulu) 
ummat ini yang shalih.

[N]. KEWAJIBAN SALING CINTA DAN LOYAL [ANTAR SESAMA MUSLIM]
Merupakan kewajiban bagi para ulama dengan spesialisasi mereka masing-masing 
dan ummat secara keseluruhan untuk menerapkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi 
wa sallam.

"Artinya : Perumpamaan orang-orang mukminin dalam cinta, kasih sayang dan 
sikap saling bahu membahu di antara mereka, ibarat sebatang tubuh, jika satu 
anggotanya mengeluh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh lainnya saling 
menyeru (untuk menanggung derita) dengan tidak tidur dan naiknya suhu badan 
(demam) [7] " [8]

Perumpamaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang agung ini tidak akan 
terwujud sesuai dengan kandungan maknanya yang indah dan mengagungkan, 
melainkan dengan jalan ta'awun (saling tolong-menolong) antara para ulama 
dengan anggota masyarakat dalam bentuk mengajar, belajar, berdakwah dan 
penerapan (pengamalan ilmu yang diketahui). Dengan demikian mereka yang 
mengetahui pemahaman syariat beserta dalil-dalilnya yang bersifat penerapan 
dan tidak sekedar menganalisa, dapat saling bekerjasama. Para ulama 
memberikan kepada mereka apa yang dimiliki berupa ilmu fiqh, sedang mereka 
yang memahami Fiqhul Waqi, menyampaikan kepada para ulama sesuatu yang 
secara jelas telah diketahui (dipelajari) agar semuanya jelas dan sama-sama 
mengambil sikap dan mewaspadainya.

Dari wujud kerjasama yang penuh kejujuran ini, antara para ulama dan para 
da'i sesuai dengan spesialisasi masing-masing, akan memungkinkan terwujudnya 
apa yang menjadi idaman setiap muslim yang memiliki semangat dan kecemburuan 
[terhadap agamanya, -pent].


[O]. BAHAYA PELEMPARAN TUDUHAN TERHADAP ULAMA
Menikam/menuduh sebagian ulama atau para penuntut ilmu dan mencela mereka 
karena ketidak tahuan mereka tentang Fiqhul Waqi, begitu pula halnya 
pelemparan tuduhan yang dialamatkan mereka dengan sebutan yang tidak 
sepatutnya disebutkan pada kesempatan ini, adalah kesalahan dan kekeliruan 
yang amat jelas, yang tidak boleh diteruskan, sebab merupakan sikap 
"tabaghudh" saling memurkai/membenci, yang telah dilarang dalam sejumlah 
hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan justru 
hadits-hadits itu memerintahkan kaum muslimin untuk berbuat yang sebaliknya, 
berupa sikap saling mencintai, saling berjumpa dan saling tolong menolong.

[P]. CARA MENANGGULANGI KESALAHAN
Adapun kewajiban seorang muslim yang melihat suatu kesalahan atau kekeliruan 
yang dilakukan oleh seorang alim atau da'i, adalah mengingatkan dan 
menasihatinya. Jika suatu kesalahan dilakukan di sebuah lokasi yang sifatnya 
terbatas, maka peringatannya dilakukan di lokasi tersebut tanpa diumumkan 
atau disebar luaskan. Dan jika kesalahan itu bersifat umum dan masyhur, maka 
tidak mengapa peringatan dan keterangannya dilakukan dengan cara diumukan, 
akan tetapi sebagaimana firman Allah Jalla Jalaluhu.

"Artinya : Serulah manusia kejalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang 
baik, dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik ..." [An-Nahl : 125]

Sesuatu yang juga penting untuk dijelaskan, bahwa kekeliruan yang 
dipersalahkan tersebut bukanlah yang dibangun atas dasar semangat dan 
gejolak jiwa muda belaka tanpa ilmu atau keterangan yang jelas.

Akan tetapi yang dimaksud adalah sebuah kekeliruan dan kesalahan yang 
benar-benar berdasarkan hujjah, keterangan, dalil dan burhan (bukti).

Gambaran metode/cara mempersalahkan dan mengingatkan yang penuh kelembutan 
dan kebijakan tersebut, tidak mungkin terwujud, kecuali antara para ulama 
yang ikhlas dan penuntut ilmu yang benar-benar ingin menasihati yang mana 
ilmu dan dakwah mereka berada pada kalimat yang sama (kalimatun sawa'), 
tiada perselisihan diantara mereka, berdiri tegak diatas keterangan yang 
berdasarkan pada al-Qur'an, sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
dan berpijak pada manhaj (metode) Salaf, pendahulu ummat dalam menjalankan 
agama ini.

Sebagai penutup (makalah ini, -pent), ada suatu hal yang amat penting untuk 
diperkenalkan dan diberitahukan kepada kaum muslimin. Maka saya katakan : 
"Sikap ridha kita kepada Fiqhul Waqi' yang sesuai dengan gambaran syariat 
dan kesibukan kita dengannya, tidak boleh dijadikan pendorong untuk memasuki 
pintu-pintu politik modern, yang mana para pelakunya telah berbuat 
kezhaliman, tidak pula tergiur dan tertipu oleh kalimat-kalimat yang 
berkisar pada politik, mengulang-ulangi cara mereka (dalam politik), dan 
tenggelam dalam keanehan-keanehan mereka.

Yang wajib hanyalah berjalan di atas "siyasah syar'iyyah" (mengatur, 
memimpin, mengemudikan urusan ummat sesuai dengan tuntunan syar'i), yaitu 
memelihara dan menjaga kepentingan-kepentingan ummat Islam.

Sementara kepentingan dan pemeliharaan seperti itu tidak mungkin dapat 
terwujud, kecuali dibawah sinar, cahaya al-Qur'an dan sunnah Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta diatas pijakan manhaj Salafus Shalih, 
dipegang oleh Ulil Amri (para pemegang dan penanggung jawab urusan ummat 
ini, -pent) yang terdiri dari para ulama yang menerapkan ilmu mereka, dan 
para umara (pemimpin) yang bersikap adil, karena sesungguhnya Allah Jalla 
Jalaluhu dapat mencegah dengan sulthan (kekuasaan) sesuatu yang tidak dapat 
dicegah dengan al-Qur'an.[9]

[Q]. BAHAYA SISTEM POLITIK MODERN
Adapun sistem politik ala barat yang sedang membuka pintu-pintunya dan 
menipu serta memperdayakan pengikut-pengikutnya adalah sistem politik tanpa 
mengenal agama. Setiap orang yang tergiring dibelakangnya dan tenggelam 
dilautannya, telah ditimpa oleh adzabnya dan dibakar oleh "neraka" yang 
berkobar-kobar, sebab orang yang tegesa-gesa ingin meraih sesuatu sebelum 
saatnya, niscaya memperoleh sangsi dengan terhalangi sesuatu itu darinya.

"Barangsiapa tergesa-gesa meraih sesuatu sebelum saatnya, niscaya terhalangi 
darinya sebagai sebuah sangsi atasnya".

"Hanya Allah Jalla Jalaluhu pemberi taufiq untuk sebuah kebenaran, dan 
segala puji bagi Allah Rabb semesta alam"

Catatan :
Tulisan ini diterjemahkan dari majalah "as-Salafiyyah", edisi ke lima, tahun 
1420-1421, Hal. 41-48, dengan judul asli " Hukmu Fiqhil Waqi' wa 
Ahammiyyatunuhu"

[Disalin dari Majalah : as-Salafiyah, edisi ke 5/Th 1420-1421. hal 41-48, 
dengan judul asli "Hukmu fiqhil Waqi' wa Ahammiyyatuhu". Diterjemahkan oleh 
Mubarak BM Bamuallim LC dalam Buku "Biografi Syaikh Al-Albani Mujaddid dan 
Ahli Hadits Abad ini" hal. 127-150 Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note

[1]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Abi Dunyaa dan selainnya, 
dishahihkan oleh Al-Albani dalam 'Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah' jilid 
2, halaman 647. No. hadits 958

[2] Taqlid adalah : Sikap/prilaku menerima pendapat seseorang tanpa hujjah 
dan dalil (lihat Ta/rifat oleh Al-Jurjani hal.64)
[3] Rabbani ialah orang yang bijaksana, alim dan penyantun serta banyak 
ibadah dan ketakwaannya (lihat Tafsir Ibnu Katsit I/356)
[4] Baii'ul 'inah (jual beli 'inah) yaitu menjual suatu barang kepada 
seorang dengan cara menghutangkannya untuk jangka waktu tertentu, dan barang 
tersebut diserhakan kepadanya, kemudian sipenjual membelinya kembali dari 
pembeli secara kontan dengan harga yang lebih murah, sebelum menerima 
pembayaran dari si pembeli tersebut [Lihat 'Aunul Ma'bud 9/242, Silsilah 
al-Ahadiiits ash-Shahihaah I hal.42]
[5] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya dan dishahihkan oleh Syaikh 
Al-Albani, lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah, jilid I hal.42 No.11
[6] Mereka menyimpang kepada pengangungan dan penyembahan kuburan-kuburan, 
mengikuti tarekat-tarekat sufi dalam bid'ah-bid'ah yang terjadi pada aqidah, 
bersamaan dengan realita ini, namun para da'i yang bermunculan dari 
negeri-negeri tersebut tidak berdakwah mengajak kepada tauhid, mereka ibarat 
batang pohon-pohon kurma yang telah lapuk [redaksi majalah salafiyyah]
[7] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukil perkataan Ibnu 
Hamzah tentang "at-Taraahum. at-Tawaadud dan at-Ta'aathuf" yang dimaksud 
dengan "at-Taraahum" yaitu saling mengasihi sebagai terhadap sebagian 
lainnya semata-mata karena persaudaraan iman. "at-Tawaadud" yaitu hubungan 
interaksi yang membuahkan rasa cinta, seperti saling mengunjungi, saling 
memberi hadiah, dan lain sebagainya. "at-Ta'aathuf" yaitu sebagian menolong 
sebagian lainnya, seperti menaruh iba/kasihan kepada seseorang dengan 
memberi pakaian padanya untuk menguatkan tubuhnya. [Fathul Baari 10/453-454, 
-pent]
[8]. Hadits Shahih dikeluarkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lainnya, lihat 
Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah No. 1083, jilid 3/71
[9]. Lihat Ad-Durrul Mantsur oleh as-Suyuti jilid 4, hal. 99

Sumber : http://almanhaj.or.id

_________________________________________________________________
Windows Live Spaces is here! http://spaces.live.com/?mkt=en-id ItÂ’s easy to 
create your own personal Web site.



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke