Profesi-Profesi Termahal Masa Depan: Makin Mahal dengan Sertifikasi Standar Global
wartaekonomi.com Kebutuhan dan apresiasi terhadap pelaku profesi bersertifikasi standar global, seperti CFA, ChFC, FRM, CPIM, CPM, CISA, dan sebagainya, makin tinggi. Sertifikasi profesi terbukti menunjang karier dan peningkatan penghasilan para penyandangnya. Tri Djoko Santoso kini menyimpan dua kartu nama dalam sakunya. Kartu nama pertama menunjukkan identitas dirinya sebagai wakil presdir PT Panin Life Tbk., tanpa ada tambahan embel-embel lagi. Adapun kartu kedua mencantumkan gelar (professional designation) Chartered Financial Consultant (ChFC) di belakang namanya. "Itu saya perlukan kalau sedang dinas ke luar negeri atau bertemu dengan kolega saya yang kebetulan orang asing di Indonesia," ujarnya. Tri berharap kartu nama kedua bisa lebih mempertebal keyakinan mitra asingnya bahwa dia dengan orang yang kompeten di bidang asuransi dan layak dihargai karena menyandang gelar sertifikasi berstandar global, yaitu ChFC. "Kadang kartu nama itu juga saya tunjukkan ke klien atau nasabah," ungkap Tri. Meski tanpa sertifikasi ChFC, perkembangan karier dan gaji Tri cukup baik, karena zaman makin terbuka, pengakuan yang bersifat internasional seperti gelar ChFC amat diperlukannya. Sertifikasi ChFC milik Tri diperolehnya dari The American College. Selain pengakuan internasional, apa lagi manfaatnya? "Banyak sekali," paparnya. Oleh karena program sertifikasi lebih bersifat aplikatif, banyak sekali pengetahuan baru yang tak ia peroleh di bangku kuliah. Selain itu, apresiasi industri jasa keuangan terhadap mereka yang bersertifikasi global juga makin tinggi. "Mereka makin dihargai karena keahliannya berkaliber internasional dan ini akan terus bergulir," tandasnya. Sertifikasi Profesi Jadi Tuntutan Menurut Hari Sudarmadji, managing partner Optima Consulting, perusahaan konsultan SDM, kini sertifikasi profesi memang menjadi tuntutan untuk melakukan pekerjaan di berbagai bidang usaha, seperti menjadi manajer investasi atau wakil perantara perdagangan efek. "Saya sangat setuju dengan adanya sertifikasi profesi, sebab ini penting untuk kejelasan," ujarnya. Hari mencermati, sekarang makin banyak profesi baru yang belum disentuh banyak orang dan membutuhkan upaya sertifikasi, baik yang bersifat global maupun nasional. Misalnya, sertifikasi profesi di bidang manajemen risiko, corporate secretary, konsultasi manajemen, komite audit perusahaan publik, audit ISO, audit TI, dan audit lingkungan. "Mereka yang benar-benar kompeten di bidang itu sekarang banyak dicari," paparnya. Di bidang hukum juga berkembang sertifikasi profesi mediator profesional yang memberikan jasa mediasi untuk penyelesaian sengketa komersial di luar pengadilan. Ke depan, lanjut Hari, tak semua orang boleh menamakan dirinya berprofesi di bidang itu karena tuntutan pertanggungjawaban profesi cenderung makin tinggi, seperti halnya profesi akuntan, advokat, notaris, dokter, dan apoteker, yang sampai dilindungi UU. Misalnya, dalam kasus pencemaran Teluk Buyat, seharusnya ada opini dari auditor lingkungan independen dan bersertifikasi standar global yang layak disajikan dan memiliki akuntabilitas publik. "Ini belum ada. Namun, lima tahun mendatang pasti profesi ini banyak dicari, sehingga prospeknya bagus," kata Hari. Di bidang audit TI, Surdiyanto Suryodarmodjo, presiden ISACA (Information Systems Audit and Control Association) Indonesia Chapter, membenarkan bahwa auditor TI yang memiliki gelar CISA (Certified Information Systems Auditor) yang dikeluarkan ISACA, AS, makin dibutuhkan. "Padahal di sini pemilik gelar CISA baru 30-50 orang," paparnya. Ia menambahkan, sertifikasi CISM (Certified Information Security Manager) yang dikeluarkan ISACA untuk para manajer TI, juga sedang berkembang di Indonesia. Saat ini belum ada 10 orang Indonesia yang menyandang gelar CISM. "Sebab baru berjalan tahun lalu dan ujiannya Juli 2004 lalu," ungkap Surdiyanto. Menurut Surdiyanto yang juga dirut PT Kliring Berjangka Indonesia itu, audit TI yang dilakukan pemilik gelar CISA jelas dapat dipertanggungjawabkan karena ia memang dibekali pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang berstandar internasional. Tak semua orang kompeten, berwenang, dan berhak melakukan audit TI untuk meneliti adanya kontrol dan efektivitas berjalannya sebuah sistem informasi. "Kalau auditor CISA mengatakan hasil auditnya bagus, pasti memang bagus, sebab dia independen dan tak ada conflict of interest," tandasnya. Lebih lanjut Surdiyanto memaparkan, sarjana akuntansi dan manajemen bisa saja menjadi auditor keuangan, manajemen, dan operasional, tetapi tidak semua bisa mengaudit sistem informasi, perangkat lunak, dan sistem aplikasi. Padahal, ujarnya, banyak perusahaan besar makin bergantung pada TI. "BCA saja sudah mengarahkan transaksi senilai Rp25 juta ke ATM. Dan ATM-nya sudah bisa untuk membayar banyak hal tanpa harus antre lama. Ini berarti TI sudah menjadi jantung layanan bisnis BCA." Di sektor industri manufaktur, tenaga profesional bergelar CPIM (Certified in Production and Inventory Management) dan CIRM (Certified in Integrated Resource Management) yang dikeluarkan oleh APICS (American Production and Inventory Control Society) di AS juga makin dibutuhkan banyak perusahaan. Gelar CPIM menandakan penyandangnya memiliki kompetensi berstandar internasional di bidang perencanaan pengadaan, bahan baku, kapasitas produksi, pengukuran performa, hubungan dengan pemasok, perencanaan penjualan dan operasional, kontrol kualitas, dan kesinambungan operasional pabrik. Sementara itu, gelar CIRM menandakan penyandangnya juga menguasai cara mengelola interaksi antarbagian fungsional di sebuah perusahaan yang begitu kompleks, sehingga bisa bekerja lebih efektif dan produktivitas meningkat. Sertifikasi CPIM dan CIRM, menurut Ahmad Syamil, sangat penting bagi kalangan profesional yang banyak bergelut di bidang manajemen operasional perusahaan atau pabrik. Ahmad adalah salah satu penyandang gelar CPIM dan CIRM. Gelar ini, lanjut staf pengajar di Arkansas State University, AS, itu, "Juga membantu peluang kerja di berbagai negara." Di bidang pemasaran, sertifikasi profesi seperti Chartered Marketer (CM) yang dikeluarkan oleh The Chartered Institute of Marketing (CIM) juga sedang berkembang. Ario S. Setiadi, marketing & business development vice-president Medika Plaza International Clinic, mengaku sedang belajar program CM. "Cuma pakar marketing Hermawan Kartajaya yang sejauh ini bisa memperoleh gelar Fellow dari CIM," ujarnya. Padahal Ario sudah memiliki gelar CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific yang dirilis APMF (Asia Pacific Marketing Federation), yang di Indonesia baru ada 12 orang yang memilikinya, termasuk Ario. Sementara itu, di bidang keuangan, Ferry Wong, manajer riset BNP Paribas, mengamati minat orang untuk memperoleh gelar FRM (Financial Risk Manager) sekarang makin tinggi, terutama mereka yang bekerja di sektor perbankan. "Sebab, regulasi perbankan mengharuskan semua bank mengikuti Basel Rule II Accord," ujar Ferry, yang memperoleh gelar FRM dari Global Association for Risk Management Professional pada tahun 2002. Basel Rule II Accord menjadi standar global yang harus diikuti semua bank dalam hal manajemen risiko dan bakal berlaku pada 2006. Oleh karena itu, banyak kalangan bankir tertarik mendapatkan sertifikasi FRM. Apalagi Bank Indonesia juga mengharuskan key person di bank memperoleh pelatihan manajemen risiko untuk memahami implementasi standar baru itu. Menurut Ferry, pemilik gelar FRM di Indonesia baru delapan orang. "Sebagian besar juga penyandang gelar CFA (Chartered Financial Analyst)," tutur Ferry, yang juga bergelar CFA. Sertifikasi CFA, walau sudah ada di Indonesia sejak 15 tahun lalu, baru 70-80 orang yang memilikinya. "Meski yang ikut ujian CFA per tahun 700-800 orang, yang lulus sangat sedikit," ungkap Ferry. Th. Wiryawan, marketing communications & business development director Citibank Indonesia, menilai bahwa masalah sertifikasi profesi memang isu besar di industri jasa keuangan saat ini. "Seperti untuk menjadi private banker, sebenarnya juga tidak mudah," ujarnya. Di Citibank, mereka yang bisa bekerja sebagai private banker harus berada pada level senior manager dan lulus ujian selama tiga bulan. Standar kualitas profesional bankirnya juga minimal harus regional. "Jadi, masalah marked to market yang sempat menghebohkan itu sedikit banyak juga terkait dengan standar profesional global, yang umumnya menganut pendekatan marked to market," jelasnya. Menunjang Karier dan Penghasilan Hari melihat kebutuhan paling besar profesional yang bersertifikasi profesi adalah di industri keuangan, asuransi, pasar modal, dan properti. "Ini lagi tren dan membuat tenaga-tenaga yang memiliki sertifikasi harganya naik," tegas Hari. Apalagi tenaga-tenaga bersertifikasi juga tak mudah dicari karena yang bersangkutan sudah mendapatkan posisi dan income yang bagus. Jadi, kalaupun ada, umumnya berharga mahal. Berapa? Ungkap Hari, "Per bulan bisa Rp85 juta." Oleh karena mereka memiliki kemampuan khusus, perusahaan pun diuntungkan. Nilai perusahaan (corporate value) otomatis meningkat karena mampu mempekerjakan tenaga-tenaga bersertifikasi global dengan gaji yang tinggi. Hari menyarankan, tak ada ruginya eksekutif yang masih berusia 27-35 tahun untuk mengejar sertifikasi. "Tren dunia keprofesian akan makin spesifik dan ilmu yang dimiliki sangat spesial, bukan umum atau generik," jelas Hari. Menurut pemantauan Surdiyanto, umumnya auditor bergelar CISA memang memiliki penghasilan yang bagus dan posisi strategis di perusahaan. "Ia betul-betul dipakai untuk memberikan pendapatan besar bagi perusahaannya," tambahnya. Apabila ada proyek audit perusahaan, ia pasti akan dilibatkan sehingga penghasilannya juga besar. Posisinya di perusahaan pun lebih bagus dibanding auditor yang tak bergelar CISA. Makin banyak perusahaan besar menerapkan TI, harga jasa tenaga auditor TI yang terhitung masih sedikit pun makin meningkat pula. Namun, menurut Tri Djoko Santoso, belum tentu seseorang yang bersertifikasi standar global akan berhasil di karier dan gaji. Hanya, memang, dengan memiliki sertifikasi, daya tahan untuk tetap memiliki posisi dan penghasilan tinggi cenderung lebih kuat. "Jika tak punya sertifikasi, bisa saja ia diganti oleh orang yang bersertifikasi," tuturnya. Apalagi, ke depan, persaingan bisnis makin terbuka, termasuk dengan orang asing. Jadi, jika tak memiliki kredibilitas, lewat sertifikasi, pasti akan kalah bersaing. "Bank-bank besar, asuransi, dan pasar modal makin melihat pentingnya sertifikasi ini," tandasnya. Ferry Wong berpendapat, sertifikasi memang menunjang karier dan gaji, tetapi tidak menjamin juga kalau pemilik gelar CFA dan FRM pasti akan menjadi analis yang hebat. "Gelar hanya memberikan dasar atau tools untuk menjadi analis yang baik," paparnya. Selebihnya tergantung kemauan, usaha, dan keberuntungan. Namun, Ferry mengakui, rekan-rekannya yang menyandang gelar CFA dan FRM memang memiliki posisi tinggi. "Oleh karena jumlahnya sedikit, apresiasi pasar pun makin tinggi," jelasnya. Hal senada juga diungkapkan Ario. Katanya, penyandang gelar CPM Asia Pacific di Indonesia umumnya berpenghasilan baik. Apalagi gelar ini dihargai di negara-negara Asia Pasifik, sehingga penyandangnya, apabila bekerja di luar negeri, mendapat pengakuan bahwa standar profesionalnya setara. "Sementara di Indonesia masih banyak perusahaan tak mengerti makna titel CPM," paparnya. Ario mensinyalir, orang masih rancu antara gelar formal dan informal, serta adanya stigma bahwa apabila gelar informal tak disahkan Departemen Pendidikan Nasional, ia dianggap tidak legal. "Padahal di sini bukan soal legal atau tidak, tapi soal profesi yang kalau diterima pasar ya bisa berjalan," jelas Ario. Namun Ario yakin, pemilik sertifikat CPM atau CM bakal lebih berdaya saing dibanding yang tidak memilikinya. Di bisnis properti, Thomas Sugiarto, executive service director Century 21 Thomas Mitra, menjelaskan bahwa sebagian broker properti memang belum memiliki sertifikasi broker atau analis properti. Namun ia mengamati, mereka yang memilikinya cenderung makin baik karier dan penghasilannya. Thomas, yang memperoleh gelar CPA (Certified Property Analyst) dari Pusat Studi Properti Indonesia, merasakan manfaat pendidikan yang ditempuhnya dalam menjalankan profesi sebagai broker properti. Ke depan, Thomas melihat sertifikasi profesi broker properti makin dibutuhkan karena persaingan makin sengit dan tuntutan konsumen makin tinggi. "Itu baru bisa kami layani kalau kaminya sendiri makin berkualitas," ujarnya. Thomas menambahkan, karier sulit berkembang kalau mau mengejar uang tanpa terus belajar. Sulit Diperoleh Namun umumnya sertifikasi profesi berstandar global, dan bahkan yang nasional sekalipun, tak mudah didapat. Bahkan, papar Hari, dalam ujian profesi, lebih banyak yang gagal daripada yang berhasil. Sinyalemen Hari dibenarkan oleh Ario. Misalnya, persyaratan untuk ikut ujian CPM, seseorang minimal sudah bekerja di bidang pemasaran selama lima tahun, dan biasanya jarang yang sekali ujian bisa langsung lulus. Umumnya dua kali ujian baru lulus. "Saya sendiri waktu itu ada yang satu modulnya tidak lulus," ungkap Ario. Kesulitan makin tinggi kalau mereka tak punya pengalaman dalam bidang pemasaran. Pasalnya, ujiannya hanya 20%-30% yang bersifat teori, selebihnya bersifat praktis. Jadi, bagi yang belum berpengalaman, pasti akan kesulitan. Seorang penyandang gelar sertifikasi berstandar global tidak boleh hanya piawai teori, tetapi juga harus mampu mengaplikasikan ilmunya. Misalnya di bidang hukum, ia harus terampil berperkara di pengadilan. Kalau ia manajer investasi, ia harus terampil mengelola dana triliunan rupiah. "Kepandaian mengelola risiko seperti itu tidak gampang," papar Hari. Walau kesejahteraan penyandang sertifikasi profesi berstandar global meningkat, gelar itu juga menuntut tanggung jawab yang juga besar. Menurut Hari, mereka tak bisa berlindung di bawah perusahaan atau organisasi profesi. "Sebab, pekerjaan mereka kerap kali menyangkut nilai yang besar," tuturnya. Mereka, lanjut Hari, secara pribadi harus bisa bertanggung jawab di depan hukum supaya tidak ada malapraktek. "Profesi yang sudah dilindungi hukum saja bisa malapraktek," cetus Hari. Oleh karena itu, lanjut Hari, sertifikasi berstandar global bukanlah lisensi seumur hidup, tetapi terus mendapat pengawasan ketat dari institusi pemberi sertifikasi. Penyandang gelarnya wajib mengikuti pendidikan dan ujian berkesinambungan (continual education) untuk terus meningkatkan kualitas profesionalitasnya. "Bisa saja orangnya malas mengikuti perkembangan terbaru, sehingga kualitas kerjanya turun dan opininya tidak layak lagi," urai Hari. Mereka juga diwajibkan mematuhi kode etik sertifikasi profesi. Kalau tidak, gelarnya bisa dicabut sewaktu-waktu. Surdiyanto membenarkan hal itu. Ia memaparkan, apabila pemegang gelar CISA dalam setahun tak melakukan praktek apa pun yang terkait dengan gelarnya, ia tidak akan mendapatkan poin kredit sehingga gelarnya bisa dicabut. Gelarnya baru bisa diperpanjang kalau tiap tahun ia memberikan laporan yang diakui. Ia juga harus mematuhi kode etik yang ada. "Setiap akhir tahun, gelar CISA harus diperpanjang dan di-review, tidak bisa seumur hidup memegang gelar CISA," paparnya. Ferry Wong juga mengungkapkan bahwa gelar sertifikasi profesi seperti CFA memang bisa dicabut kalau melanggar kode etik. "Jadi, seperti surat izin mengemudi," tandasnya. Oleh karena itu, tambahnya, penyandang gelar CFA cenderung tak berani mengambil risiko melakukan penyimpangan atau penipuan. "Risiko dan tanggung jawabnya besar." Biaya pendidikan dan ujian sertifikasi standar global juga terhitung mahal. "Ini wajar karena kalau murah, isinya tentu tak bisa dipertanggungjawabkan," papar Hari. Sampai di sini, Hari cemas dengan makin menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan fasilitas pendidikan dan ujian keprofesian, baik berstandar global maupun lokal, seiring tumbuhnya permintaan. Hari mencermati, ada gejala banyak orang memburu sertifikasi sampai ke luar negeri sehingga kalau tidak diantisipasi, disediakan forumnya, Indonesia akan kebanjiran orang yang bersertifikasi profesi dari luar negeri yang tak diketahui seperti apa kualitasnya. "Tidak bisa sekadar menerima selembar ijazah tanpa jelas maksud kriterianya," tegasnya. Untuk itu Hari menilai pentingnya peran berbagai organisasi profesi dan organisasi sertifikasi profesi, bersama dengan semua pihak yang terkait, seperti pemerintah dan badan-badan independen lainnya, memberikan arah terhadap perkembangan dunia keprofesian. Bentuknya bisa regulasi dan praktek di lapangan. "Kalau pengaturan sertifikasi standar internasional sudah ada di induknya, tapi kalau sertifikasinya berasal dari dalam negeri, saya pikir memang perlu diatur," tukas Tri Djoko Santoso. Ferry Wong juga khawatir jika sertifikasi profesi kemudian dianggap seperti mainan, mudah didapat dan kualitasnya tak dapat dipertanggungjawabkan. Ia melihat ada kecenderungan tumbuhnya institusi pendidikan yang sekadar mencari uang dengan memanfaatkan momentum dan bahkan membuat sertifikasi profesi yang tak jelas standarnya. Akan tetapi ia yakin, orang akan tahu dengan sendirinya, sertifikasi mana yang bagus dan layak dihargai. Ferry mengemukakan, sertifikasi profesi yang bagus adalah yang standarnya terus dipertahankan dan cenderung makin sulit didapat. Misalnya, gelar CFA, yang tahun ini tingkat kelulusannya di seluruh dunia hanya 32% dari total peserta, dan bahkan di Indonesia hanya 10%-15%. "Pokoknya kalau mau mencari sertifikasi, cari yang susah karena itu yang akan dihargai. Kalau sertifikasinya mudah didapat, lebih baik tidak usah," tandasnya. Beberapa Sertifikasi Profesi Standar Global: 1. Chartered Financial Analyst (CFA) 2. Certified Financial Planner (CFP) 3. Financial Risk Manager (FRM) 4. Chartered Financial Consultant (ChFC) 5. Project Management Professional (PMP) 6. Certified Information Systems Auditor (CISA) 7. Certified in Production and Inventory Management (CPIM) 8. Certified in Integrated Resource Management (CIRM) 9. Certified Professional Marketing (CPM) 10. Senior Certified Valuers (SCV) 11. Certified Public Accountant (CPA) 12. Certified Internal Auditor (CIA) 13. Certified Information Systems Security Professional (CISSP) 14. Certified Professional Environmental Auditor (CPEA) Profesi Termahal Masa Depan Tanpa Sertifikasi Meski sertifikasi profesi menjadi syarat utama agar pelakunya berharga mahal, tetapi itu bukan harga mati. Di luar profesi yang makin membutuhkan sertifikasi profesi yang ketat, muncul beberapa profesi yang sebenarnya tak membutuhkan sertifikasi khusus, tetapi juga langka sehingga harganya pun tergolong mahal. Penyebabnya mungkin karena profesi-profesi itu lebih mengandalkan bakat alam atau keahlian yang sulit didapat dari jalur pendidikan formal, sehingga tak semua orang bisa melakukannya. Misalnya, ahli pemeriksa ikan tuna segar. Setiap pagi tugasnya memeriksa tingkat kesegaran ikan hasil tangkapan agar layak ekspor. "Dia tugasnya hanya memegang dan membaui ikan tuna, seperti layaknya menguji biji kopi atau daun teh," ujar Irham Dilmy, managing partner perusahaan executive search Amrop Hever Indonesia. Menurut Irham, pemeriksa ikan tuna yang notabene ekspatriat itu per bulan bisa mendapatkan gaji US$20.000. Dia layak digaji tinggi karena pabrik pengalengan ikan tak mau mengambil risiko produknya ditolak di negara tujuan ekspor lantaran tak memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Ini bisa mencoreng reputasi, dan merugikan perusahaan. Sebab, per hari perusahaan itu mengekspor 100 ton lebih ikan tuna. Ekspor ikan tuna membutuhkan perlakuan khusus karena tak boleh dibekukan dan tidak boleh ditangkap dengan jaring agar pembuluh darahnya tidak pecah. Orang Jepang tak suka mengkonsumsi ikan tuna yang pembuluh darahnya sudah pecah karena rasanya menjadi tidak enak. "Jumlah pemeriksa ikan tuna ini cuma segelintir, mungkin tidak sampai 10 orang," papar Irham. Yang menarik, lanjut Irham, mereka itu tak perlu sekolah tinggi-tinggi agar harganya mahal. "Derajat kesulitan pekerjaan mereka sebenarnya relatif sama dengan pembau tembakau, tapi bayarannya jauh lebih mahal," ungkap Irham. Sertifikasi Profesi dan Profesi Termahal Masa Depan Kini kian banyak profesi baru bermunculan. Misalnya, profesi di bidang perencanaan keuangan, audit penerapan TI, audit manajemen mutu, manajemen lingkungan, manajemen risiko, manajemen proyek, pemasaran, manajemen pabrik, dan lain-lain. Profesi-profesi itu relatif belum banyak disentuh orang, dan makin membutuhkan sertifikasi karena profesi-profesi baru itu umumnya spesifik dan membutuhkan keahlian khusus. Di sinilah sertifikasi profesi, terutama yang berstandar global, berhubungan erat dengan prediksi profesi-profesi termahal di masa depan. Sertifikasi profesi berstandar global makin diperlukan untuk menegaskan bahwa pelakunya layak diakui, memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dengan kualitas internasional. Misalnya, bidang audit penerapan TI dibutuhkan pelaku yang bersertifikasi CISA. Mereka ini diprediksi bakal mahal harganya di masa depan. Pelaku profesi bersertifikasi standar global diprediksi "mahal" karena beberapa sebab. Pertama, belum banyak orang yang menekuninya. Kedua, tak semua orang bisa menjadi pelaku profesi ini bisa memiliki sertifikasi berstandar global. Ketiga, permintaannya yang kian tinggi belum diimbangi dengan banyaknya pelakunya. Ini otomatis membuat "harga" mereka naik. Keempat, mereka mahal karena sertifikasinya diakui secara global. Artinya, di mana pun ia bekerja, standar keahlian atau kompetensinya diakui, sehingga bisa bekerja di negara mana pun. Sertifikasi standar global menegaskan bahwa penyandangnya memang memiliki keahlian khusus, sehingga pantas mendapat bayaran tinggi. Kelima, keberadaan mereka juga ikut menaikkan nilai perusahaan (corporate value). Perusahaan yang mampu mempekerjakan karyawan bersertifikasi standar global tentu dianggap memiliki nilai lebih. Itu sebabnya perusahaan pun tak segan-segan membayar mahal gaji mereka. Gelarnya Langka, maka Mahal Pula Harganya Sebagian besar penyandang gelar sertifikasi profesi bukan cuma piawai dalam hal teori, tetapi juga harus menguasai betul seluk-beluk di lapangan, alias dunia praktis. Sudah begitu, gelarnya tidak abadi. Bisa dicabut sewaktu-waktu jika melanggar etik, tak mengikuti pendidikan lanjutan, atau tak melakukan pekerjaan sesuai profesinya. Namun, hasil yang diperoleh juga sepadan. Karier meningkat, posisi penting, dan gaji pun tinggi. Siapa saja mereka? Berikut sebagian profilnya. Ario S. Setiadi, Vice-President Marketing & Business Development Medika Plaza International Clinic Certified Professional Marketer (CPM) Asia Pacific Di Indonesia, hanya ada 12 orang penyandang gelar CPM (Certified Professional Marketer) Asia Pacific. Salah satunya adalah Ario S. Setiadi. CPM adalah sertifikasi profesi marketer yang dirilis oleh APMF (Asia Pacific Marketing Federation) dengan biaya keanggotaan sebesar US$40. Pria kelahiran Madiun tahun 1967 ini mendapatkannya pada 2002. "Saya diberi tahu ada gelar ini dari Hermawan Kartajaya (pakar pemasaran dan pendiri MarkPlus&Co.) tahun 1999. Saya lalu ingin mendapatkannya," papar lulusan jurusan Biologi UGM tahun 1986 ini. Untuk mendapatkan gelar CPM, Ario harus menempuh lima modul ujian, yaitu marketing research, marketing communication, marketing strategy, Asia Pacific Business, dan Asia Pacific Management. Syarat untuk ikut ujian, minimal bekerja di bidang pemasaran selama lima tahun. "Biasanya jarang yang sekali ujian langsung lulus. Umumnya dua kali baru lulus," paparnya. Ario pun waktu itu tidak lulus satu modul karena belum ada petunjuk pola jawabannya. "Kesulitan yang biasanya dihadapi peserta adalah menemukan pola jawaban," ungkap doktor lulusan Washington International University tahun 2002 ini. Hal itu disebabkan penilaian diberikan oleh para ahli yang berada di berbagai negara. Ujian dilakukan serentak di kawasan Asia Pasifik pada jam dan hari yang sama. Satu modul ujian memakan waktu tiga jam. Oleh karena itu, walau total biaya ujian hanya sekitar Rp3 juta, prosesnya bisa memakan waktu lima bulan (mulai dari pendaftaran hingga kelulusan). Ario mengakui tingkat kesulitan ujian terhitung tinggi. "Apalagi bagi mereka yang tak punya pengalaman praktek dalam marketing ," ujar dia. Sebabnya adalah ujian teorinya hanya sekitar 20%-30%, danselebihnya ujian praktek. *** Ahmad Syamil, Staf Pengajar Arkansas State University, AS Certified in Production and Inventory Management (CPIM) dan Certified in Integrated Resource Management (CIRM) Ahmad Syamil memperoleh gelar CIRM (Certified in Integrated Resource Management) sejak tujuh tahun lalu, dan CPIM (Certified in Production and Inventory Management) enam tahun lalu setelah mengikuti ujian dari APICS (The American Production and Inventory Control Society). Insinyur teknik mesin ITB ini juga memperoleh gelar MBA dari University of Houston, Texas, AS, dan gelar Ph.D. bidang manufacturing management and engineering dengan spesialisasi operations management dari University of Toledo, Ohio, AS. Syamil kini menjadi staf pengajar di College of Business Arkansas State University, Arkansas, AS, di bidang production/operations management, management science/operation research business statistics, dan management information systems. Menurut Syamil, sertifikasi CPIM dan CIRM sangat penting bagi para profesional yang bergelut dalam manajemen operasional perusahaan atau pabrik. "Sertifikasi ini juga membantu peluang kerja di berbagai negara, peningkatan karier, dan penghasilan bagi pemegang gelarnya," ujar Syamil, yang pernah bekerja di perusahaan konstruksi baja dan fabrikasi di Jakarta dan Serang. Di AS, lanjutnya, mereka yang bersertifikasi CPIM bergaji rata-rata 18%-23% lebih tinggi dari yang tidak bersertifikasi untuk bidang yang sama. Orang Indonesia sendiri belum banyak yang bergelar CPIM dan CIRM. Pria kelahiran Yogyakarta tahun 1965 ini mengaku beruntung bisa mendapatkan gelar CPIM dan CIRM. Selain karena biayanya yang mahal, juga karena ujiannya terhitung sulit. Uang ujian CPIM dan CIRM masing-masing sekitar US$600, sementara uang bukunya masing-masing sekitar US$400. Ujian CPIM dan CIRM masing-masing terdiri dari lima modul, dan per modul ujiannya berlangsung selama sehari. "Untung saya banyak bergumul dengan dunia operasional perusahaan sehingga pengalaman itu sangat membantu," ujar Syamil. Oleh karena kesibukan belajar dan bekerja di AS, ia baru menyelesaikan seluruh ujian CPIM dan CIRM masing-masing dalam waktu dua tahun. "Tes APICS sekarang sudah diselenggarakan di puluhan negara, termasuk Singapura, Malaysia, Australia, Thailand, Jerman, Belanda, dan Inggris," paparnya. Syamil mengungkapkan, gelar CPIM sewaktu-waktu bisa dicabut. Setelah mendapatkan gelar CPIM, ia harus mengumpulkan kredit dari menerima atau memberikan pelatihan, mengikuti atau memberikan seminar, dan lain-lain. Nilai kredit kegiatan itu harus dikirim ke APICS untuk mendapatkan resertifikasi setiap lima tahun. "Kalau untuk CIRM tidak ada program resertifikasi karena yang mendapatkannya masih sedikit," tuturnya. *** Tri Djoko Santoso, Wakil Presdir PT Panin Life Tbk. Chartered Financial Consultant (ChFC) Setahun lalu Tri Djoko Santoso berhasil memperoleh gelar Chartered Financial Consultant (ChFC) dari The American College, AS. Di dunia asuransi, ada dua program sertifikasi yang terkenal untuk profesi perencana keuangan, yaitu Certified Financial Planner (CFP) dan ChFC. Normalnya, pendidikan dan ujian sertifikasi ChFC ditempuh sekitar dua tahun setelah menyelesaikan delapan modul pelajaran dan lulus ujian setiap modulnya. Namun, waktu itu Tri Djoko bersama beberapa temannya beruntung bisa memperoleh sertifikasi ChFC melalui jalur akselerasi atau program percepatan. Pendidikan dan ujiannya bisa dilakukan di Indonesia dalam waktu enam bulan, setiap hari Sabtu dan Minggu, dan para pengajarnya dari luar negeri yang datang ke Indonesia. "Kebetulan karena kami angkatan pertama, sehingga dapat jalur cepat. Namun, untuk angkatan kedua dan selanjutnya harus mengikuti jalur normal," paparnya. Menurut sarjana matematika FMIPA UI tahun 1985 ini, ujiannya cukup sulit sehingga kalau yang lulus per modul sekitar 60%, itu terhitung sudah bagus. Sisanya jelas mesti mengulang. Waktu itu, tambahnya, ia harus mengeluarkan biaya Rp2,6 juta setiap modulnya. Jadi, untuk delapan modul, total biayanya Rp20,8 juta. "Sertifikasi juga bisa dicabut," tegasnya. Artinya, ada kode etik yang mesti dijaga. Apabila kemudian terbukti melakukan penyimpangan, seperti mengelabui nasabah, dan meski sudah diberi peringatan oleh Dewan Kode Etik ia masih terus melakukan penyimpangan, maka gelar ChFC-nya bisa langsung dicabut. "Jadi, bukan seperti gelar S1 dan S2 yang seumur hidup," ungkap Tri, yang sempat berkarier di IBM selama 13 tahun. Dengan gelarnya itu, Tri Djoko mengemukakan, ia mesti membayar biaya keanggotaan sebesar Rp200.000 per tahun dan setiap tahun harus mengikuti kelas pendidikan tambahan (continual education) untuk meningkatkan kualitas profesionalnya. "Sertifikasi ini banyak manfaatnya," ungkap Tri Djoko. Di antaranya, untuk mendapatkan pengakuan kompetensi dan kredibilitas yang bersifat internasional maupun dalam berhubungan dengan klien yang makin penting sekarang ini. "Di dunia keuangan, sertifikasi profesi seperti ChFC, makin diperhitungkan," ujarnya. Mantan vice-president Bank Bali selama tujuh tahun dan mantan wakil presdir di Prudential Life selama delapan tahun ini juga menegaskan sertifikasi profesi juga penting untuk mendapatkan pendidikan yang bersifat aplikatif, yang tidak didapat dalam pendidikan formal biasa. Tak heran kalau Tri Djoko kemudian selain menjadi pengajar di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara) dan Universitas Bina Nusantara selama dua tahun terakhir, juga masih menyempatkan diri mendirikan dan mengelola asosiasi FPAI (Financial Planning Association Indonesia) sejak dua tahun lalu, di sela-sela kesibukannya sebagai wakil presdir PT Panin Life Tbk. yang sudah dilakoninya selama empat tahun terakhir ini. *** Ferry Wong, Manajer Riset BNP Paribas Peregrine Chartered Financial Analyst (CFA) dan Financial Risk Manager (FRM) Pria kelahiran Desember 1973 ini termasuk orang Indonesia pertama yang mendapat gelar (professional designation) di bidang manajemen risiko, yaitu Financial Risk Manager (FRM). Gelar ini diperolehnya dari Global Association for Risk Management Professional pada 2002. "Pengetahuan manajemen risiko kian menjadi penting terutama karena bakal diterapkannya peraturan perbankan internasional, Basel II Accord," ujar top analyst versi Asia Money selama empat tahun terakhir dan versi majalah Institutional Investors selama dua tahun terakhir ini. Sebelumnya Ferry juga menyabet gelar prestisius lainnya di bidang keuangan, yaitu Chartered Financial Analyst (CFA). Gelar CFA dan FRM diakui di seluruh dunia. Sarjana lulusan University of Wisconsin-Madison, AS, dan peraih gelar MBA dari University of Pittsburgh, AS, ini memperoleh gelar CFA pada 2001 dari Association for Investment Management and Research (AIMR), AS. Ia tertarik untuk memperoleh gelar CFA setelah mulai bekerja di dunia pasar modal pada 1997. Sebelumnya ia memulai karier sebagai financial analyst di Grup Salim. Menurut Ferry, untuk memperoleh gelar CFA dan FRM sama sekali tidak mudah. Ia menaksir jumlah penyandang gelar CFA di Indonesia hanya 70-80 orang, dan bahkan penyandang gelar FRM lebih sedikit lagi, hanya 7-8 orang. Pendidikan dan ujiannya juga sulit dan lama. Dengan total biaya US$3.000-4.000, pendidikan dan ujian CFA berlangsung minimal tiga tahun. Sementara itu, pendidikan dan ujian FRM berlangsung selama setahun dengan total biaya US$450. "Bisa belajar sendiri atau bisa ikut pendidikan preparation," tuturnya. Penyandang gelar CFA dikenai biaya keanggotaan US$225 per tahun, sedangkan pemegang gelar FRM dikenai biaya keanggotaan US$100 per tahun. "Kebanyakan penyandang gelar FRM adalah pemegang gelar CFA juga," ungkap Ferry, yang kini aktif sebagai CFA Coordinator untuk CFA Preparation Courses di Universitas Bina Nusantara. *** Hendy Widjaja, Managing Consultant PT Insight Consulting Certified Information Systems Auditor (CISA) Memperoleh gelar CISA (Certified Information Systems Auditor) di bidang audit teknologi informasi (TI) bukanlah hal mudah, dan Hendy Widjaja merasa bangga memperolehnya. Managing consultant PT Insight Consulting itu memperoleh gelar CISA tahun 2000 dari Information Systems Audit and Control Association (ISACA), AS. "Ujiannya sulit sekali. Banyak teman saya yang sudah berkali-kali ikut ujian tetap saja gagal," papar penyandang Master of Science bidang sistem informasi Louisiana State University, AS, ini. Pendidikan dan ujian CISA hanya berlangsung singkat, sekitar 100-200 jam, dengan biaya US$465. Hendy mengungkapkan, dalam ujian CISA belum tentu hanya ada satu jawaban yang benar. Walau sebuah jawaban A diyakini benar, kalau sebagian besar peserta ujian di seluruh dunia mengatakan jawaban B yang benar, maka jawaban B itulah yang dibenarkan. "Itu jawaban para profesional karena sertifikasi CISA lebih diperuntukkan bagi para profesional, bukan yang baru lulus kuliah," ungkap Hendy, yang pernah berkarier di PricewaterhouseCoopers (PwC) sejak Desember 1994 hingga Oktober 2000. Menurut Hendy, sertifikasi CISA memiliki kode etik yang ketat. Penyandang gelar CISA dituntut selalu bersikap independen. Ia menaksir jumlah penyandang gelar CISA di Indonesia sekitar 100 orang. "Untuk implementasi TI dan audit TI di perusahaan-perusahaan, pemegang gelar CISA kini makin dibutuhkan," papar Hendy, yang kini sibuk menyiapkan ekspansi perusahaan konsultan TI-nya ke Manila, Filipina. *** Nicky Theng, Executive Vice-President PT Asuransi AIG Lippo Life Certified Financial Planner (CFP) Pria kelahiran Jakarta tahun 1963 ini masih merupakan satu-satunya orang Indonesia yang memiliki gelar Certified Financial Planner (CFP). Nicky memperolehnya tahun 1997 dari The Financial Planners Standards Council of Canada. Sebelumnya, Nicky sempat memiliki gelar Chartered Financial Planner dari The Canadian Institute of Financial Planning tahun 1993. Akan tetapi karena adanya standarisasi sertifikasi secara global, gelar Nicky pun berubah menjadi CFP. Sebelumnya masing-masing negara memiliki institusi sertifikasi profesi financial planner. Namun, setelah itu, mereka melakukan kerja sama standarisasi global dengan Certified Financial Planner Board of Standards, AS. Untuk memperoleh gelar CFP, Nicky menempuh pendidikan sekaligus ujian sertifikasi selama hampir tiga tahun dengan total biaya CAN$2.500 karena kebetulan waktu itu Nicky adalah residen Kanada. "Kalau untuk nonresiden, bisa lebih mahal biayanya," ungkap Nicky, yang sudah 15 tahun bergelut di bisnis asuransi jiwa dan dana pensiun. Kemudian setiap tahun ia juga mesti membayar sebesar CAN$235 untuk perpanjangan masa keanggotaan dan lisensinya. Lulusan Diploma Business Administration dari Wilfrid Laurier University, Kanada, ini mengemukakan bahwa gelar CFP-nya bisa sewaktu-waktu dicabut apabila dalam evaluasi tahunan dianggap tak memenuhi kualifikasi CFP lagi. Setiap tahun ia wajib mengisi semacam kuesioner yang diberikan oleh The Financial Planners Standards Council of Canada. Di situ ia wajib membeberkan kegiatannya dan sewaktu-waktu badan itu akan mengecek kebenarannya. "Saya tentu tak mau kehilangan gelar ini karena memang sulit memperolehnya dan harus mulai lagi dari awal jika ingin dapat lagi," papar Nicky yang juga aktif di Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan Indonesia ini. *** Thomas Sugiarto, Executive Service Director Century 21 Thomas Mitra Certified Property Analyst (CPA) Lulusan teknik elektro Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 1993 ini sudah menjadi broker properti sejak 1994. Pada 1987 ia berhasil mendirikan perusahaan broker properti pertamanya, PT Thomas Mitra Sukses (Century 21 Thomas Mitra) di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta, dan kemudian juga perusahaan broker properti keduanya, PT Mitra Sukses Sejati, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, pada 2001. Total ia membawahkan 40 broker properti di perusahaannya. Namun, pria kelahiran Riau, Oktober 1967, ini tak puas dengan keberhasilannya itu. Ia ingin belajar lebih dalam lagi mengenai seluk-beluk dunia properti karena ia merasa banyak hal yang belum diketahuinya, mulai dari perizinan, proses pembangunan, pemasaran, hingga pemeliharaan properti. Ia lalu mengikuti program pendidikan dan ujian Certified Property Analyst (CPA) di Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI). "Saya termasuk angkatan pertama," ujarnya. Dengan biaya pendidikan waktu itu Rp10 juta dan ditempuhnya hampir selama setahun, Thomas pun meraih gelar CPA. Jumlah lulusan CPA dari PSPI saat ini diperkirakan lebih dari 100 orang. Thomas juga mengikuti pelatihan broker properti Grup Century 21 dan Asosiasi Real Estate Broker Indonesia (AREBI). Mantan supervisor perusahaan kontraktor bangunan ini mengakui, setelah mengikuti pendidikan itu, ia bisa makin profesional dalam bekerja, ide-ide bisnis makin berkembang, dan kepercayaan orang terhadapnya juga makin meningkat. Kini ia juga tercatat sebagai presiden Motivators Toast Masters Club, sebuah klub motivasi dan public speaking, sejak tahun 2001. *** Rahayu S. Arifin, Managing Director PT C-Five Project Management Professional (PMP) Wanita kelahiran Surabaya tahun 1958 ini termasuk generasi awal orang Indonesia yang menyandang gelar Project Management Professional (PMP), bersama 25 orang Indonesia lainnya. Sertifikasi PMP dikenal luas dibutuhkan di lingkungan project management atau pekerjaan menangani berbagai jenis proyek, mulai dari awal sampai akhir. Sertifikasi PMP diperoleh dari Project Management Institute, AS, Eropa, dan Australia. Rahayu memperoleh gelar PMP pada 1996 ketika ujian dan sertifikasi PMP untuk pertama kalinya bisa dilakukan di Indonesia, dan bahkan di Asia Tenggara. Lulusan S1 jurusan teknik fisika ITB tahun 1980 ini sarat pengalaman mengerjakan berbagai proyek di perusahaan perangkat lunak, manufaktur, telekomunikasi, dan jasa konsultansi. Setelah lulus dari ITB, Rahayu mengawali karier dengan bekerja sebagai system analyst di PT Pan Systems, perusahaan distributor komputer ICL. Setahun bekerja di sana, pada 1981 ia pindah ke IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio), atau yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia (DI). Berawal sebagai system analyst, menjalani 15 tahun berkarier di IPTN hingga terakhir duduk sebagai vice-president proyek pesawat N-250. Di situ ia bertanggung jawab mengembangkan proyek aircraft turbo propeller N-250 mulai dari awal hingga uji terbang. "Saat itu kami tinggal berusaha memperoleh sertifikasi produknya," tutur dia. Saat menggarap proyek senilai US$650 juta itulah Rahayu memiliki kesempatan mengambil gelar PMP. Pada 1996 Rahayu berpindah karier sebagai direktur program di perusahaan telekomunikasi, Ariawest. Ia berkarier di sana selama empat tahun dan menangani berbagai proyek telekomunikasi. Salah satunya adalah menangani proyek infrastruktur telepon tetap senilai US$500 juta. Empat tahun di Ariawest, pada tahun 2000, Rahayu yang juga meraih gelar S2 dari ITB ini kemudian melanjutkan kariernya di PT Accenture Indonesia sebagai senior manager yang menangani berbagai proyek. Dua tahun di Accenture, Rahayu memutuskan untuk mendirikan perusahaan sendiri bernama PT C-Five, yang bergerak di bidang konsultansi manajemen dan TI pada tahun 2003. Di situ ia duduk sebagai managing director. Rahayu juga adalah salah satu pendiri organisasi Project Management Institute (PMI) Indonesia Chapter. Di situ ia sekarang duduk sebagai penasihat organisasi. Menurut dia, ketika sertifikasi profesi PMP mulai berkembang di Indonesia pada 1996, peminatnya kebanyakan masih karyawan perusahaan multinasional di industri migas. Namun kini, peminat sertifikasi PMP di Indonesia pun bertambah. Tahun ini diperkirakan jumlah pemegang gelar PMP di Indonesia ada 300 orang lebih dan didominasi oleh manajer level menengah di perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di bidang migas, telekomunikasi, dan TI. Biaya pendidikan dan ujian sertifikasinya tercatat sebesar US$550 untuk non-anggota asosiasi, dan US$450 untuk anggota asosiasi. Pendidikan dan ujiannya bisa dilakukan secara online melalui internet. Walau hanya berpendidikan formal SMU, asalkan mempunyai jam terbang tinggi di lingkungan project management, juga boleh mendaftar. Walau begitu, tetap tidak gampang meraih gelar PMP. "Ujian teorinya mungkin mudah bagi yang baru lulus sarjana, tetapi ujian prakteknya betul-betul menuntut pengalaman," jelas Rahayu. *** Doli D. Siregar, Chairman PT Satyatama Graha Tara Senior Certified Valuers (SCV) Lulusan jurusan teknik sipil Universitas Indonesia ini memperoleh gelar Senior Certified Valuers (SCV) pada tahun 1987. Pemegang gelar SCV di Indonesia ditaksir hanya 10 orang. Doli sebelumnya juga berhasil lulus ujian profesi penilai dari asosiasi MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia) dan memperoleh izin praktek sebagai penilai dari Departemen Keuangan. Saat masih menjadi mahasiswa di UI pada 1978, Doli memang sudah tertarik menjadi seorang penilai. Ia belajar secara otodidak karena saat itu belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang secara khusus membuka jurusan penilaian. Untuk memperdalam ilmunya, Doli melanjutkan pendidikan S-2 di Universiti Teknologi Malaysia dan lulus tahun 1995. Berbekal tesis dan dukungan dari mitra asingnya di PT Satyatama Graha Tara, perusahaan konsultan properti dan jasa penilai yang didirikannya pada 1985, Doli dipromosikan menjadi Fellow di Royal Institution of Chartered Surveyor (RICS), Inggris. Ia satu-satunya orang Indonesia yang berstatus Fellow. Untuk menjadi Fellow butuh pendidikan dan ujian selama 8-10 tahun. Dengan gelar ini, tarif konsultansinya per jam mencapai US$200. FADJAR ADRIANTO, HENDARU, DAN J.B. SOESETIYO Source : wartaekonomi.com _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________