MUQADDIMAH KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI'AT ISLAM

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan 
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri 
kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri 
petunjuk, maka tidak ada yang dapat menye-satkannya, dan barangsiapa yang 
Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar 
kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya 
Nabi Muhammad Shallallahu ˜alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan 
sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati 
melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali Imran: 102]

"Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah 
menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan 
isterinya, dan dari-pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan 
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan 
(menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) 
hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu men-jaga dan mengawasimu." 
[An-Nisaa': 1]

"Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan 
ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu 
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang-siapa mentaati 
Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguh-nya ia telah mendapat kemenangan yang 
besar." [Al-Ahzaab: 70-71]

Amma ba’du.

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur'an) dan 
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam 
(As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam 
agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah 
adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur'an kepada Rasul-Nya 
Muhammad Shallallahu ˜alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ˜alaihi wa 
sallam diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur'an, sehingga 
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus 
(ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar me-lainkan jalan 
Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan 
Al-Qur’an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam untuk berpegang 
kepada keduanya, serta konsekuen dan kon-sisten di atas keduanya.

Pada saat ini banyak aliran-aliran sesat yang berusaha memalingkan ummat 
Islam dari sumbernya yang asli dan suci, mereka berusaha untuk menghancurkan 
Islam dengan segenap tenaga mereka dengan berbagai macam cara, dengan lisan, 
tulisan dan lainnya.

Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at 
Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan 
As-Sunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Qur'an dengan cara meragukan 
As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua pedoman hidup 
ini, niscaya mereka pasti akan sesat.

Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap 
menyempurnakan cahayanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya : Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut 
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun 
orang-orang kafir benci. [Ash-Shaff: 8]

Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meyakini bahwa 
As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur'an. Bahkan 
As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa 
sallam :

Artinya : Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur'an) dan yang 
sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan yang 
sepertinya bersamanya. [1]

Maksud dari kalimat: Dan seperti itu bersamanya adalah As-Sunnah.

Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang 
terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, Sesungguhnya Allah 
telah berfirman:

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya 
Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: : 9]

Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang ber-iman kepada Allah 
Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya 
Al-Qur’an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit 
pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu alaihi wa 
sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah:

Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan 
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan 
(kepadanya).” [An-Najm: 3-4]

Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr 
terpelihara dengan nash Al-Qur'an, maka sabda Nabi Shallallahu alaihi wa 
sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami 
turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa 
yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan. [An-Nahl: 
44]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah 
Shallallahu alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu 
dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih 
bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra 
(peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti 
dipelihara oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dengan yakin. Semua yang dijamin 
oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan 
berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak 
terjaga, niscaya firman Allah Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta 
dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit 
pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, meru-pakan suatu 
kepastian bahwa segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu 
alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara 
(terjaga) dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan 
sebagaimana adanya ke-pada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Artinya :  Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku 
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an 
(kepada-nya)... [Al-An’aam: 19]

Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu alaihi 
wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada 
sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah 
agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara hadits yang palsu 
dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak 
terjaga dan firman Allah Ta’ala: "Inna bahnu najjalnaa liddizkra wa innaa 
lahu lahafidhuun" adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin 
diucapkan oleh seorang muslim.

Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara 
adalah Al-Qur'an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain 
Al-Qur'an, maka kami jawab, Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa 
Ta’ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan 
pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur'an saja, itupun 
tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.

Artinya : ... Katakanlah: ˜Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah 
orang yang benar. [Al-Baqarah: 111]

Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak 
benar dan tidak bisa dipercaya.

Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya 
Shallallahu ˜alaihi wa sallam , baik berupa Al-Qur'an maupun As-Sunnah, 
karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an: "Wa 
anjalnaa ilaika ad-dzikra litubayyina linnaasi maa nunajjila ilaihim wa 
la'allahum yatafakkaruun". Dalam ayat ini Nabi Shallallahu ˜alaihi wa sallam 
diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur'an kepada manusia. Di 
dalam Al-Qur'an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), kalau Sunnah 
tersebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur'an 
tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari 
kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, 
maka kita tidak mampu membedakan antara yang benar dari firman Allah dan 
yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini 
mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.[1]

Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber 
hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu 
alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya 
sebagai penutup syariat sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah 
mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang 
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. 
Allah telah menghapus segala syari’at yang bertentangan dengan syariat 
beliau Shallallahu ˜alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah 
Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah 
Shallallahu alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. 
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila 
berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Artinya : ... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu 
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih 
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisaa': 59]

Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika 
menafsirkan ayat ini: Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada 
Al-Qur'an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan per-soalan yang 
diperselisihkan kepada As-Sunnah.[2]

Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ˜alaihi wa sallam 
adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau 
tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan 
dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa 
agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

Artinya :Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah 
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama 
bagimu [Al-Maa’idah: 3]

Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul 
Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta 
mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak 
sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga 
sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah 
beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul 
sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Qur'an. Sehingga ummat 
Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan 
memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga 
As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut:

Pertama.
Para Shahabat yang mulia g langsung menerima hadits dari Rasululah 
Shallallahu ˜alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka 
bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu ˜alaihi wa sallam 
memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:

Artinya : Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang 
mendengarkan ucapanku, lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. 
Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih 
mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku).[3]

Kedua.
Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping 
mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur'an dan 
As-Sunnah.

Ketiga,.
Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada 
yang diminta untuk menjadi saksi.

Keempat.
Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan 
ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa 
(matan dan sanadnya).

Kelima.
Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis 
yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.

Keenam.
Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits 
berdasarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim 
ar-Razy (wafat th. 327 H).

Ketujuh.
Pengumpulan dan penyusunan illat-illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang 
lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi.

Kedelapan.
Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat 
diterima) dengan hadits mardud (ditolak).

Kesembilan.
Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan 
suatu hadits dari berbagai segi.

Kesepuluh.
Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang 
berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persamaan 
dalam nama dan kunyah. Seperti kitab:

[1]. Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj 
Yusuf bin ˜Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H)
[2]. Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ˜Utsman 
adz-Dzahabi (wafat 748 H)
[3]. Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin 
˜Utsman adz-Dzahabi.
[4]. Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl 
Ahmad bin Ali bin Hajar al-˜Asqalany (wafat th. 752 H)
[5]. Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad 
bin Ali bin Hajar al-Asqalany
[6]. Al-Kuna wal Asma oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d 
al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid 
kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi.

Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan 
kita telah dikumpulkan, dikodi-fikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya 
dan keoten-tikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana 
pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode 
sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini 
yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain.

Kata Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:

Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya 
siapa saja akan berkata me-nurut apa yang dikehendakinya.” [4]

Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila 
sanad hadits itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. 
Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan 
dengan kakinya.[5]

Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan 
terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan 
orang-orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para 
pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, 
diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi 
timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.

Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 
˜alaihi wa sallam , keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau 
Shallallahu alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnah-nya, hingga 
akhir zaman.

Alhamdulillaahi Rabbil Aalamiin.

Bogor,
30 Jumadil Awal 1426 H
7 Juli 2005 M

Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
(Abu Fat-hi)

_________



[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid 
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa 
Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
________
Foot Note
[1]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/131), al-Ajurri dalam kitabnya 
asy-Syari’ah (I/415 no. 97) dan selain keduanya. Dari Shahabat al-Miqdam bin 
Ma’di Kariba al-Kindi rahimahullah
[2]. Al Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/96, 207) cet. Darul Kutul al-Ilmiyah.

Foote Note
[1]. Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/117-118).
[2]. Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/154 no. 9884-9889), cet. I 
Darul Kutub al-˜Ilmiyah-Beirut 1412 H dan lihat juga Tafsir Ibnu Katsir 
(I/568), cet. Darus Salam.
[3]. Hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 2657), Ibnu Hibban (no. 74), dan 
lainnya. Dari Shahabat Abdullah bin Mas’ud z. At-Tirmidzi berkata: Hadits 
ini hasan shahih.
[4]. Muqaddimah Shahih Muslim.
[5]. Shahih Muslim bi Syarah Imam an-Nawawi (I/88), cet. Darul Fikr.

Sumber : http://almanhaj.or.id

_________________________________________________________________
More photos, more messages, more storage—get 2GB with Windows Live Hotmail. 
http://get.live.com/en-id/mail/features



Ajaklah teman dan saudara anda bergabung ke milis Media Dakwah.
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/media-dakwah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke