Dear Pak Yudhi....
Saya ada artikel tentang gumoh yang pernah dikirim
sama mba Uttiek, semoga membantu ya pak.
Salam
Indri
"ADUH, KAMU
GUMOH, YA, SAYANG?"
Selama bayi tidak rewel dan berat
badannya terus meningkat, gumoh tak masalah, kok.
I bu baru sering waswas jika bayi
kecilnya gumoh. Itu, lo, keluar cairan putih dari mulut si kecil,
terutama setelah ia diberi susu. Nah, apakah gumoh sama dengan
muntah? Mengapa susu yang ditelan keluar lagi? Apakah tidak berbahaya?
Itulah sederet pertanyaan yang timbul menyertainya.
Rupanya, gumoh yang sering dialami
bayi kecil merupakan kondisi fisiologis normal. Istilah medisnya,
regurgitasi. Bisa dialami bayi sejak lahir sampai usianya 12 bulan.
Gumoh terjadi karena sesuatu yang sudah dimakan atau diminum bayi
keluar lagi melalui mulut, tak peduli apakah makanan atau minuman itu baru
sampai kerongkongan atau sudah mencapai lambung.
Bedanya dengan muntah, gumoh terjadi
secara pasif. Artinya, tidak ada usaha si bayi untuk mengeluarkan atau
memuntahkan makanan atau minumannya alias keluar sendiri. Si bayi ketika
gumoh mungkin saja sedang santai dalam gendongan, berbaring, atau
bermain. Ada data yang mengungkapkan, 70% bayi usia 4 bulan dalam sehari
paling tidak mengalami 1-4 kali gumoh.
Sementara yang dimaksud muntah adalah
keluarnya isi lambung melalui mulut akibat adanya usaha si kecil untuk
mengeluarkannya. Dalam perut terjadi peningkatan tekanan yang akan
mendorong makanan dan minuman ke atas lalu keluar lewat mulut. Selain itu,
pada muntah umumnya ada tiga fase yang harus dilewati. Awalnya, anak
merasa mual, kemudian mulai merasa penuh (retching) dan fase
terakhir adalah emesis atau muntah itu sendiri. Namun, berapa lama selang
waktu dari fase pertama ke fase berikutnya tidak bisa ditentukan. Bisa
saja karena rangsang tertentu, begitu merasa mual, penuh dan anak langsung
muntah.
BERAPA KALI YANG
NORMAL?
Dalam sehari bayi bisa
gumoh lebih dari sekali. Biasanya gumoh tersebut tak
menimbulkan masalah, apalagi jika terjadi pada bayi usia di bawah 6 bulan.
Dikatakan normal karena ini berkaitan dengan salah satu fungsi organnya
yang belum sempurna pada usia tersebut. Bila ada makanan dan minuman yang
masuk ke kerongkongan, maka pintu yang ada di antara kerongkongan dan
lambung akan membuka. Sebaliknya, saat makanan atau minuman masuk ke
lambung dan kerongkongan telah kosong, maka pintu yang dinamakan
sfingter (esofagus bagian bawah) ini akan menutup. Namun pada bayi, kadang
sfingter ini tidak berfungsi optimal. Ia bisa membuka sendiri meski tidak
ada bahan makanan yang masuk. Akibatnya, aliran dari lambung akan kembali
ke kerongkongan.
Akan tetapi dengan bertambahnya usia,
frekuensi gumoh lazimnya akan semakin berkurang. Saat anak berusia
setahun bisa dikatakan hanya tinggal 10% yang masih mengalami
gumoh. Berkurangnya frekuensi gumoh ini tak lain fungsi
sfingter yang makin lama makin sempurna sesuai dengan pertambahan usia.
Selain itu, ketika anak sudah mulai mendapatkan makanan padat, makanan
jenis itu lebih dapat tertahan di lambung dibanding makanan cair yang
sangat mudah memicu terjadinya aliran balik atau refluks.
Dengan demikian gumoh yang terjadi
pada bayi dikategorikan sebagai sesuatu yang normal, terlebih bila
terjadinya beberapa saat setelah makan dan minum serta tidak diikuti
tanda-tanda lain yang mencurigakan. Selama berat badan bayi meningkat dari
waktu ke waktu sesuai standar kesehatan, tidak rewel, gumoh tidak
bercampur darahdan tidak pula menolak makanan atau minuman, maka
gumoh tak perlu dipermasalahkan.
Lain halnya kalau gumoh terjadi
sangat sering atau hampir setiap saat. Juga kalau terjadinya tak hanya
seusai makan dan minum saja, tapi juga selagi tidur meski aktivitas makan
dan minum sudah dilakukan 3 jam yang lalu. Gumoh yang seperti ini
tentu saja harus mendapat perhatian kendati mungkin saja saat itu berat
badannya bagus dan si kecil masih mau makan dan minum. Dalam kondisi
demikian orangtua harus hati-hati agar gumoh tidak berlanjut
menjadi patologis yang diistilahkan refluks gastroesofagus, yakni adanya
aliran balik dari lambung ke kerongkongan yang menyebabkan kerusakan
lapisan dinding kerongkongan. Kerusakan dinding kerongkongan disebabkan
oleh iritasi asam lambung yang juga ikut masuk ke dalam kerongkongan. Asam
lambung ini mengiritasi daerah kerongkongan yang semula netral akhirnya
terluka.
Akibat selanjutnya, bayi akan rewel karena
apa pun yang dia makan dan minum akan menyebabkan rasa sakit di
kerongkongan. Jika tidak diatasi, ia akan menolak makan dan minumnya
sehingga asupan nutrisinya berkurang yang kemudian berdampak pada berat
badan yang tidak kunjung naik sebagaimana mestinya. Dengan kata lain,
refluks bisa menyebabkan bayi tidak tumbuh optimal.
Jika keadaan ini terus berlanjut tanpa ada
penanganan yang baik dikhawatirkan sel-sel di daerah kerongkongannya akan
berubah menjadi bentuk yang tak lazim. Nah, sel-sel dengan bentuk tak
lazim ini dikhawatirkan akan menjadi faktor timbulnya keganasan di usia
dewasa. Dengan demikian gumoh yang patologis harus segera diantisipasi dan
ditangani karena efeknya memang tidak terlihat semua saat ini, melainkan
jangka panjang.
LANGKAH-LANGKAH
MENGURANGI FREKUENSI GUMOH
*
Pemberian susu yang
dikentalkan
Salah satu terapinya adalah dengan
pemberian susu yang diformulasikan khusus bagi bayi yang sering
gumoh, atau istilahnya the thickening milk. Sayangnya, di
sini belum ada susu seperti itu, sehingga yang bisa dilakukan adalah
memodifikasi dengan mengentalkan susunya. Caranya, dengan mencampurkan
tepung beras sebanyak 5 gram untuk setiap 100 cc susu. Susu "modifikasi"
ini boleh diberikan pada bayi yang sering gumoh dan telah mendapatkan susu
formula. Namun formula dan modifikasinya tidak berlaku bagi bayi yang
mendapatkan ASI. Upayakan terus pemberian ASI eksklusif sampai bayi
berusia 6 bulan.
* Pemberian
obat-obatan
Jika pemberian susu yang dikentalkan dalam
jangka waktu tertentu, misalnya sebulan, tidak memperlihatkan hasil maka
perlu dipikirkan pemberian obat-obatan yang hanya diberikan berdasarkan
petunjuk dan pengawasan dokter.
* Posisikan dengan sudut 45 derajat
Yang tak kalah penting adalah posisi bayi.
Posisi telentang dengan membentuk sudut 45 derajat antara badan, pinggang,
dan tempat tidurnya terbukti dapat membantu mengurangi aliran balik dari
lambung ke kerongkongan. Amat dianjurkan untuk menyendawakan si kecil
begitu selesai makan dan minum dengan meletakkan si kecil dalam posisi
tersebut. Pada bagian punggungnya, beri ganjalan berupa bantalan atau
tumpukan kain. Biarkan ia pada posisi tersebut selama mungkin (minimal 2
jam).
* Operasi sebagai tindakan terakhir
Jika segala cara telah diupayakan namun tak
memberikan respons yang baik, tentu perlu dilakukan tindakan
operasi.
PEMERIKSAAN DENGAN
PH METRI Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk membuktikan adanya refluks gastroesofagus adalah
pemeriksaan dengan pH metri.
Metode ini cukup akurat untuk memantau
kadar pH atau keasaman di dalam kerongkongan bayi. Pemeriksaan dilakukan
selama 24 jam sehingga dapat mencerminkan kondisi
sehari-hari.
Dedeh kurniasih. Foto:
Iman/NAKITA
Konsultan ahli:
dr. Badriul Hegar, Sp.A(K).,
Dokter Spesialis Anak Konsultan Gastroenterologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM,
Jakarta |
|