Betul sekali karena tidak semua anak dikaruniai otak yang cemerlang kasian 
anak2 yang mungkin dikaruniai otak kurang cemerlang karena mereka pasti akan 
kerja extra keras dibandingkan dengan anak2 yang dianugerahi kemudahan dalam 
menyerap pelajaran, bersyukur bagi sang anak yang mempunyai orangtua yang 
berpendidikan bagus sehingga bisa membantu anaknya tapi bagaimana dengan anak 
yang mungkin mempunyai orang tua yang maaf... pendidikannya terbatas pasti akan 
kesulitan juga utk membantu ya.... cara belajar dengan menghapal hanya 
bermanfaat utk sementara saja pada saat ujian atau ulangan tapi setelah musim 
ujian selesai pasti akan lupa karena anak2 disuruh menghapal bukan memahami 
karena memahami butuh proses yang tidak semua anak cepat melakukannya sedangkan 
kurikulum sekarang anak dituntut untuk cepat menghapalnya kalo tidak ingin 
ketinggalan yang lainnya.

Maaf jika tidak berkenan.
Salam,


  ----- Original Message ----- 
  From: sendaljepit 
  To: milis-nakita List Member 
  Sent: Thursday, March 15, 2007 4:29 PM
  Subject: [milis-nakita] Pak Menteri, ANAK SAYA BUKAN JENIUS! {05}


  Bu Maf, mudah mudahan Bu Maf bisa menjadi penerus lidah kami yg kuatir akan 
pendidikan di Negeri kita ini. Apalagi Ibu Maf ini seorang pengajar, pastinya 
ibu tahu channel untuk menyampaikan aspirasi kami kan??

  selalu berharap

   
  On 3/15/07, Popo <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 
    On Thu, Mar 15, 2007 at 11:52:20AM +0700, Maf wrote:

    maaf Bu Maf,
    pendapat ibu bener juga, tapi kalo dari pendidikan menengah sudah 
    dijuruskan bukankah lebih baik, misalnya dari SMP, SMU, dan Univ,
    selama 11 tahun belajar bidang A dgn porsi lebih banyak, tentu
    hasilnya akan lebih bagus. artinya tidak semua mata pelajaran harus
    dipelajari secara detail:) 
    sedih juga baca di detik.com kalau salah satu penyebab beberapa
    kecelakaan transportasi baru2 ini adalah kurangnya SDM :(
    maaf url nya lupa :).
    padahal kalo mau menghitung, berapa tu yang lulus kuliah tiap tahun 
    nya? trus dimana sdm2 kita itu :(
    maaf contoh aja, pertanian kita ga maju2, padahal sarjana pertanian
    diluluskan tiap taun, hutan kita tambah gundul, padahal sarjana2
    kehutanan, lulusan dibidang kehutanan ada saja tiap tahun:) 
    maaf jika ada yang tidak berkenan :),

    terima kasih.
    Popo


    > Nakita ers...
    >
    > Tenang...tenang...
    > Apapun namanya, Kita harus cerdas, kita juga tidak boleh menelan info yang
    > kita baca secara mentah-mentah, jangan emosional, jangan mau terprofokasi
    > dengan info-info yang gak jelas sumbernya, tanggapi dengan akal sehat dan
    > fikiran jenih,
    >
    > yang jelas Visi dan Misi pendidikan itu bukan untuk membuat seorang anak 
    > menjadi Stress apalagi bunuh diri, sudah dipertimbangkan. saya kira
    > tergantung pada dirianak itu sendiri, mau belajar/nerima atau tidak....?.
    > Ibu... Bapak..., perhatian, kasih sayang, suport dari orang tua ikut 
    > berpengaruh pada semangat belajar anak lho....
    >
    > SALAM
    > Pengajar
    >
    >
    .
    > > Sedih,..tapi harus bagaimana lagi itu merupakan ketentuan pemerintah
    > > Yang gak mau tahu akan efeknya kepada generasi yang akan datang,... 
    > >
    > > Atau mungkin pada saat team pembuat kurikulum sekolah gak pernah
    > > sekolah,..
    > > Benar-benar gak ngerti,....
    > >
    > > Semoga Tuhan memberikan jalan, kepada yang bersangkutan 
    > >
    > > -----Original Message-----
    > > From: milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
    > > [mailto: [EMAIL PROTECTED] On Behalf Of
    > > [EMAIL PROTECTED]
    > > Sent: Wednesday, March 14, 2007 9:48 AM
    > > To: milis-nakita List Member 
    > > Subject: [milis-nakita] Pak Menteri, ANAK SAYA BUKAN JENIUS! {01}
    > >
    > >
    > > Dear All,
    > > Inilah metode pengajaran yang sekarang terjadi di indonesia.
    > >
    > > 
    > > Friends,
    > > Karena ini surat terbuka, maka silakan disebarluaskan!
    > >
    > > SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
    > > ---------------------------------
    > > Surat Terbuka kepada Mendiknas: 
    > >
    > >
    > > Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
    > >
    > > BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke
    > > lembaga
    > > Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang yang 
    > > penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa
    > > prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak tidak
    > > akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar pula 
    > > kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.
    > >
    > > Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat ini "surat
    > > terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-ibu 
    > > yang
    > > prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di
    > > sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut saya,
    > > apa
    > > yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada 
    > > anak-anak seusianya.
    > >
    > > Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi
    > > ujian
    > > kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup 
    > > terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga bulan
    > > terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu yang
    > > sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat pada 
    > > "Hari
    > > Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke
    > > sekolah. Alasannya sederhana: "Aku benci sekolah!" Sebagai orangtua,
    > > saya
    > > memang dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut
    > > saya,
    > > model pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya
    > > membiarkan ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai 
    > > kesempatan untuk mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.
    > >
    > > Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi saya
    > > sebagai orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak 
    > > mata pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk
    > > apa
    > > dan mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja
    > > saya
    > > pilih, karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system 
    > > pengajaran
    > > yang (masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah
    > > begitu banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.
    > >
    > > Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang KBK 
    > > (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing
    > > sekolah.
    > > Akan tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan berusaha
    > > memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai 
    > > "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit".  Apalagi, dalam sistem
    > > KBK,
    > > faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan sebagai
    > > guru tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat 
    > > menentukan. KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan
    > > yang terbuka, seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang
    > > memadai, dan seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran 
    > > tanpa
    > > harus membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada
    > > praktiknya,
    > > merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada
    > > umumnya.
    > > Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya beri
    > > contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya, paling
    > > tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum, ilmiah, 
    > > dan
    > > khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai Komputer
    > > dan
    > > PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di Jakarta).
    > > Itu berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya 15 
    > > buku
    > > - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi
    > > ujian
    > > kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja
    > > jumlah
    > > mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-masing
    > > mata
    > > pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang siswa
    > > SLTP kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa 
    > > buku-ajar standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak
    > > Menteri tidak memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi
    > > buku-ajar itu. Jadi, izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara 
    > > acak dari buku-ajar anak saya.
    > >
    > > Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II diharapkan
    > > mampu
    > > memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan, 
    > > masing-masing subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat
    > > dipahami
    > > oleh mereka yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek
    > > bahasan koperasi, dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, 
    > > struktural, mental, operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan
    > > dan jenis, sampai segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan
    > > nasional dirinci sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh 
    > > aspek budgeter, APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung
    > > pajak,
    > > dan peraturan yang terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka
    > > panjang
    > > (Pelita I sampai Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata 
    > > pelajaran lain. Ambil contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II.
    > > Siswa
    > > diharapkan memahami mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan),
    > > sistem pernafasan (manusia dan hewan), sistem transportasi (manusia dan 
    > > hewan), sistem saraf, sistem indera, dan seterusnya.
    > >
    > > Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar biasa
    > > mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara 
Diapedesis 
    > > dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu Globmerulus
    > > dan di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana
    > > bagian Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu, 
    > > tidak heran jika seorang dosen biologi di sebuah universitas
    > > berkomentar,
    > > "Kalau SLTP sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di
    > > Universitas?"
    > > 
    > > Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk siswa
    > > yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang siswa
    > > SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana dalam 
    > > KUHP
    > > yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per orangan
    > > yang
    > > mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk
    > > "perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang 
    > > dipakai
    > > jika "pelajar menyerang guru"!
    > >
    > > Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar
    > > mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan oleh 
    > > pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar membawa
    > > senjata api atau senjata tajam"...
    > >
    > > Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci 
    > > beban
    > > mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia pergi
    > > ke
    > > sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas. Menurut
    > > saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu 
tanpa 
    > > masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan anak
    > > yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.
    > >
    > >
    > > Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi yang 
    > > sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif anak
    > > sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki cara
    > > lain
    > > kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan Tanya, 
    > > Hafal
    > > Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di
    > > permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang dari
    > > sudut pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut 
    > > berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang sangat
    > > menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan kita di
    > > masa depan.
    > > 
    > >
    > > Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
    > > menghafal mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi
    > > pada
    > > anak saya. Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak 
    > > jenius! Dan jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *
    > >
    > > Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama),
    > > Jakarta
    > >
    > >
    > >
    > >
    > >
    > >
    > >
    > > =+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+
    > >
    > > Mailing List Nakita
    > > milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
    > >
    > > Arsip
    > > http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/ 
    > > ------------------------------------------------
    > >
    > > untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
    > > [EMAIL PROTECTED] 
    > >
    > > untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
    > > [EMAIL PROTECTED]
    > > 
    > >
    > >
    > >
    > >
    > > =+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+
    > >
    > > Mailing List Nakita
    > > milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
    > >
    > > Arsip
    > > http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/ 
    > > ------------------------------------------------
    > >
    > > untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
    > > [EMAIL PROTECTED] 
    > >
    > > untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
    > > [EMAIL PROTECTED]
    > > 
    > >
    > >
    >
    >
    >
    >
    >
    > =+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+
    >
    > Mailing List Nakita
    > milis-nakita@news.gramedia-majalah.com
    >
    > Arsip
    > http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/ 
    > ------------------------------------------------
    >
    > untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
    > [EMAIL PROTECTED] 
    >
    > untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
    > [EMAIL PROTECTED]
    >
    >







    This e-mail message may contain legally privileged and/or confidential 
information. If you are not the intended recipient(s), or the employee or agent 
responsible for delivery of this message to the intended recipient(s), you are 
hereby notified that any dissemination, distribution or copying of this e-mail 
message is strictly prohibited. If you have received this message in error, 
please immediately notify the sender and delete this e-mail message from your 
computer. 





    =+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+

    Mailing List Nakita
    milis-nakita@news.gramedia-majalah.com

    Arsip
    http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/
    ------------------------------------------------

    untuk berlangganan kirim mail kosong ke : 
    [EMAIL PROTECTED]

    untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
    [EMAIL PROTECTED]









=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+

Mailing List Nakita
milis-nakita@news.gramedia-majalah.com

Arsip
http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/
------------------------------------------------

untuk berlangganan kirim mail kosong ke :
[EMAIL PROTECTED]

untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke:
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke