Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri

2007-05-01 Terurut Topik Dwigita Setiyowati
pendapat yg menyatakan panggilan ummi pd istri adalah mengakibatkan jatuhnya 
talak itu pendapat siapa ya kalau boleh tahu?, bukankah tidak sah talak tanpa 
niat mentalak spt itu?. klo gitu sama aja dong bagi org indonesia yg manggil 
istrinya mama atau bunda, jatuh talak juga?...


 kurnia wisesa[EMAIL PROTECTED] Wrote: 
 
 
 Assalamu'alaikum
 
 Mungkin sudah menjadi pemandangan yang umum bahwa keluarga muslim sekarang
 banyak yang menggunakan panggilan abi dan ummi.
 Panggilan itu ditujukan buat orang tua oleh anak-anak mereka.
 Jadi si anak memanggal ayahnya dengan abi (ayahku)dan ibunya dipanggil
 ummi (ibuku).
 
 Untuk mengajarkan anaknya dengan panggilan tersebut, sang ayah jadinya
 memanggil istrinya dengan ummi (ibuku), paling tidak dihadapan anaknya.
 Walaupun tidak jarang terbawa juga pada situasi tidak ada anaknya,
 misalnya di depan teman-temannya, di keramaian, dan sebagainya.
 
 Saya pernah membaca bahwa ada yg berpendapat panggilan ummi dari seorang
 suami kepada istrinya bisa jatuh pada zihar (bener gak tulisannya..) alias
 menjatuhkan talak atas istrinya secara tersirat (karena menyamakan
 istrinya dengan ibunya)
 
 Tapi ada juga yg berpendapat tidak mengapakarena maksudnya tidak
 demikian. Maksudnya adalah mengajarkan anak untuk memanggila ibunya denga
 panggilan ummi.
 
 Sebenarnya, yang dicontohkan para sahabat dalam memanggil istrinya
 dihadapan anak-anaknya bagaimana ? atau ... orang arab tuh...manggil
 istrinya di depan anak-anaknya bagaimana ? apakah manggilnya
 zaujati...atau ya umma harun (misalnya)... kalau memang kaya gitu...
 anak-anaknya ntar manggilnya sama kaya gitu juga dong...
 
 terima kasih atas jawabannya
 
 
 ---
 This email was sent using SCTVNews Webmail.
 get your free email http://www.sctvnews.com/
 
 
 ***
 Scanned By Bank Syariah Mandiri [TM-IMSS]
 ***-***
 


Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri

2007-05-01 Terurut Topik A Nizami
Wa'alaikum salam wr wb,
Kita harus memahami hadits tentang memanggil istri
dengan sebutan ibu yang menyebabkan cerai (dzihar).

Dzihar itu adalah tradisi Arab untuk mengharamkan
menggauli istri tanpa menceraikan dengan mengatakan
engkau laksana punggung ibuku.

Jadi niatnya saja beda. Mungkin artikel di bawah bisa
menjelaskan.

Wassalam

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/5/cn/4361
2. Sebenarnya dari sisi syariat, memanggil istri
dengan ungkapan yang seolah-olah si istri menjadi ibu
buat suami tidaklah sampai kepada zhihar. Karena di
dalam kasus zhihar ada syarat niat untuk mengharamkan
diri untuk menggauli istri seperti keharaman menggauli
ibu sendiri. Yaitu dengan lafaz zhihar yang umumnya
menggunakan lafaz,#65533;Kamu bagiku seperti punggung
ibuku#65533;.

Jadi lafaz itu sendiri pun harus tegas memiliki makna
pengharaman atas mempergauli istri. Dan yang
terpenting adalah niat atau azzam ketika
mengucapkannya. Perkara ini tidak bisa disamakan
dengan lafaz sharih talaq bisa saja berstatus talaq
meski hanya diucapkan main-main. Karena sebenarnya
dalam kasus talaq sekalipun, harus ada lafaz sharih
atau ekplisit, bukan lafaz yang bersifat kina#65533;i
atau implisit.

Sebenarnya zhihar ini diambil dari kebiasaan orang
Arab pra Islam yang biasa menyatakan #65533;Anti Ka
Dzhohri Ummi#65533; artinya engkau laksana ibuku,
sebagai ungkapan untuk menyatakan keharaman menggauli
isterinya. Dengan pernyataan suami yang demikian, maka
kedudukan isteri menjadi menggantung, tidak dianggap
sebagai isteri dan tidak juga diceraikan Dalam
Al-Qur#65533;an Allah Swt berfirman :

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka
tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. #65533; (QS.
Al-Mujadalah : 2 )

Dengan turunnnya ayat di atas, maka hukum dzihar dalam
Islam diharamkan dan suami yang melakukannya dianggap
melakukan suatu dosa yang besar. Dan tidak dianggap
sebagai tholaq atau perceraian. (Al-Mausu#65533;ah
Al-Fiqhiyyah 29/191)

Salah satu syarat sesorang dapat dikategorikan
melakukan dzihar terhadap isterinya adalah adanya
makna pengharaman (diniatkan demikian), yang dimaksud
di sini adalah suami mengharamkan isterinya sendiri
untuk dirinya sehingga ia tidak boleh lagi melakukan
hubungan layaknya suami isteri. Karena dalam dzihar
biasanya isteri tersebut atau diserupakan dengan ibu
sang suami yang melakukannya dalam hal diharamkannya
melakukan hubungan layaknya suami isteri.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam
Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

--- Dwigita Setiyowati
[EMAIL PROTECTED] wrote:

 pendapat yg menyatakan panggilan ummi pd istri
 adalah mengakibatkan jatuhnya talak itu pendapat
 siapa ya kalau boleh tahu?, bukankah tidak sah talak
 tanpa niat mentalak spt itu?. klo gitu sama aja dong
 bagi org indonesia yg manggil istrinya mama atau
 bunda, jatuh talak juga?...
 
 
  kurnia wisesa[EMAIL PROTECTED] Wrote: 
  
  
  Assalamu'alaikum
  
  Mungkin sudah menjadi pemandangan yang umum bahwa
 keluarga muslim sekarang
  banyak yang menggunakan panggilan abi dan ummi.
  Panggilan itu ditujukan buat orang tua oleh
 anak-anak mereka.
  Jadi si anak memanggal ayahnya dengan abi
 (ayahku)dan ibunya dipanggil
  ummi (ibuku).
  
  Untuk mengajarkan anaknya dengan panggilan
 tersebut, sang ayah jadinya
  memanggil istrinya dengan ummi (ibuku), paling
 tidak dihadapan anaknya.
  Walaupun tidak jarang terbawa juga pada situasi
 tidak ada anaknya,
  misalnya di depan teman-temannya, di keramaian,
 dan sebagainya.
  
  Saya pernah membaca bahwa ada yg berpendapat
 panggilan ummi dari seorang
  suami kepada istrinya bisa jatuh pada zihar (bener
 gak tulisannya..) alias
  menjatuhkan talak atas istrinya secara tersirat
 (karena menyamakan
  istrinya dengan ibunya)
  
  Tapi ada juga yg berpendapat tidak
 mengapakarena maksudnya tidak
  demikian. Maksudnya adalah mengajarkan anak untuk
 memanggila ibunya denga
  panggilan ummi.
  
  Sebenarnya, yang dicontohkan para sahabat dalam
 memanggil istrinya
  dihadapan anak-anaknya bagaimana ? atau ... orang
 arab tuh...manggil
  istrinya di depan anak-anaknya bagaimana ? apakah
 manggilnya
  zaujati...atau ya umma harun (misalnya)... kalau
 memang kaya gitu...
  anak-anaknya ntar manggilnya sama kaya gitu juga
 dong...
  
  terima kasih atas jawabannya
  
  
 
 ---
  This email was sent using SCTVNews Webmail.
  get your free email http://www.sctvnews.com/
  
  
  ***
  Scanned By Bank Syariah Mandiri [TM-IMSS]
  ***-***
  
 


===
Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits?
Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED]
http://www.media-islam.or.id

__
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best 

Re: [media-dakwah] Tanya: Panggilan Ummi kpd istri

2007-04-30 Terurut Topik ARIHADI

smoga bisa sedikit menjawab
saya kutip dari :

http://www.eramuslim.com



Panggilan Ayah dan Bunda
Selasa, 27 Mar 07 07:48 WIB

Kirim Pertanyaan | Kirim teman

Assalamu'alaikum wr. Wb

Ustad Ahmad yang saya hormati, ada sebuah pertanyaan yang mengganjal
hati saya beberapa masa terakhir ini yaitu panggilan ayah dan bunda pada
suami isteri. Adakah hukum yang melarang seorang suami memanggil
isterinya dengan panggilan bunda dan si isteri memanggil suaminya ayah.
Mohon pencerahan dari ustad.

Terimakasih, 

Assalamu'alaikum wr. Wb

Pane

Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Panggilan seorang suami kepada isterinya dengan sebutan 'bunda' memang
sangat banyak kita lihat. Bukan hanya kata 'bunda' saja, tetapi semua
variannya, seperti 'mama', 'ibu', 'kakak', bahkan 'ummi'.

Demikian juga dengan panggilan seorang isteri kepada suaminya,
seringkali dengan sebutan 'ayah', 'papa', 'bapak', 'adik' danbahkan
'abi'.

Sebenarnya tidak ada yang terlarang dengan panggilan-panggilan seperti
ini, asalkan sudah menjadi kelaziman. Tentu sama sekali tidak ada niat
dari masing-masing pasangan untuk memposisikan suami atau isteri dengan
cara yang berbeda. Maksudnya, ketika seorang isteri memanggil suaminya
dengan sebutan 'ayah', tentu niatnya bukan menganggap suaminya sebagai
ayahnya. Demikian juga sebaliknya.

Memang secara bahasa, panggilan-panggilan ini agak rancu. Tapi yang
tidak rancu terkadang malah aneh terdengar di telinga. Mungkin kita akan
merasa janggal kalau mendengar seorang isteri memanggil suami dengan
sapaan Suamiku, suamiku!. Lalu suaminya menjawab, Ya, ada apa
isteriku? Persis potongan film Cina yang disulih (dubbing) dengan
bahasa Indonesia.

Jadi ini sebenarnya masalah rasa bahasa. Kita adalah bangsa yang
tergolong santun dalam berbahasa, saking santunnya sampai-sampai
'keluar' dari alur aslinya. Meski tidak harus selalu bertentangan dengan
syariah.

Misalnya panggilan 'saudara' atau 'saudari', sudah menjadi sebuah
keumuman bahwa kita menyapa orang lain, baik yang kita kenal atau pun
yang tidak dengan panggilan itu. Padahal kalau mau ditarik ke arah hukum
syariah, seorang laki-laki diharamkan menikah dengan saudari
perempuannya. Atau lebih tegasnya seorang al-akh tidak boleh menikahi
ukhti-nya. Karena hubungan antara akh dengan ukht adalah hubungan
kemahraman yang dilarang terjadinya pernikahan.

Panggilan Abi dan Ummi

Sayangnya, ada panggilan yang agak 'lebih parah' lagi. Yaitu panggilan
isteri kepada suaminya dengan sebutan 'abi'. Dan sebaliknya, panggilan
suami kepada isterinya dengan sebutan 'ummi'.

Kenapa kami bilang lebih parah?

Karena kata 'abi' bukan sekedar bermakna ayah, yang masih bersifat umum,
tetapi sudah makrifah, di dalamnya sudah ada penekanan bahwa yang
dipanggil abi adalah ayah saya. Maka ketika isteri menyebut 'abi'
artinya adalah ayah saya. Ketikasuami menyebut 'ummi' artinya adalah ibu
saya.

Di sini yang jadi sorotan adalah semangat menggunakan bahasa arab yang
agak kurang tepat mengenai sasaran. Masalahnya, Rasulullah SAW dan para
shahabat yang orang arab, sama sekali tidak pernah menyapa isteri mereka
dengan sebutan 'ummi'. Para isteri shahabat juga tidak pernah memanggil
suami mereka dengan sapaan 'abi'. Karena suami mereka memang bukan ayah
mereka, sebagaimana isteri mereka bukan ibu mereka.

Mereka tetap memanggil isteri mereka dengan kata umm, tetapi bukan
'ummi'. Di sini letak titik masalahnya. Mereka panggil isteri mereka
dengan sebutan yang menyebutkan kedudukan ibu terhadap anaknya. Kalau
anak mereka bernama Zaid misalnya, maka panggilannya adalah: 'Umma
Zaid'.

Kok umma bukan ummu?

Ya, karena kata umm dalam kalimat itu berposisi sebagai munada atau
pihak yang dipanggil, dan dia sendiri adalah mudhaf, maka kedudukannya
menjadi nashab (manshub). Dan tandanya adalah fathah. Aslinya, ada huruf
munada seperti 'ya'yang artinya wahai. Maka aslinya: Ya umma Zaid.
Artinya, wahai ibunya Zaid.

Demikian juga, si isteri menyapa suaminya bukan dengan sebutan 'abi',
melainkan 'aba zaid'.

Tetapi sebutan itu bukan panggilan langsung kepada orangnya, maka posisi
rafa' dengan dhammah sebagai tandanya. Abu Zaid dan Ummu Zaid.

Maka tidak ada salahnya kita sedikit mengoreksi masalah ini, sambil
hitung-hitung belajar bahasa arab dengan baik. Kalau anda punya anak
bernama Muhammad, cobalah sapa isteri anda dengan panggilan: umma
Muhammad. Akan terasa lebih meresap dari sisi bahasa dan tentunya lebih
syar'i.Ketimbang disapa dengan sebutan yang lain.

Tetapi apa yang kami sampaikan bukanlah hal yang prinsipil, apalagi
menabrak larangan syariah. Sekedar bahan renungan, setidaknya untuk
mereka yang sedang merindukan untuk punya bahtera kehidupan yang lebih
baik di masa mendatang. Apa salahnya sejak awal sudah lebih kritis dalam
penggunaan istilah?

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc



  - Original Message - 
  From: kurnia wisesa 
  To: media-dakwah@yahoogroups.com 
  Sent: Tuesday, May 01, 2007 11:17 AM