09 Oktober 2005
      Miskin 
      Arys Hilman 

      Alkisah di sebuah sekolah dasar, tercatatlah seorang siswa kelas
      satu. Sebut namanya Bakar. Ia anak konglomerat ternama.

      Bukan  cuma  bapaknya  yang  pedagang besar. Kakek moyangnya pun
      demikian.  Mereka  adalah rezim saudagar terkenal sejak era abad
      pertengahan.

      Ketika  Pires  berkata,  ''Tuhan  menciptakan  Timor untuk pala,
      Banda  untuk  lada, dan Maluku untuk cengkih,'' di sanalah kakek
      moyang Bakar berperan.

      Bakar masih menikmati warisan kebesaran itu. Ia bersekolah di SD
      unggulan  berstandar  internasional  dan  bilingual,  sekitar  2
      kilometer  dari  rumah  (mobil senilai Rp 1 miliar yang ia pakai
      hanya mencatatkan perjalanan 4 kilometer setiap hari).

      Seorang  sopir  dan  ''baby  sitter'' mengantar dan menungguinya
      setiap hari saat ia belajar.

      Laiknya  sekolah  mahal  dan  unggulan lainnya, mengarang adalah
      pelajaran yang diposisikan amat penting di SD tersebut.

      Anak-anak   didik,   sejak   kelas  satu,  sudah  dilatih  untuk
      mengekspresikan  isi kepala mereka dengan kata-kata yang tertata
      baik, namun dengan isi yang mencerminkan kebebasan pikiran.

      Sampailah, suatu ketika, sang guru meminta siswa kelas I membuat
      karangan  tentang  kehidupan  keluarga  yang  sangat  miskin  di
      seberang benteng sekolah.

      Sang  guru,  yang berasal dari keluarga menengah, berharap dapat
      menumbuhkan empati anak-anak didiknya yang serba berada terhadap
      nasib  kelompok  lain  yang tak berpunya. Bakar masih kelas satu
      SD.

      Tapi,  ia  penulis  yang  andal.  Ia sefasih bapaknya saat harus
      melontarkan kata-kata.

      Ia  pun  secerdas  ibunya saat harus membuat hitung-hitungan dan
      perbandingan.

      Ia menulis, seperti saran gurunya, dengan penuh perasaan. 
      ''Menulislah dengan hati,'' begitu kata-kata sang guru yang selalu ia 
ingat. 

      Lalu,  dengan  sesekali  menerawang  dan  membayangkan kehidupan
      keluarga miskin,

      Bakar  menggoreskan  pinsilnya  dengan  huruf-huruf  yang  belum
      sempurna benar.

      Ia menamai tokoh dalam karangannya sebagai Pak Abu. 

      ''Pak  Abu,''  tulisnya,  ''adalah  orang  yang  sangat  miskin.
      Benar-benar   miskin,   sampi-sampai  pembantunya  juga  miskin,
      sopirnya miskin, dan tukang kebunnya pun miskin.''

      ''Karena  sering  tak  punya  uang,  Pak Abu jarang membersihkan
      kolam renang di rumahnya.

      Ia  juga  hanya  bisa  memelihara  ikan-ikan  kecil  di akuarium
      seperti  lou han yang makannya sedikit, tidak seperti arwana dan
      koi di rumahku.

      Kucing siam punya Pak Abu juga kurus, soalnya kurang makan. Ayam
      yang ia pelihara juga yang kecil-kecil, jenis kate.''

      Bakar, yang berpikir bebas, menulis karangannya itu dengan penuh
      haru. Ia sesekali mengernyitkan dahi.

      Ia  berpikir  dirinya  tak mungkin bisa menanggungkan kemiskinan
      seperti yang terjadi pada keluarga Pak Abu.

      Alangkah  malangnya  keluarga  Pak  Abu, pikirnya. Jangan-jangan
      anak-anaknya   harus  berebut  saat  bermain  PS2,  karena  alat
      permainan itu hanya ada satu di ruang keluarga.

      Lain  dengan  di  rumahnya, setiap kamar ada. Di kamar Bakar, di
      kamar kakak-kakaknya, bahkan di kamar ibu-bapaknya .

      Sopir  dan  pembantu  Pak  Abu pun, pikirnya, pasti sedih karena
      tidak seperti pembantu dan sopir dirinya.

      Bakar  membandingkan  handphone yang dipegang sopir dan pembantu
      Pak  Abu  mungkin  jenis  monophonicyang ketinggalan zaman, lain
      dengan  handphone pembantu dan sopirnya yang polyphonic dan bisa
      kirim MMS.

      Ia  membayangkan  kepala  urusan  dapur di rumah Pak Abu mungkin
      hanya bisa belanja di pasar yang becek atau supermarket kecil di
      perempatan jalan.

      Padahal,   pembantu  di  rumahnya  sangat  biasa  berbelanja  ke
      hypermarket Prancis dan mal-mal.

      ''Anak-anak  Pak  Abu,''  tulisnya  dengan empati penuh, ''kalau
      liburan tidak bisa ke Eropa atau Amerika seperti aku.

      Mereka  hanya  bisa berlibur ke Bali. Itu pun pakai pesawat yang
      murah, low cost carrier.''

      Demikianlah cerita karangan Bakar. 

      Terserahlah, Pembaca, Anda mau bekomentar apa tentang cerita itu. 
      Saya hanya mau menyampaikan sebuah kegagalan empati. 

      Bukan karena orangnya tidak tulus, tapi ia memang tidak memiliki
      pengalaman yang memadai tentang dunia di luar dirinya.

      Bakar  adalah  wakil  dari kegagalan itu. Saya kembalikan kepada
      Anda kisah-kisah di luar.

      Saat  seorang  menteri  berkata,  ''Kalau  tidak  mampu  membeli
      elpiji, ya jangan gunakan elpiji,'' apa komentar Anda?

      Bagi  saya,  itu adalah kegagalan empati. Mungkin karena sekadar
      kurangnya  wawasan  dia tentang penderitaan, mungkin juga karena
      kemalasan melihat dunia luar.

      Bayangkan  setelah  si menteri berkata seperti itu, harga minyak
      tanah melambung tiga kali lipat.

      Kita  tentu tak berharap pejabat itu akan berkata, ''Kalau tidak
      mampu beli minyak tanah, jangan gunakan minyak tanah.''

      Lalu,  ketika  harga  beras  melonjak  sekian kali lipat, ia pun
      berpidato  lagi,  ''Kalau  tidak  mampu beli beras, jangan makan
      nasi.''

      Empati adalah kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain.
      Di dalamnya tercakup kecerdasan emosional dan sosial.

      Nah,  jika  Anda  berempati  kepada orang miskin, maka Anda akan
      memerankan diri sepenuh perasaan sebagai orang miskin.

      Persoalannya, apa fantasi Anda tentang kemiskinan?

      Penguasa kolonial mendefiniskan kemiskinan sebagai buah kemalasan. 

      Saat mendengar kata ''miskin'', mereka teringat pada kerbau yang
      hanya  bergerak  kalau dipacu dan lebih suka berkubang di lumpur
      hitam.

      Pemerintah   kita   mendefinisikan   kemiskinan   sebagai  hasil
      perhitungan dari sebuah nilai subsidi.

      Maka, ditemukanlah angka penghasilan Rp 175 ribu sebagai batas 
kemiskinan. 
      Kurang dari angka itu berarti miskin dan berhak mendapat santunan Rp 100 
ribu. 

      Persoalannya,  orang  yang  berpenghasilan di antara Rp 175 ribu
      dan Rp 275 ribu masuk kategori apa?

      Tidak jelas, kecuali satu hal: Mereka kini menjadi penduduk termiskin di 
negeri ini. 

       [EMAIL PROTECTED]


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke