Assalaamu'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu
  
Ditaruihan lo saketek lai. Dikirim dari Hotmail 2x
malantun ntah dek a kolah.
  
Wassalamu'alaikum
  
Lembang Alam


11. Di Jalan Ke Pagar Ruyung

Sudah hampir jam dua siang waktu Pohan dan Aswin
meninggalkan Harau. Rupanya makin sore makin banyak
orang yang datang ke Lembah Harau. Mungkin karena di
sore hari lebih menyenangkan memanjat tebing, sehingga
lebih banyak yang melakukannya. Di perjalanan kembali
ini kendaraan mereka berpapasan  dengan banyak sekali
rombongan yang baru datang. Memang atraksi yang paling
menarik ditonton di sini adalah memanjat tebing itu.
Pohan harus mengendarai mobil perlahan-lahan karena
jalan relatif sempit tapi lumayan ramai, baik oleh
kendaraan bermotor maupun sepeda.

Mereka lalui kembali simpang Sari Lamak, berbelok ke
kanan menuju Paya Kumbuh. Di jalan raya ini kendaraan
bisa lebih dipacu meski tetap harus berhati-hati
karena di sini mulai banyak bendi. Bendi rupanya hanya
boleh beroperasi sampai kampung Sari Lamak dan tidak
boleh ke Harau. Tentunya peraturan ini dikarenakan
jalan yang agak sempit tadi.

’Kamu sudah lapar Win?’ tanya Pohan.

’Belum. Kenapa rupanya? Apakah ada makanan yang
menarik pula di Paya Kumbuh?’ Aswin balik bertanya.

’Tempat makan yang enak pasti ada dan banyak  di sini.
Sementara tempat yang tadi aku janjikan agak sedikit
khas. Tempatnya di pinggir sawah. Hanya masih cukup
jauh dari sini. Itu sebabnya aku bertanya kalau kamu
sudah lapar sekarang,’ jawab Pohan pula.

’Berapa jam lagi kita sampai di sana?’

’Kalau kita jalan terus kurang dari satu jam. Tapi
kita kan belum shalat,’ jawab Pohan.

’Kalau begitu nggak apa-apa, kita makan di pinggir
sawah itu saja. Ternyata tidak keliru kita makan dua
mangkok amping dadih di Bukit Tinggi tadi,’ kata
Aswin.

’Baik, kita shalat di mesjid Raya Paya Kumbuh.’

Dalam beberapa menit mereka sampai di mesjid Raya,
mesjid yang terletak di tengah kota. Mereka shalat
zuhur dan asar dijamak disini.  Aswin tertarik melihat
banyak sekali anak-anak berbaju seragam kuning di
pekarangan mesjid. Anak laki-laki berpeci yang juga
berwarna kuning sementara anak perempuan memakai
jilbab putih. Usia mereka mungkin sekitar enam tujuh
tahun.  Rupanya ada sekolah di samping mesjid. Tentu
ini sekolah belajar membaca al Quran, begitu dalam
fikiran Aswin. 

’Mereka ini murid sekolah al Quran, bukan?’ tanya
Aswin ketika mereka sedang memasang sepatu di tangga
mesjid.

’Ya. Mereka murid Taman Pendidikan Al Quran disingkat
TPA, ‘ jawab Pohan.

’Masih kecil-kecil,’ komentar Aswin pula.

’Memang, mungkin berumur sekitar tujuh tahun, bahkan
ada yang lebih kecil lagi. Biasanya sudah murid kelas
satu sekolah dasar. Dalam waktu setahun mereka sudah
pandai membaca al Quran dan sudah tamat membaca al
Quran secara bergiliran. Pada saat itu nanti mereka
akan dipestakan dalam perayaan Khatam Al Quran. Pesta
seperti ini dilakukan saat murid sekolah libur panjang
di bulan Juli. Dan pada saat itu Sumatera Barat di
ramaikan dengan pesta yang sama oleh setiap TPA,’
Pohan menjelaskan.

’Pesta yang ada arak-arakannya itu?’ tanya Aswin lagi.

’Betul. Mereka berarak-arak diiringi oleh
tabuh-tabuhan dan rebana sepanjang jalan. Pesta Khatam
Al Quran menambah ramai orang datang kesini untuk
melihat perayaan yang unik itu,’ jawab Pohan.

’Ya, pasti menarik pula untuk ditonton. Apakah dalam
perayaan itu mereka juga berlomba membaca al Quran?’

‘Benar. Dan dinilai. Yang terbaik mendapat hadiah dari
masyarakat melalui panitia perayaan.’

‘Apakah mengikuti sekolah membaca al Quran itu
diwajibkan?’

‘Ya, diwajibkan oleh pemerintah daerah. Anak orang
Minang harus pandai mengaji.’

’Tapi kenapa sebagian anak-anak ini bermain diluar
seperti itu?’

’Mungkin mereka bergiliran. Yang sedang bermain
mungkin masih menunggu,’ jawab Pohan.

Tidak lupa Aswin memotret anak-anak yang sedang
bermain-main itu sebelum mereka melanjutkan
perjalanan.

Kendaraan mereka sekarang menuju ke Piladang di jalan
arah ke Bukit Tinggi. Pohan menunjuk ke sebuah bukit
kapur  di sebelah kanan jalan.

’Di bukit ini ada gua kapur. Dalam bahasa Minang
disebut ngalau.  Ngalau yang ini kurang begitu indah,
tapi terletak di pinggir jalan. Banyak juga orang
berkunjung ke sini. Gua atau ngalau yang lebih indah
terdapat di Kamang, sebuah kampung di sebelah utara
Bukit Tinggi.’

’Tentu dengan stalagtit dan stalagmit di dalamnya. Dan
mungkin juga ada sungai di dasar gua,’ Aswin
menambahkan.

’Benar. Rupanya kamu sudah pernah melihat yang seperti
itu,’ Pohan menebak.

’Pernah, di Mexico,’ jawab Aswin.

’Kalau begitu ngalau Kamang tidak perlu kita
kunjungi,’ komentar Pohan pula.

’Kalau nanti ada waktu kenapa tidak.  Seberapa jauh
dari Bukit Tinggi?’ tanya Aswin pula.

’Hanya sekitar sepuluh kilometer.’

Mereka sampai di Piladang dan berbelok ke kiri. Di
Piladang terlihat banyak sekali kerupuk merah mentah
sedang dijemur di tatakan bambu.  

’Apa yang berwarna merah sedang dijemur itu?’ 

’Kerupuk merah. Kalau sudah digoreng dimasukkan ke
dalam soto atau gado-gado. Soto Padang dan gado-gado
Padang pasti pakai kerupuk merah,’ jawab Pohan. 

‘Pakai pewarna apa  membuatnya jadi merah begitu?’

‘Aku kurang tahu.’

‘Pernah aku baca ada pedagang makanan di Jakarta
memasukkan zat pewarna yang tidak semestinya untuk
mewarnai makanan. Kalau bahan itu berbahaya untuk
kesehatan tentu perbuatan kriminal namanya,’ kata
Aswin.

‘Ya aku juga pernah membacanya. Tapi yang untuk
kerupuk merah mudah-mudahan bukan dari bahan yang
berbahaya. Seandainya mereka menggunakan bahan
sembarangan dan berbahaya pasti sudah bangkrut.
Masyarakat disini kritis. Karena usaha pembuatan
kerupuk merah ini masih tetap exist sejak berpuluh
tahun, harusnya tidak ada apa yang berbahaya di
dalamnya,’ jawab Pohan.

Sambil ngobrol tak terasa mereka telah melalui Kampung
Tabek Patah. Pohan menjelaskan bahwa ada tempat
melihat pemandangan ke arah dataran rendah dari sebuah
bukit yang dikenal dengan nama Panorama Tabek Patah
disitu. Kata Pohan pula, tidak usah berhenti di tempat
ini sekarang tapi segera pergi makan siang dulu saja. 
Aswin setuju. Beberapa menit kemudian mereka sampai di
Sungai Tarok, sebuah kampung yang hanya beberapa
kilometer sebelum Batu Sangkar. Sedikit di luar
kampung Sungai Tarok, di pinggir sawah di sebelah kiri
jalan terdapat sebuah tempat makan. Nama kedai makan
ini Pondok Flora, sebuah nama yang bukan berbau
Minang, tapi cukup terkenal.  Banyak pelancong mampir
untuk makan siang disini, biasanya dalam perjalanan
menuju Batu Sangkar dan Pagar Ruyung.  Di tempat ini
orang bisa makan sambil duduk bersila di atas palanta
yang disediakan. Kalau duduk agak di sebelah pinggir
bisa sambil melihat ke arah sawah. Lebih menarik lagi,
rumah makan ini juga menyediakan piring besar untuk
makan bersama. Perantau-perantau Minang yang sudah
berumur rupanya banyak yang bernostalgia dengan makan
berjamba  atau makan bersama itu. Biasanya bila mereka
datang dalam rombongan keluarga.  Mereka duduk bersila
melingkar, mengelilingi piring besar dan makan dari
piring ini bersama-sama empat sampai lima orang.

Tidak terlalu banyak pengunjung ketika mereka masuk ke
rumah makan itu. Mungkin karena sudah terlampaui jam
makan siang. Sudah hampir jam setengah empat sore.
Tapi bagi Aswin dan Pohan ini adalah jam kelaparan.

Aswin segera menangkap pemandangan makan berjamba
begitu masuk ke ruangan dalam rumah makan itu. Dia
hanya tersenyum sambil manggut-manggut.

’Kenapa tersenyum?’ tanya Pohan, yang ikut-ikutan
tersenyum.

’Itu makan berjamba namanya, bukan? Tapi bukankah
biasanya orang makan seperti itu ketika berhelat
adat?’ tanya Aswin.

’Ya, itulah kekhasan lain di tempat ini. Pemilik rumah
makan ini membuat terobosan dengan memperkenalkannya
untuk umum. Dan ternyata disenangi cukup banyak orang.
Tamu-tamu dari Malaysia juga senang makan bersama
seperti itu di sini,’ Pohan menjelaskan.

’Sebuah ide original yang cemerlang untuk menyenangkan
tamu. Tapi kita tidak mungkin makan berjamba berdua..
he..he..’

Mereka memilih tempat di sebelah pinggir dengan
pemandangan lepas ke arah sawah. Makan  sambil
berbincang-bincang santai. Cukup enak makan di sini.
Lauknya persis seperti di restoran umumnya, tapi
suasananya sangat berbeda.. 

’Masih jauhkah Pagar Ruyung dari sini?’ tanya Aswin.

’Tidak jauh. Batu sangkar sekitar lima kilometer dari
sini  dan Pagar Ruyung mungkin sekitar sepuluh kilo.’

’Jadi melalui Batu Sangkar?’

’Ya.’

’Dan kita langsung ke sana sesudah ini?’

’Ya. Dan kita usahakan berada di Tabek Patah  sebelum
matahari terbenam,’ jawab Pohan.

’Tidak ada yang akan kita tonton di Batu Sangkar  atau
di Pagar Ruyung malam ini?’ 

’Lebih baik kita melihat tari-tarian Minang di gedung
kesenian di Bukit Tinggi nanti malam,’ usul Pohan.

’Baik kalau begitu. Kita berangkat sekarang ke Pagar
Ruyung?’

Dan mereka berangkat lagi.


                        *****




St. Lembang Alam




 
____________________________________________________________________________________
Any questions? Get answers on any topic at www.Answers.yahoo.com.  Try it now.

Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
-----------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Email dengan attachment, tidak dianjurkan.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >500KB.
2. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke