.  Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan 
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan 
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang 
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang 
Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) 
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap 
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan 
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah 
orang-orang yang fasik. ( An Nuur 55)

 
 

-----Original Message-----
From: media-dakwah@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] Behalf Of 
Tampubolon, Mohammad-Riyadi
Sent: Wednesday, May 09, 2007 10:59 AM
To: media-dakwah@yahoogroups.com
Subject: RE: [media-dakwah] Re:DAKWAH YANG MENGUBAH



QS Ar Ra'd[13]:40
..karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang 
menghisab amalan mereka.

________________________________

From: media-dakwah@ <mailto:media-dakwah%40yahoogroups.com> yahoogroups.com 
[mailto: media-dakwah@ <mailto:media-dakwah%40yahoogroups.com> yahoogroups.com] 
On Behalf Of gunawan
Sent: Wednesday, March 21, 2007 4:00 PM
To: media-dakwah@ <mailto:media-dakwah%40yahoogroups.com> yahoogroups.com
Subject: [media-dakwah] Re:DAKWAH YANG MENGUBAH
DAKWAH YANG MENGUBAH 
MASYARAKAT

Harapan dan Realitas

Berbicara tentang dakwah yang dapat mengubah masyarakat berarti harus berbicara 
tiga hal. Pertama: masyarakat seperti apa yang hendak dibentuk. Kedua: 
bagaimana realitas masyarakat saat ini. Ketiga: bagaimana dakwah yang dapat 
mengubah masyarakat hingga terbentuk masyarakat yang diinginkan. 

Masyarakat macam apa yang hendak dituju? Nabi Muhammad saw., jauh sebelum 
diangkat sebagai nabi, sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan 
amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau kemudian 
digelari al-amin. Namun, tidak cukup hanya dengan karakter positif pemimpin 
semata. Allah Swt. juga menurunkan wahyu kepada Beliau berupa al-Quran dan 
as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi 
Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja 
memberikan ketegasan bahwa negeri dan masyarakat yang baik tidak cukup mewujud 
dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Diperlukan pula sistem dan aturan yang 
baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang 
bersumber dari Zat Yang Mahabaik. 

Masyarakat seperti ini diatur oleh Islam dalam segala aspeknya. Pemimpinnya pun 
mencintai rakyat dan dicintai rakyat, mendoakan rakyat dan didoakan rakyat. 
Pemimpin yang mencintai rakyat tidak akan menjerumuskan mereka dalam 
kedurhakaan, pembangkangan, dan penolakan terhadap hukum Allah. Sebaliknya, ia 
akan membawa, mengarahkan, bahkan melakukan 'pemaksaan' agar masyarakatnya 
sejahtera di dunia, di akhirat pun bahagia. Melalui masyarakat seperti itu akan 
menjadikan keturunan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ an-nasl), akal terjaga 
(al-muhâfazhah 'alâ al-'aql), kehormatan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ 
al-karâmah), jiwa manusia terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ an-nafs), harta 
terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ al-mâl), agama terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ 
ad-dîn), keamanan terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ al-amnu), dan negara pun 
terpelihara (al-muhâfazhah 'alâ ad-dawlah). Itulah syariah Islam yang 
dijalankan dalam sistem Kekhilafahan. 

Sayang, realitas masyarakat saat ini jauh dari kondisi masyarakat yang 
diinginkan. Di Indonesia, misalnya, terjadi kemiskinan dan banyak pengangguran. 
Dengan menggunakan standar kemiskinan Bank Dunia, yakni penghasilan kurang dari 
2 US$ perkepala perhari, jumlah orang miskin adalah lebih dari 110 juta orang. 
Pada tahun 2006 pornografi dan pornoaksi makin marak. Di antaranya ditandai 
dengan terbitnya majalah Playboy. RUU Anti Pornografi-Pornoaksi (APP), yang 
diharap akan bisa menjadi payung hukum guna menyelesaikan masalah ini, justru 
makin tidak jelas nasibnya. Dengan dalih melindungi kaum perempuan, Pemerintah 
bahkan berencana akan merevisi UU Perkawinan dan PP yang akan memperketat 
praktik poligami. Jika semua ini dilakukan Pemerintah-seperti yang dinyatakan 
oleh Presiden-sebagai moral obligation, bukankah pornografi-pornoaksi serta 
praktik perzinaan dalam segala bentuknya yang harus ditumpas habis? Mengapa 
perzinaan malah justru difasilitasi melalui program kondomisasi? 

Pendidikan pun penuh dengan pengaburan terhadap Islam. Dalam pendidikan, 
ekonomi yang diajarkan adalah ekonomi kapitalistik, hukum yang ditanamkan 
adalah hukum kolonial, sejarah yang disampaikan adalah sejarah atas cara 
pandang Eropa dan Amerika, seni yang dikaji adalah seni liberal, dll. Bahkan 
pendidikan kini dikapitalisasi. Dalam bidang politik, rakyat hanya disapa saat 
Pemilu, praktiknya pun bersifat oportunistik dengan mengedepankan politik 
dagang sapi. Akar semuanya itu adalah sistem sekular yang menjauhkan Islam dari 
perannya sebagai pengatur kehidupan. Ringkasnya, kenyataan masyarakat saat ini 
laksana kain yang sudah rapuh, sobek di sana sini, tidak dapat diperbaiki 
dengan tambal sulam. 

Hilangnya Orientasi Dakwah

"Dimana para ulama, mubalig dan dai?" Begitu teriakan lantang yang sering 
terdengar saat kemaksiatan dan kejahatan merajalela. Seakan tanggung jawab 
hanya ada pada mereka. Penyebab dari munculnya kemaksiatan dan kejahatan itu 
sendiri tidak pernah dipersalahkan. Media massa yang mengeksploitasi kekerasan 
dan kebejatan akhlak terus melenggang. Bisnis esek-esek yang menghancurkan 
bangsa dilegalkan. Bahkan, Pemerintah dan DPR penghasil undang-undang yang 
menciptakan sistem sekular ini seakan tidak bersalah. Akhirnya, para ulama, 
mubalig dan dai hanya ditempatkan laksana tukang cuci. Penyebab kekotoran tidak 
pernah dihentikan, sementara para aktivis Islam diminta untuk terus 
membersihkan. Akibatnya, mereka terjebak pada kedudukan tersebut. Alih-alih 
menghentikan kebobrokan, mengubah arah masyarakat, dan mewujudkan masyarakat 
baru yang diatur Islam; mereka justru hanya berada pada posisi 'tukang cuci'. 
Dengan kondisi demikian adalah wajar belaka jika dakwah mengalami disorientasi, 
belum dapat mewujudkan masyarakat yang bersih. Para ulama semestinya mendobrak 
posisi ini. Di samping melakukan fungsi pembersih, mereka juga harus lantang 
meneriakkan kebobrokan sistem kapitalistik yang diterapkan; mengungkap 
kezaliman penguasa dan wakil rakyat, serta upaya asing imperialis yang tidak 
menghendaki tegaknya baldat[un] thayyibat[un] wa rabb[un] ghafûr. 

Hilangnya orientasi dakwah juga dipengaruhi oleh pihak dai itu sendiri. 
Pertama: pemahaman para dai atau organisasi/lembaga dakwah yang tidak ideologis 
alias parsial. Permasalahan yang dihadapi umat merupakan krisis multidimensi. 
Penyelesaiannya mesti secara radikal, total dan tidak parsial. Bukan hanya 
menyangkut perilaku dan hukum, kerusakan sudah mencapai taraf cara pandang 
terhadap dunia. Pemahaman (mafâhîm), tolok ukur (maqâyis), dan penerimaan 
(qanâ'ât) yang digunakan bukan lagi berasal dari Islam. Karenanya, dakwah harus 
berangkat dari keyakinan yang disatukan dengan keterikatan pada hukum. Perlu 
penyatuan akidah dengan syariah. 

Keyakinan itu dibangun dengan cara mengubah pandangan dunia, cara berpikir, 
termasuk dalam mengatur dunia. Perlu dijelaskan mafâhîm, maqâyis, dan qanâ'at 
yang salah, lalu ditunjukkan mana yang benar menurut Islam. Itulah dakwah yang 
ideologis. Dengan cara seperti itu, orang akan mengikuti karena yakin apa yang 
diikutinya benar; atau ia menjauhi karena ia yakin bahwa itu salah. Sikap 
demikian akan melahirkan orang-orang yang rela mengorbankan apapun untuk 
mempertahankan dan membela apa yang diyakininya. 

Perjuangan para Sahabat adalah contoh terbaik dalam masalah ini. Keluarga Yasir 
rela dihabisi demi mempertahankan keimanan. Para Sahabat laki-laki dan 
perempuan tidak keberatan meninggalkan harta, rumah, kebun, ternak, bahkan 
keluarga di Makkah demi keyakinan dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah saw. 
yang memerintah mereka untuk hijrah ke Madinah 

Jika dakwah tidak bersifat ideologis, dakwah hanya akan disandarkan pada 
figuritas. Dakwah semacam ini amat rapuh. Sebagai contoh: seorang dai terkenal 
dan banyak dikagumi tiba-tiba digunjing banyak pihak hanya karena berpoligami. 
Terlepas dari hukum poligami boleh, tidak sedikit para pengagumnya justru 
memboikot ceramahnya. Jika dakwah yang disampaikan bersifat ideologis, niscaya 
selama tidak melanggar syariah, mereka tetap akan memberikan loyalitasnya. 
Dakwah yang tidak ideologis dapat pula memalingkan orientasinya semata menjadi 
mode. Wajar jika apa yang dilakukan sekadar ikut-ikutan dan bersifat 
kondisional. Saat Ramadhan ikut rame, tetapi setelah itu selesai. Ketika mode 
berkerudung sedang nge-tren, ikutan mengenakannya. Lalu, hanya karena cerai 
tanpa rasa ragu, malu ataupun takut dilepaskannyalah kembali kerudung tersebut. 

Lebih parah lagi jika para dai memposisikan dakwah sebagai sarana hiburan. 
Dakwah dianggap bagus kalau banyak tertawanya, sekalipun isi seruannya kosong 
tanpa makna. Semua ini berkonstribusi pada hilangnya orientasi dakwah. 

Kedua: ada dai yang tidak memahami realitas (hakikat) masyarakat dan konsep 
perubahan masyarakat. Masyarakat dipandang hanya kumpulan individu. Padahal 
masyarakat merupakan kumpulan orang yang memiliki pemikiran dan perasaan yang 
sama; lalu interaksi di antara mereka diatur oleh sistem yang sama. Berdasarkan 
ini, dakwah harus mengarah pada menciptakan pribadi-pribadi salih yang memiliki 
pemikiran dan perasaan islami. Lalu pribadi-pribadi tersebut mengkoordinasikan 
diri untuk berjuang bersama mengubah sistem aturan buruk yang tengah diterapkan 
di masyarakat. Jadi, yang dilakukan adalah membentuk manusia salih sekaligus 
mushlih (berjuang untuk menjadikan orang lain salih). 

Pandangan bahwa masyarakat sebatas kumpulan individu akan menjadikan orientasi 
dakwah hanya sebatas memperbaiki individu. Muaranya, perubahan masyarakat tidak 
terjadi. Yang ada hanyalah perubahan individual. Biasanya target dakwah akan 
dianggap selesai jika orang sudah rajin shalat berjamaah. Shalat berjamaah 
memang penting. Namun, berjamaah menegakkan hukum Allah pun tidak kalah penting.

Ketiga: dai tidak memahami metode (tharîqah) dakwah Rasulullah saw. dalam 
melakukan perubahan masyarakat. Dakwah hanya berhenti pada taklim yang 
mentransfer pengetahuan. Akibatnya, dakwah tidak mendarahdagingkan Islam dalam 
jiwa, semangat juang dalam langkah, dan juga tidak melahirkan generasi pejuang 
yang bersama-sama menjadi penegak Islam. 

Selain pihak dai, hilangnya orientasi dakwah diakibatkan oleh sekularisasi 
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dengan sekularisasi, agama dipisahkan 
dari perannya mengatur masyarakat. Agama hanya ditempatkan sebagai penjaga 
moral dan spiritualitas. Tanpa disadari, realitas ini mengarahkan masyarakat 
sebatas memenuhi aktivitas ritual. Pembahasan yang dominan hanya berkisar pada 
masalah kematian, tobat, shalat khusyu, zikir, dan perkara individual lainnya; 
paling jauh membahas minuman keras dan pelacuran. Sementara itu, perkara BBM, 
HAM, pluralisme, jender, pembalakan hutan, korupsi, kemiskinan, privatisasi 
sumberdaya alam, utang luar negeri, kerjasama militer dengan negara penjajah, 
dll luput dari perhatian para dai. Dakwah seperti ini hanya berorientasi pada 
kesalihan pribadi. Orientasi dakwah mengubah masyarakat pun mengalami 
ketersendatan. 

Terakhir: pengaruh orientasi hidup yang materialistik turut menghilangkan 
orientasi dakwah untuk mengubah masyarakat. Terjadilah komersialisasi dakwah. 
Aktivitas dakwah tidak lagi bersifat aktif dan progresif, tetapi menunggu order 
atau panggilan. Itu pun telah ditetapkan tarifnya. Unsur entertaintment lebih 
dominan daripada dakwahnya. Bahkan sang dai didudukkan tak ubahnya sebagai 
selebritis. Dakwah seperti ini lebih ditujukan pada pemuasan bagi penatnya 
pikiran dan jiwa, melepas lelah, atau untuk relaksasi dan hiburan. 

Tentu, kalau dilihat dari kacamata manfaat, apapun aktivitas dakwah akan 
memberikan maslahat pada umat. Ada sisi bagusnya. Namun, dalam konteks 
perubahan masyarakat, hal-hal tersebut dapat menghilangkan orientasi dakwah 
demi mewujudkan masyarakat Islam yang baldat[un] thayyibat[un] wa rabb[un] 
ghafûr. Aktivitas dakwah yang hanya bersifat ritual dan individual menyebabkan 
kaum Muslim kehilangan beribu-ribu umat yang diharapkan militan dan sanggup 
bergerak dengan penuh semangat untuk menggalang kelompok persatuan yang 
representatif dalam menegakkan syariah Islam. Karenanya, setiap jenis aktivitas 
apapun harus didudukkan sebagai teknik (uslûb) dan bagian dari perubahan 
masyarakat. Dakwah jangan terjebak pada target individual dan terseret 
mengikuti arus kehidupan. Sebaliknya, dakwah justru harus berujung pada 
terjadinya perubahan masyarakat menjadi islami. 

Arah Dakwah

Dakwah haruslah ditujukan pada pembentukan masyarakat baru. Masyarakat yang 
kapitalistik sekularistik diubah menjadi masyarakat Islam. Ini persis seperti 
gelas yang berisi air comberan, diganti menjadi berisi air putih menyegarkan. 
Gelasnya tetap, tetapi isinya berubah total. Itulah yang dilakukan oleh 
Rasulullah saw. dan para Sahabat. Daerah Madinah, Makkah, Yaman, dll tetap 
seperti sediakala. Namun, aturannya yang jahiliah ditinggalkan dan diganti 
seluruhnya menjadi aturan syariah Islam. Sistem yang dulunya kesukuan, 
berdasarkan hukum manusia, dan terpecah-belah diubah menjadi Daulah 
Islamiyah/Khilafah. Karenanya, dakwah tidak terbatas pada target individual. 
Dakwah diarahkan hingga masyarakat memikirkan dan berjuang untuk menegakkan 
Islam, menyatukan umat dalam Khilafah, mementingkan urusan umat, ikut sedih 
atas musibah yang menimpa kaum Muslim di berbagai belahan dunia, serta 
mendukung perjuangan kaum Muslim untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan 
Barat dan Timur.

Dengan merujuk pada sirah Nabi saw., dakwah haruslah bersifat ideologis, total, 
dan tidak parsial. Sejak awal, di tengah kepercayaan pada banyak tuhan, 
Rasulullah menyerukan Lâ ilâha illâ Allâh. Ini adalah pernyataan ideologis 
paling spektakuler. Abu Lahab dan Abu Jahal, misalnya, tidak mau 
mengucapkannya; bukan karena tidak bisa, tetapi keduanya tahu, itu adalah 
proklamasi ideologis yang akan meniadakan kekuasaan mereka selama ini. Beliau 
dan para Sahabat menyerukan semua aspek dalam Islam, mengajak manusia 
menerapkan Islam secara kâffah, dunia dan akhirat. Selain itu, Nabi saw. dan 
para Sahabat mendakwahkan Islam relevan dengan persoalan mendasar masyarakat. 
Saat itu bangsa Arab merasa aib punya anak perempuan dan menguburnya 
hidup-hidup. Lalu turunlah ayat tentang larangan untuk melakukannya. Saat 
mereka biasa mengurangi timbangan, turunlah surah al-Muthaffifin yang 
mencegahnya. Ketika orang enggan memperhatikan kaum Miskin, turunlah ayat 
al-Ma'un yang mencela pihak yang tidak memperhatikan apalagi menjadikan orang 
miskin bertambah miskin; dll. 

Dakwah juga harus berbasis pada metodologi dakwah Rasulullah saw. (syar'i) 
sehingga mampu mengubah dan mentransformasikan masyarakat ke arah masyarakat 
Islam. Sirah Rasul menunjukkan bahwa perubahan masyarakat diawali dimulai 
dengan pembentukan kader yang ber-syakhshiyyah islâmiyyah (berkepribadian 
Islam), melalui pembinaan intensif (halqah murakkazah) dengan materi dan metode 
tertentu; pembinaan umat (tatsqîf jama'i) bagi terbentuknya pendapat masyarakat 
(al-wa'yu al-amy) tentang Islam; lalu pembentukan kekuatan politik melalui 
pembesaran tubuh jamaah (tanmiyah jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan 
pembinaan umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan 
politik (al-quwwah as-siyasiyah). Massa umat yang memiliki kesadaran politik 
akan menuntut perubahan ke arah Islam. Kekuatan politik yang didukung oleh 
berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung. Sistem (syariah) dan 
kekuasaan (Khilafah atau penyatuan ke dalam Khilafah) Islam pun tegak. 
Terbentuklah masyarakat dengan sistem baru, yakni masyarakat Islam yang 
menerapkan syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka. 
Wallâhu a'lam. [MR Kurnia] 

[Non-text portions of this message have been removed]



 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke