Dendam Kultural Lelaki Minang dalam Sastra
 

Kedudukan  kaum  lelaki  di Minangkabau memang unik, terutama di dalam
masyarakat   tradisionalnya.   Keunikan   ini   berakar   dari  kultur
matrialineal   yang   hingga   kini   masih   dianut  oleh  masyarakat
Minangkabau.  Salah  satu  keunikan  itu  adalah  kaum lelakinya tidak
memiliki hak warisan atas pusaka turunan. Yang berhak menerima warisan
pusaka dari orangtuanya adalah kaum perempuan. Selain dari itu, lelaki
minang  juga tidak menurunkan suku (marga)-nya kepada anaknya sendiri,
melainkan kepada anak saudara perempuannya atau kemenakan.

Jika   pun   seorang  lelaki  berdiam  di  rumah  orangtuanya  setelah
berkeluarga dan menggarap sawah ladang orang tuanya sendiri, itu bukan
berarti  ia  dapat menurunkan warisan itu kepada anak-anaknya kalau ia
meninggal nanti, sekalipun lelaki itu tidak memiliki saudara perempuan
seayah-seibu,  toh  masih  ada saudara perempuan sepupu untuk menerima
warisan  itu.  Malah,  tinggal dan menggarap sawah ladang di rumah dan
tanah orangtua sendiri, di tanah Minang adalah aib.

Dari sudut pandang patrialineal, status kaum lelaki di Minangkabau itu
menyedihkan.  Tapi,  bagaimanakah  hal  itu  dapat diterima oleh orang
Minangkabau  sendiri tanpa protes? Buktinya, hingga saat ini belum ada
perubahan  yang  signifikan.  Kalau  pun terjadi anak-anak suku Minang
menerima  warisan  dari  orangtuanya, sudah barang tentu harta warisan
itu   tidak   berasal  dari  warisan  turun-temurun  (pusaka  tinggi),
melainkan  harta  yang berasal dari tetes keringat orangtuanya sendiri
atau yang disebut dengan pusaka rendah.

Sebenarnya,  bagi  kaum  lelaki  yang ditakdirkan lahir sebagai lelaki
dari etnis Minangkabau, bukan tidak berdampak atas perlakuan adat yang
tidak   kenal  kompromi  itu.  Jika  diteliti  secara  cermat,  nuansa
melangkolis   begitu   kental   ditemukan   di  dalam  sastra  tradisi
masyarakatnya  seperti  di  dalam pantun, kaba dan nyanyian, baik yang
masih  lisan  maupun yang sudah tertulis di dalam aksara Jawi atau pun
Melayu.

Nuansa  melankolis  itu  lebih  merupakan  dendam yang laten ketimbang
protes. Dampak dari dendam laten itu berujud menjadi perilaku merantau
yang  pada  dasarnya  adalah pencarian harga diri. Jika tidak ada yang
memiliki  di  kampung halaman sendiri, di luar tanah Minang pasti ada,
sekurang-kurangnya   pergi   belajar   dalam   arti  yang  luas  untuk
mendapatkan martabat sebagai lelaki. Agaknya, itu merupakan salah satu
faktor mengapa orang Minang sangat concern dengan dunia pendidikan.

Tentang  kegelisahan  anak  lelaki  yang  mulai dewasa di Minangkabau,
terlukis  dalam  pantun  ''merantau''  yang  sangat lazim dipakai oleh
tukang  kaba (tukang cerita lisan) melalui rebab, saluang, atau teater
randai adalah seperti berikut:

''karatau madang di hulu 
berbuah berbunga belum 
merantau bujang dahulu 
di rumah berguna belum'' 

Merantau  sejak  usia muda pada dasarnya adalah belajar menjadi orang.
Entah akan menjadi pemilik warung padang, meskipun pada awalnya adalah
tukang cuci piring. Mungkin akan menjadi pendekar, karena pada awalnya
kalah  berkelahi.  Atau  menjadi  pedagang  yang  sukses di pasar kota
rantau,  meski  pada  awalnya  menjadi pengecer di kaki lima, atau pun
mencopet di atas bus kota. Boleh jadi menjadi da'i kondang karena pada
awalnya  tidur  di  masjid/langgar.  Atau  juga menjadi ilmuwan karena
belajar  di  perguruan tinggi formal. Namun, amat jarang terdengar ada
orang  Minang sukses merantau karena menjadi tentara, kecuali di zaman
Orde  Baru  yang  memungkinkan tentara atau polisi menjadi bupati atau
gubernur.

Bagaimanakah  profil  lelaki  Minang di dalam sastra Indonesia modern?
Kalau  karya  sastra  itu merupakan cerminan masyarakat di mana sastra
itu  lahir,  katakanlah  sastra  Indonesia  modern  yang  berlatar dan
ditulis  oleh  pengarang Minang, profil lelaki Minang itu sudah barang
tentu  terefleksi  di dalamnya. Ambillah contoh misalnya novel ''Salah
Asuhan''  yang  ditulis oleh Abd. Muis sebelum perang (menurut batasan
Teeuw),  dan  novel  ''Warisan''  karya Chairul Harun yang ditulis dan
diterbitkan  sesudah  perang,  keduanya  terlukis  jelas  sosok lelaki
Minang yang menyimpan dendam kultural itu.

Hanafi, tokoh utama novel ''Salah Asuhan'', adalah sosok lelaki Minang
yang  tidak  berterima dengan adat Minang yang mengharuskannya menjadi
suami  perempuan  Minang  (Rafiah).  Karena  Hanafi yang berpendidikan
Eropa  itu  sadar  betul  dengan  kedudukan  dan  martabatnya  sebagai
laki-laki. Sementara menurut adat, suami tidak berhak memiliki apa pun
di  rumah  istrinya, kecuali istrinya sendiri. Ia diperlakukan sebagai
tamu  abadi yang terhormat, tetapi tidak berhak mengatur di rumah itu,
sekalipun  mendidik  anaknya sendiri. Karena pendidikan anaknya adalah
tanggung  jawab  mamak  anak  itu  sendiri,  yakni  saudara  laki-laki
istrinya.  Protes  keras Hanafi adalah meninggalkan istrinya dan nekat
mengawini  Corrie  yang  gadis  Indo dan berbudaya Eropa. Namun dilema
yang  dihadapi  Hanafi  ialah  tercerabut dari akar budaya sendiri dan
sekaligus dibencinya itu, membuatnya hancur.

Sementara  itu, novel ''Warisan'' yang ditulis Chairul Harun pada masa
sesudah perang, mengungkapkan bentuk dampak dendam kultural itu dengan
menggauli tiga orang perempuan muda sekaligus, ketika ia berkesempatan
pulang  mengurus  kematian  ayahnya  yang  juga mewariskan dendam itu.
Sebenarnya,  peristiwa itu terjadi juga didukung oleh suasana tradisi,
di  mana  kaum  perempuan  justru merasa bangga memiliki banyak suami,
meskipun  dengan  jalan  kawin-cerai (bukan poliandri). Karena menurut
pandangan  tradisi  (dampak adat), seorang perempuan akan mendapat cap
''tidak  laku''  kalau  hanya  pernah  menikah  sekali dalam hidupnya.
Begitu juga halnya, status gadis tua jauh lebih hina ketimbang janda.

Apakah  cerminan  masyarakat yang terpantul dari novel-novel itu masih
relevan   secara  substansial  di  ujung  abad  ini,  dengan  realitas
objektif?  Pertanyaan  ini hanya mungkin dijawab dengan melihat sejauh
mana kini orang Minang masih memegang teguh tradisinya. Suatu hal yang
tak  terelakkan  adalah  perubahan-perubahan nilai dasar kultural yang
disebabkan oleh koreksian alamiah. Agaknya, koreksian yang paling kuat
itu  datang  dari  tuntutan  zaman yang telah mengglobal. Sekarang, di
manapun  harga diri dapat ditemukan, meski di kampung sendiri, menjadi
anggota legislatif, misalnya.
  

  
Republika Online edisi: 05 Dec 1999 


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke