Ass,wr,wb.

Dunsanak, topik nan ambo kamukokan sangaik cocok untuak kito di palanta RN pado 
saat kini ko, kito banyak tersakiti dan disakiti dek urang lain. Untuak itu 
mari kito maafkan sajo !

Iko banda, banda balubang
Balubang ditangah-tangahnyo
Iko kaba, kaba urang  
Ambo hanyo manaruikan sajo

Sairiang balam jo barabah, 

Hinggok manyosok bungo padi, 

Sairiang salam jo sambah, 

Sambah lalu panitahan kumbali.


Wassalam,
HM Dt.MB (48+)

SUDAHLAH, MAAFKAN SAJA!

Bayangkan Anda sedang menghadiri pesta yang amat meriah. Semua orang tampil 
dengan pakaian terbaik. Makanan yang dihidangkanpun tampak lezat dan mengundang 
selera. Saat Anda antre untuk mengambil makanan, tiba-tiba seseorang yang 
sangat Anda percaya berbisik di telinga Anda, ''Hati-hati, banyak makanan tak 
halal disini, bahkan ada beberapa yang beracun!''

Saya berani menjamin Anda akan mengurungkan niat mengambil makanan. Boleh jadi 
Anda pun langsung pulang ke rumah. Anda benar, hanya orang bodohlah yang mau 
menyantap makanan tersebut. Kita tak mau makan sembarangan. Kita sangat peduli 
pada kesehatan kita.

Anehnya, kita sering -- bahkan dengan sengaja -- memasukkan ''makanan-makanan 
beracun'' ke dalam pikiran kita. Kita tak sadar bahwa inilah sumber penderitaan 
kita. Salah satu makanan yang paling berbahaya tersebut bernama: ketidakmauan 
kita untuk memaafkan orang lain!

Ketidakmauan memaafkan adalah penyakit berbahaya yang menggerogoti kebahagiaan 
kita. Kita sering menyimpan amarah. Kita marah karena dunia berjalan tak sesuai 
dengan kemauan kita. Kita marah karena pasangan, anak, orang tua, atasan, 
bawahan, dan rekan kerja, tak melakukan apa yang kita inginkan. Lebih parah 
lagi, kita memendam kemarahan ini berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.

Memang banyak sekali kejadian yang memancing emosi kita. Pengendara motor yang 
memaki kita, mobil yang menyalip dan hampir membuat kita celaka, orang yang 
membobol ATM kita, politisi yang hanya memperjuangkan perutnya sendiri, adik 
yang sering minta bantuan tapi tak pernah mengucapkan terima kasih, pembantu 
yang membohongi kita, maupun bos yang pelitnya luar biasa. Kita mungkin 
berpikir bahwa orang-orang tak tahu diri ini sudah sepantasnya kita benci. Tapi 
kita lupa bahwa kebencian yang kita simpan hanyalah merugikan kita sendiri.

Penelitian menunjukkan ketidakrelaan memaafkan orang lain memiliki dampak hebat 
terhadap tubuh kita: menciptakan ketegangan, mempengaruhi sirkulasi darah dan 
sistem kekebalan, meningkatkan tekanan jantung, otak dan setiap organ dalam 
tubuh kita. Kemarahan yang terpendam mengakibatkan berbagai penyakit seperti 
pusing, sakit punggung, leher, dan perut, depresi, kurang energi, cemas, tak 
bisa tidur, ketakutan, dan tak bahagia.

Baru-baru ini saya sempat berinteraksi dengan sekelompok anak muda yang 
mengeluhkan perasaan tertekan dan tak bahagia. Ternyata, kebanyakan dari mereka 
memendam berbagai kemarahan, baik kepada orang tua maupun orang-orang di 
sekitar mereka. Salah seorang mengaku telah 10 tahun memendam kebencian kepada 
wanita yang menjadi istri kedua ayahnya. Si ayah yang dijuluki orang paling 
soleh di kantornya tanpa diduga mempunyai ''simpanan.'' Wanita ini kemudian 
dinikahinya, dan akhirnya meninggal karena stroke lima tahun lalu. Tapi, 
kemarahan dan kebencian si anak hingga kini belum juga mereda. 

Musuh kita sebenarnya bukanlah orang yang membenci kita tetapi orang yang kita 
benci. Ada cerita mengenai seorang lelaki bekas tapol di zaman Orde Baru yang 
mengunjungi kawannya sesama eks tapol. Sambil mengobrol si kawan bertanya, 
''Apakah kamu sudah melupakan rezim Orde Baru?'' Jawabnya, ''Ya, sudah.'' Si 
kawan kemudian berkata, ''Saya belum. Saya masih sangat membenci mereka.'' 
Lelaki itu tertawa kecil dan berkata, ''Kalau begitu, mereka masih memenjara 
dirimu.''

Untuk mencapai kebahagiaan, kita perlu mengubah cara pandang kita. Sumber 
kebahagiaan ada dalam diri kita sendiri, bukan di luar. Karena itu jangan 
terlalu memusingkan perilaku orang lain. Sebaliknya, belajarlah memaafkan. 
Kunci memaafkan adalah memahami ketidaktahuan. Banyak orang yang melakukan 
kesalahan karena ketidaktahuan. Kalaupun mereka sengaja melakukannya, itupun 
karena mereka sebenarnya tak tahu. Mereka tak tahu bahwa kejahatan bukanlah 
untuk orang lain tetapi untuk mereka sendiri. 

Orang yang suka memaki dan bersikap kasar sebenarnya tak menyadari bahwa mereka 
sedang menzalimi dirinya sendiri. Suatu ketika ia akan kena batunya. Inilah 
konsekuensi logis dari hukum alam. 

Mempraktikkan konsep memaafkan akan membuat hidup lebih ringan. Saya ingat, 
saat sedang duduk menunggu anak saya sekolah pada minggu lalu, seorang ibu yang 
lewat menubrukkan tasnya yang cukup berat ke kepala saya, tanpa permisi apalagi 
minta maaf. Orang-orang yang melihat kejadian itu menggeleng-gelengkan kepala 
sambil mencela kecerobohannya. Saya mencoba mempraktikkan konsep ini, dan 
langsung memaafkannya. Ibu itu kelihatannya sedang kalut. Tak mungkin ia 
sengaja menabrak saya begitu saja.

Untuk mencapai kebahagiaan, berikanlah maaf kepada orang lain. Hentikan 
kebiasaan menyalahkan orang lain. Ingatlah, kesempurnaan manusia justru 
terletak pada ketidaksempurnaannya.

_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke