Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri
pendapat yg menyatakan panggilan ummi pd istri adalah mengakibatkan jatuhnya talak itu pendapat siapa ya kalau boleh tahu?, bukankah tidak sah talak tanpa niat mentalak spt itu?. klo gitu sama aja dong bagi org indonesia yg manggil istrinya mama atau bunda, jatuh talak juga?... kurnia wisesa[EMAIL PROTECTED] Wrote: Assalamu'alaikum Mungkin sudah menjadi pemandangan yang umum bahwa keluarga muslim sekarang banyak yang menggunakan panggilan abi dan ummi. Panggilan itu ditujukan buat orang tua oleh anak-anak mereka. Jadi si anak memanggal ayahnya dengan abi (ayahku)dan ibunya dipanggil ummi (ibuku). Untuk mengajarkan anaknya dengan panggilan tersebut, sang ayah jadinya memanggil istrinya dengan ummi (ibuku), paling tidak dihadapan anaknya. Walaupun tidak jarang terbawa juga pada situasi tidak ada anaknya, misalnya di depan teman-temannya, di keramaian, dan sebagainya. Saya pernah membaca bahwa ada yg berpendapat panggilan ummi dari seorang suami kepada istrinya bisa jatuh pada zihar (bener gak tulisannya..) alias menjatuhkan talak atas istrinya secara tersirat (karena menyamakan istrinya dengan ibunya) Tapi ada juga yg berpendapat tidak mengapakarena maksudnya tidak demikian. Maksudnya adalah mengajarkan anak untuk memanggila ibunya denga panggilan ummi. Sebenarnya, yang dicontohkan para sahabat dalam memanggil istrinya dihadapan anak-anaknya bagaimana ? atau ... orang arab tuh...manggil istrinya di depan anak-anaknya bagaimana ? apakah manggilnya zaujati...atau ya umma harun (misalnya)... kalau memang kaya gitu... anak-anaknya ntar manggilnya sama kaya gitu juga dong... terima kasih atas jawabannya --- This email was sent using SCTVNews Webmail. get your free email http://www.sctvnews.com/ *** Scanned By Bank Syariah Mandiri [TM-IMSS] ***-***
Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri
Wa'alaikum salam wr wb, Kita harus memahami hadits tentang memanggil istri dengan sebutan ibu yang menyebabkan cerai (dzihar). Dzihar itu adalah tradisi Arab untuk mengharamkan menggauli istri tanpa menceraikan dengan mengatakan engkau laksana punggung ibuku. Jadi niatnya saja beda. Mungkin artikel di bawah bisa menjelaskan. Wassalam http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/4361 2. Sebenarnya dari sisi syariat, memanggil istri dengan ungkapan yang seolah-olah si istri menjadi ibu buat suami tidaklah sampai kepada zhihar. Karena di dalam kasus zhihar ada syarat niat untuk mengharamkan diri untuk menggauli istri seperti keharaman menggauli ibu sendiri. Yaitu dengan lafaz zhihar yang umumnya menggunakan lafaz,#65533;Kamu bagiku seperti punggung ibuku#65533;. Jadi lafaz itu sendiri pun harus tegas memiliki makna pengharaman atas mempergauli istri. Dan yang terpenting adalah niat atau azzam ketika mengucapkannya. Perkara ini tidak bisa disamakan dengan lafaz sharih talaq bisa saja berstatus talaq meski hanya diucapkan main-main. Karena sebenarnya dalam kasus talaq sekalipun, harus ada lafaz sharih atau ekplisit, bukan lafaz yang bersifat kina#65533;i atau implisit. Sebenarnya zhihar ini diambil dari kebiasaan orang Arab pra Islam yang biasa menyatakan #65533;Anti Ka Dzhohri Ummi#65533; artinya engkau laksana ibuku, sebagai ungkapan untuk menyatakan keharaman menggauli isterinya. Dengan pernyataan suami yang demikian, maka kedudukan isteri menjadi menggantung, tidak dianggap sebagai isteri dan tidak juga diceraikan Dalam Al-Qur#65533;an Allah Swt berfirman : Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. #65533; (QS. Al-Mujadalah : 2 ) Dengan turunnnya ayat di atas, maka hukum dzihar dalam Islam diharamkan dan suami yang melakukannya dianggap melakukan suatu dosa yang besar. Dan tidak dianggap sebagai tholaq atau perceraian. (Al-Mausu#65533;ah Al-Fiqhiyyah 29/191) Salah satu syarat sesorang dapat dikategorikan melakukan dzihar terhadap isterinya adalah adanya makna pengharaman (diniatkan demikian), yang dimaksud di sini adalah suami mengharamkan isterinya sendiri untuk dirinya sehingga ia tidak boleh lagi melakukan hubungan layaknya suami isteri. Karena dalam dzihar biasanya isteri tersebut atau diserupakan dengan ibu sang suami yang melakukannya dalam hal diharamkannya melakukan hubungan layaknya suami isteri. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. --- Dwigita Setiyowati [EMAIL PROTECTED] wrote: pendapat yg menyatakan panggilan ummi pd istri adalah mengakibatkan jatuhnya talak itu pendapat siapa ya kalau boleh tahu?, bukankah tidak sah talak tanpa niat mentalak spt itu?. klo gitu sama aja dong bagi org indonesia yg manggil istrinya mama atau bunda, jatuh talak juga?... kurnia wisesa[EMAIL PROTECTED] Wrote: Assalamu'alaikum Mungkin sudah menjadi pemandangan yang umum bahwa keluarga muslim sekarang banyak yang menggunakan panggilan abi dan ummi. Panggilan itu ditujukan buat orang tua oleh anak-anak mereka. Jadi si anak memanggal ayahnya dengan abi (ayahku)dan ibunya dipanggil ummi (ibuku). Untuk mengajarkan anaknya dengan panggilan tersebut, sang ayah jadinya memanggil istrinya dengan ummi (ibuku), paling tidak dihadapan anaknya. Walaupun tidak jarang terbawa juga pada situasi tidak ada anaknya, misalnya di depan teman-temannya, di keramaian, dan sebagainya. Saya pernah membaca bahwa ada yg berpendapat panggilan ummi dari seorang suami kepada istrinya bisa jatuh pada zihar (bener gak tulisannya..) alias menjatuhkan talak atas istrinya secara tersirat (karena menyamakan istrinya dengan ibunya) Tapi ada juga yg berpendapat tidak mengapakarena maksudnya tidak demikian. Maksudnya adalah mengajarkan anak untuk memanggila ibunya denga panggilan ummi. Sebenarnya, yang dicontohkan para sahabat dalam memanggil istrinya dihadapan anak-anaknya bagaimana ? atau ... orang arab tuh...manggil istrinya di depan anak-anaknya bagaimana ? apakah manggilnya zaujati...atau ya umma harun (misalnya)... kalau memang kaya gitu... anak-anaknya ntar manggilnya sama kaya gitu juga dong... terima kasih atas jawabannya --- This email was sent using SCTVNews Webmail. get your free email http://www.sctvnews.com/ *** Scanned By Bank Syariah Mandiri [TM-IMSS] ***-*** === Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits? Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] http://www.media-islam.or.id __ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best
Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri
smoga bisa sedikit menjawab saya kutip dari : http://www.eramuslim.com Panggilan Ayah dan Bunda Selasa, 27 Mar 07 07:48 WIB Kirim Pertanyaan | Kirim teman Assalamu'alaikum wr. Wb Ustad Ahmad yang saya hormati, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal hati saya beberapa masa terakhir ini yaitu panggilan ayah dan bunda pada suami isteri. Adakah hukum yang melarang seorang suami memanggil isterinya dengan panggilan bunda dan si isteri memanggil suaminya ayah. Mohon pencerahan dari ustad. Terimakasih, Assalamu'alaikum wr. Wb Pane Jawaban Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Panggilan seorang suami kepada isterinya dengan sebutan 'bunda' memang sangat banyak kita lihat. Bukan hanya kata 'bunda' saja, tetapi semua variannya, seperti 'mama', 'ibu', 'kakak', bahkan 'ummi'. Demikian juga dengan panggilan seorang isteri kepada suaminya, seringkali dengan sebutan 'ayah', 'papa', 'bapak', 'adik' danbahkan 'abi'. Sebenarnya tidak ada yang terlarang dengan panggilan-panggilan seperti ini, asalkan sudah menjadi kelaziman. Tentu sama sekali tidak ada niat dari masing-masing pasangan untuk memposisikan suami atau isteri dengan cara yang berbeda. Maksudnya, ketika seorang isteri memanggil suaminya dengan sebutan 'ayah', tentu niatnya bukan menganggap suaminya sebagai ayahnya. Demikian juga sebaliknya. Memang secara bahasa, panggilan-panggilan ini agak rancu. Tapi yang tidak rancu terkadang malah aneh terdengar di telinga. Mungkin kita akan merasa janggal kalau mendengar seorang isteri memanggil suami dengan sapaan Suamiku, suamiku!. Lalu suaminya menjawab, Ya, ada apa isteriku? Persis potongan film Cina yang disulih (dubbing) dengan bahasa Indonesia. Jadi ini sebenarnya masalah rasa bahasa. Kita adalah bangsa yang tergolong santun dalam berbahasa, saking santunnya sampai-sampai 'keluar' dari alur aslinya. Meski tidak harus selalu bertentangan dengan syariah. Misalnya panggilan 'saudara' atau 'saudari', sudah menjadi sebuah keumuman bahwa kita menyapa orang lain, baik yang kita kenal atau pun yang tidak dengan panggilan itu. Padahal kalau mau ditarik ke arah hukum syariah, seorang laki-laki diharamkan menikah dengan saudari perempuannya. Atau lebih tegasnya seorang al-akh tidak boleh menikahi ukhti-nya. Karena hubungan antara akh dengan ukht adalah hubungan kemahraman yang dilarang terjadinya pernikahan. Panggilan Abi dan Ummi Sayangnya, ada panggilan yang agak 'lebih parah' lagi. Yaitu panggilan isteri kepada suaminya dengan sebutan 'abi'. Dan sebaliknya, panggilan suami kepada isterinya dengan sebutan 'ummi'. Kenapa kami bilang lebih parah? Karena kata 'abi' bukan sekedar bermakna ayah, yang masih bersifat umum, tetapi sudah makrifah, di dalamnya sudah ada penekanan bahwa yang dipanggil abi adalah ayah saya. Maka ketika isteri menyebut 'abi' artinya adalah ayah saya. Ketikasuami menyebut 'ummi' artinya adalah ibu saya. Di sini yang jadi sorotan adalah semangat menggunakan bahasa arab yang agak kurang tepat mengenai sasaran. Masalahnya, Rasulullah SAW dan para shahabat yang orang arab, sama sekali tidak pernah menyapa isteri mereka dengan sebutan 'ummi'. Para isteri shahabat juga tidak pernah memanggil suami mereka dengan sapaan 'abi'. Karena suami mereka memang bukan ayah mereka, sebagaimana isteri mereka bukan ibu mereka. Mereka tetap memanggil isteri mereka dengan kata umm, tetapi bukan 'ummi'. Di sini letak titik masalahnya. Mereka panggil isteri mereka dengan sebutan yang menyebutkan kedudukan ibu terhadap anaknya. Kalau anak mereka bernama Zaid misalnya, maka panggilannya adalah: 'Umma Zaid'. Kok umma bukan ummu? Ya, karena kata umm dalam kalimat itu berposisi sebagai munada atau pihak yang dipanggil, dan dia sendiri adalah mudhaf, maka kedudukannya menjadi nashab (manshub). Dan tandanya adalah fathah. Aslinya, ada huruf munada seperti 'ya'yang artinya wahai. Maka aslinya: Ya umma Zaid. Artinya, wahai ibunya Zaid. Demikian juga, si isteri menyapa suaminya bukan dengan sebutan 'abi', melainkan 'aba zaid'. Tetapi sebutan itu bukan panggilan langsung kepada orangnya, maka posisi rafa' dengan dhammah sebagai tandanya. Abu Zaid dan Ummu Zaid. Maka tidak ada salahnya kita sedikit mengoreksi masalah ini, sambil hitung-hitung belajar bahasa arab dengan baik. Kalau anda punya anak bernama Muhammad, cobalah sapa isteri anda dengan panggilan: umma Muhammad. Akan terasa lebih meresap dari sisi bahasa dan tentunya lebih syar'i.Ketimbang disapa dengan sebutan yang lain. Tetapi apa yang kami sampaikan bukanlah hal yang prinsipil, apalagi menabrak larangan syariah. Sekedar bahan renungan, setidaknya untuk mereka yang sedang merindukan untuk punya bahtera kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Apa salahnya sejak awal sudah lebih kritis dalam penggunaan istilah? Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc - Original Message - From: kurnia wisesa To: media-dakwah@yahoogroups.com Sent: Tuesday, May 01, 2007 11:17 AM