Untuk merenungkan Penderitaan Masyarakat Aceh yang penuh Siraman Darah dan Air Mata sepanjang masa, barangkali ada baiknya ide penggunaan "Bahasa Kemanusiaan" ini dapat diperhatikan, bukan saja bagi kita sebagai tetangga dekat masyarakat, tetapi mudah-mudahan renungan ini sampai menjilat hati nurani Penguasa Baru di Pusat.

Salam,
-- Mak Ngah

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/20/Politikhukum/1388314.htm

Kompas Sabtu, 20 November 2004

Bicara Bahasa Kemanusiaan di Aceh

KETIKA takbir menggema pada Idul Fitri beberapa hari lalu, rasanya tak ada lagi dendam dan amarah yang harus disimpan. Setiap manusia Muslim telah kembali fitrah, suci dari segala noda dan dosa. Ramadhan telah menyadarkan mereka betapa sesungguhnya dendam dan amarah tidak layak disandang oleh manusia beriman.

TETAPI di sisi lain, pada hari itu pula kontak tembak masih terus terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dan, korban pun terus berjatuhan. Hingga Rabu (17/11) pun, jatuhnya korban jiwa masih berlanjut. Setidaknya lima orang tewas dan beberapa senjata dapat dirampas oleh pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Juru bicara Komando Operasi Pemulihan Keamanan di sana, Ary Mulya Asnawi, menyebutkan, korban yang tewas tersebut adalah anggota kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Lalu, apakah ini bentuk dendam dan amarah manusia terhadap manusia yang lain? Inilah yang kemudian harus diperbincangkan manakala alasan kepentingan keselamatan dan kedaulatan negara harus didudukkan pada posisi di atas. Operasi keamanan-kalaupun tidak mau disebutkan perang terhadap anak bangsa sendiri- yang dilakukan di Aceh adalah legal. TNI bergerak dengan payung yang sah.

Fakta di lapangan menunjukkan adanya dua kelompok yang menggunakan senjata untuk masing-masing kepentingan dan tujuan yang diyakininya benar. Yang satu ingin mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara yang lainnya ingin memisahkan diri.

Kondisi ini telah berlangsung lama, sejak GAM dideklarasikan 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro di pedalaman Kabupaten Pidie. Pemerintah kemudian melakukan berbagai operasi keamanan yang tentunya memakan korban jiwa. Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) hingga tahun 1998 selama hampir sepuluh tahun telah menyisakan banyak cerita duka. Lalu, operasi-operasi setelah itu hingga sekarang dalam status darurat sipil.

Apa kemudian yang ingin dikemukakan adalah belum tuntasnya masalah Aceh hingga sekarang. Lelah, mungkin kata yang sangat lemah digunakan untuk menyebutkan bagaimana kondisi masyarakat Aceh hidup dalam keadaan konflik berkepanjangan.

BILA dirunut ke belakang, sejarah Aceh memang penuh dengan konflik. Belanda yang memaklumkan perang terhadap Kerajaan Aceh pada tahun 1873 hingga pecahnya perang berkepanjangan, lalu pecahnya konflik antara ulama dan hulubalang yang katanya pro-Belanda, kemudian konflik DI/TII yang dipimpin Teungku Daud Beureueh sejak tahun 1953.

Menarik diperhatikan justru bagaimana peristiwa DI/TII pada usia Indonesia masih muda bisa selesai dengan lahirnya Ikrar Lamteh dan turun gunungnya Teungku Daud Beureueh. Lihatlah bagaimana ketegangan yang muncul ketika dialog orang-orang DI/TII dengan pihak pemerintah.

"Kalau bapak-bapak tidak sanggup menyelesaikan masalah ini, mari kita bakar saja Aceh ini supaya kita puas dan agar anak cucu kita di belakang hari nanti akan menuduh kita sebagai pengkhianat dan orang yang tak bertanggung jawab". Kalimat itu meluncur dari tokoh masyarakat, Ayah Pawang Leman, 5 April 1957. Itu diucapkan di depan Menteri Pertahanan DI/TII Hasan Saleh dan sejumlah tokoh gerakan itu. Hadir pula sejumlah petinggi militer Indonesia seperti Sjamaun Gaharu. Pertemuan itu sendiri terjadi di rumah Ayah Pawang Leman di Lamteh.

Akhirnya sebuah ikrar pun lahir, yang kemudian diberi nama "Ikrar Lamteh". Isinya: Kami putera-putera Atjeh, di pihak manapun berada akan berdjuang sungguh-sungguh untuk mendjundjung tinggi kehormatan agama Islam, mendjundjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakjat Atjeh.

Tindak lanjut dari ikrar itu adalah mengumumkan penghentian permusuhan. Kondisi di Aceh berubah drastis. Orang-orang DI/TII turun ke kota bergaul dengan masyarakat dan pasukan TNI. Dalam proses pelaksanaan sekitar dua tahun hingga datang Wakil Perdana Menteri Mr Hardi ke Aceh, kondisi Aceh bertambah baik, meskipun pada 15 Maret 1959 terjadi sesuatu di luar dugaan.

Kolonel (DI/TII) Hasan Saleh-yang menjabat Menteri Urusan Perang waktu itu-mengambil alih pimpinan militer Negara Bagian Aceh dari tangan Wali Negara Daud Beureueh. Hasan Saleh mengumumkan alih kekuasaan itu secara terbuka dan membentuk dewan revolusi dengan tugas pokok menyelesaikan pemberontakan Aceh.

Misi Hardi yang datang ke Aceh 23 Mei 1959 dipertemukan dengan Dewan Revolusi DI/TII tersebut. Pertemuan itu dihadiri Gubernur Aceh A Hasjmy. Sjamaun sebagai Penguasa Perang sedang tidak berada di Banda Aceh. Ia diwakili Kepala Staf Teuku Hamzah. Pertemuan itu membuahkan hasil yang baik, antara lain anggota DI/TII yang memenuhi persyaratan akan diterima menjadi anggota TNI. Tanggal 26 Mei 1959 seluruh upaya mengakhiri pemberontakan DI/TII dianggap berakhir. Berdasarkan keputusan Perdana Menteri RI No 1/Missi-1959, Aceh diresmikan menjadi Daerah Istimewa.

Teungku M Daud Beureueh belum turun dari gunung. Padahal, Ikrar Lamteh dan berbagai proses selanjutnya dilakukan atas restunya. Sjamaun Gaharu yang masih berpangkat kolonel saat itu lalu pergi menemui Abu (panggilan akrab Teungku Muhammad Daud Beureueh) di sebuah tempat yang disebutnya mardhatillah (bahasa Arab, artinya tempat yang diridai Allah). Dia datang ke sana bersama Gubernur A Hasjmy dan Kepala Polisi Muhammad Insja. Abu menerima mereka dengan baik, sambil berpesan agar membangun dan menjaga Aceh yang telah "remuk". Tahun 1962 Daud Beureueh baru turun ke pangkuan ibu pertiwi (Artikel "Kegalauan Syamaun Gaharu di Rumahnya", Kompas 29 Mei 1999).

YANG ingin dikemukakan di sini adalah betapa sebuah dialog sebenarnya dibutuhkan untuk penyelesaian masalah. Dialog GAM dan pemerintah 18 Mei 2003 di Tokyo, Jepang, yang kemudian berakhir dengan pengumuman pemerintah tentang pemberlakuan darurat militer di seluruh Aceh pada keesokan harinya adalah sebuah bentuk baru penyelesaian masalah Aceh saat itu. Padahal, sebelumnya telah dibangun rasa saling percaya antara kedua pihak. Kontak tembak dan jatuhnya korban pun sudah jarang terjadi.

Manakala kemudian dilakukan pemberlakuan darurat militer, kondisi menjadi panas lagi. Kontak senjata terjadi di mana-mana. Korban jiwa berjatuhan. Ratusan rumah dan sekolah dibakar. Para juru runding GAM pun ditangkap di Banda Aceh. Setahun darurat militer berlangsung, kemudian dilanjutkan enam bulan darurat sipil, lalu sekarang juga akan dilanjutkan dengan status yang sama.

Apa yang terjadi adalah terus berjatuhannya korban jiwa. Operasi yang dilakukan di Aceh dengan sebutan operasi terpadu (tidak hanya operasi keamanan, tetapi kemanusiaan, ekonomi, dan lain-lain) bila ingin dilihat secara kasatmata memang telah berhasil. Laporan-laporan yang menyebutkan kondusifnya kondisi keamanan dan hidupnya lagi perekonomian rakyat adalah sesuatu yang menggembirakan. Namun, jatuhnya korban jiwa yang tak sedikit juga membuat laporan-laporan tersebut menjadi "berwarna".

Efek dari "warna" yang justru mengkhawatirkan adalah dendam dan amarah itu sendiri yang muncul dari sanak dan keluarga para korban meskipun itu semua tak diharapkan.

Lalu, apakah Aceh tidak lebih baik dibakar saja seperti ucapan emosional yang muncul saat dialog antara orang-orang DI/TII dan orang-orang pemerintah tahun 1957?

Dialog ternyata bisa mengungkapkan bermacam kegalauan, kegelisahan, dan beribu argumen masing-masing. Maka, manakala Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) NAD Dr Muslim Ibrahim mengatakan dialog adalah pilihan tepat untuk menyelesaikan masalah, setidaknya inilah yang mungkin patut direnungkan. Apalagi kemudian bila dikaitkan dengan ajaran agama yang meminta agar "bila ada dua kelompok di antara kamu yang bertikai, maka bermusyawarahlah untuk mencapai kata sepakat", maka sudah sangat layak pula adanya pemikiran ke arah dialog tersebut dibangun kembali.

Lalu, bukankah kondisi keamanan Aceh sudah makin kondusif dengan pemberlakuan status darurat? Bila ini kemudian ditanyakan kepada ulama seperti Muslim Ibrahim, maka jawaban yang muncul adalah "yang jelas saya belum berani pulang ke kampung kelahiran saya sekarang".

Bagaimanapun ke depan tentu diharapkan penyelesaian masalah akan terlaksana dengan baik dan bermartabat. Ke depan pula diharapkan akan ada catatan bahwa bangsa ini dapat memecahkan persoalan ancaman disintegrasi melalui dialog yang bermartabat. Bukan melalui senjata dan pertumpahan darah yang mungkin melahirkan dampak-dampak yang tak diinginkan. Bahasa kemanusiaan melalui dialog mungkin akan lebih mulia.

Pemerintahan Yudhoyono tentu tidak mengabaikan hal ini. Semoga. (Nadjmuddin Oemar)


---
Outgoing mail is certified Virus Free.
Checked by AVG anti-virus system (http://www.grisoft.com).
Version: 6.0.797 / Virus Database: 541 - Release Date: 11/15/2004
____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke