(22/06/2005) Menteri Keuangan Jusuf Anwar menegaskan, pemerintah tidak terlambat mencairkan dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk Pertamina. Menurut dia, kelangkaan BBM yang selalu dijadikan tameng oleh Pertamina lebih diakibatkan oleh kesalahan manajemen dalam mengelola cash flow maupun pengadaan BBM.
"Tidak ada keterlambatan. Kemarin sudah dicairkan Rp 4,02 triliun. Itu kan belum habis," ujar Jusuf di sela rapat kerja dengan Panitia Anggaran DPR di Gedung MPR/DPR Jakarta, Selasa (21/6) malam. Seperti diberitakan sebelumnya, Dirut Pertamina Widya Purnama mengatakan, stok BBM nasional saat ini kritis karena hanya cukup untuk 17,5 hari ke depan, normalnya 20,5 hari. Stok BBM jenis premium paling kritis hanya cukup untuk 12,7 hari ke depan dan solar untuk 14,5 hari. Sementara itu, stok BBM minyak tanah cukup aman untuk 25,3 hari. Menurut Widya, kondisi ini dipicu oleh keterlambatan pemerintah mencairkan dana subsidi pembelian BBM sebesar Rp 4,020 triliun. "Dana tersebut baru turun pada tanggal 13 Juni jam tiga sore," jelas Widya saat rapat dengar pendapat yang mengundang Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Senin (20/6). Menku membantah hal itu. Menurut Jusuf, tindakan Pertamina yang sedikit-sedikit mengancam masalah kelangkaan BBM menunjukkan manajemen Pertamina tidak profesional. Selama ini, lanjut dia, koordinasi antara Departemen Keuangan dan Pertamina sudah dilaksanakan dengan baik. "Buktinya, subsidi sudah dicairkan sesuai dengan ketentuan," ujarnya. Pemerintah, tegas Jusuf, tidak akan memberikan tambahan dana talangan sesuai permintaan Pertamina. Menkeu juga meminta agar Menneg BUMN memberikan teguran kepada direksi Pertamina atas kesalahan pengelolaan cash flow tersebut. Di tempat terpisah, Menteri Negara BUMN Sugiharto menyatakan, Direksi PT Pertamina memberikan jaminan stok BBM akan kembali normal pada 24-25 Juni mendatang. Permasalahan BBM yang dihadapi saat ini sebenarnya bukan masalah stok tetapi adanya mismatch (ketidakselarasan) antara waktu permintaan dana dan pencairannya, terdapat selisih beberapa hari. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya sudah bahas dengan direksi Pertamina, sebetulnya itu hanya soal uang. Stok BBM sudah ada, tinggal didaratkan," kata Sugiharto usai menyaksikan penandatanganan kerjasama Garuda Indonesia-Lufthansa Systems, di Jakarta, Selasa (21/6). Stok BBM dianggap normal apabila cukup memenuhi kebutuhan nasional selama 20-22 hari ke depan, saat ini stok BBM hanya 18 hari. Menurut dia, kecukupan stok BBM menjadi prioritas bagi pemerintah dan selalu dibahas dalam sidang kabinet. "Sidang Kabinet sudah memutuskan bahwa pemerintah akan mengucurkan dana subsidi BBM setiap bulan," tambahnya. Kepala Humas Pertamina Abadi Poernomo mengatakan, stok BBM saat ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sekitar 18 hari. "Kita akan berupaya agar stok BBM dalam posisi aman dengan kucuran dana dari pemerintah Rp 4,02 triliun," kata Abadi kepada Investor Daily di Jakarta, Selasa (21/6). Menurut dia, dana Rp 4,02 triliun atau setara US$ 400 juta hanya bisa digunakan untuk mempertahankan stok BBM sekitar 17,5-18 hari ke depan. Pertamina membutuhkan dana tambahan dari pemerintah atau pinjaman untuk meningkatkan stok menjadi 20-22 hari. Widya Purnama sebelumnya mengatakan, Pertamina membutuhkan dana US$ 1,3-1,5 miliar untuk mengangkat stok menjadi 20-22 hari. Karena itu, Pertamina sedang memproses utang US$ 500-700 juta kepada sindikasi perbankan untuk menunjang pengadaan stok BBM. Abadi optimistis, sindikasi itu segera mencairkan dana setelah proses administrasi di Pertamina selesai. "Prinsipnya, komisaris Pertamina sudah setuju, jadi tunggu saja minggu-minggu ini kemungkinan Pertamina akan mendapat tambahan dana untuk belanja BBM guna mengamankan stok," jelas dia. Ketika ditanya tentang pengucuran subsidi BBM sebesar Rp 1,2 triliun yang sebelumnya sempat dijanjikan pemerintah akan dibayar setiap tanggal 10 setiap bulannya, Abadi enggan berkomentar. Menyinggung soal dana Rp 4,02 triliun yang baru saja dicairkan tanggal 13 Juni lalu, Abadi menjelaskan, dana itu merupakan sisa utang pemerintah untuk pengadaan BBM Januari - Maret 2005. Sebelumnya, pemerintah telah membayar Rp 19 triliun, tetapi dana yang dibutuhkan untuk pengadaan BBM pada periode tersebut sebesar Rp 23 triliun. Sesuai APBN-P Menneg Sugiharto ketika ditanya tentang permintaan Pertamina agar pemerintah mencairkan dana talangan sebesar Rp 5,2 triliun, mengatakan, pemerintah sudah menganalisa kebutuhan impor BBM Pertamina. Sesuai kesepakatan dalam pembahasan APBN-P 2005, asumsi harga minyak dunia ditetapkan US$ 45 per barel sehingga subsidi yang dicairkan setiap bulan Rp 1,5 triliun. "Tapi karena harga minyak dunia terus naik, komitmen pemerintah juga akan dinaikkan," tandas Sugiharto. Ia menjelaskan, perubahan subsidi dan volume BBM akan mengacu pada besaran-besaran yang sudah ditetapkan di dalam UU APBN 2005. Untuk mengatasi masalah ketidakselarasan waktu antara permintaan dan pencairan dana subsidi BBM, kata dia, koordinasi antara Departemen Keuangan dengan Pertamina akan diperkuat. Sugiharto mengungkapkan, pemerintah tidak serta-merta memenuhi permintaan Pertamina, tetapi meminta dilakukan audit internal terlebih dahulu. "Semua angka-angka yang diajukan sebagai subsidi, baik volume maupun harga di-review (ditinjau) secara detail," papar dia. Ia menjelaskan, UU APBN mengharuskan Depkeu untuk menetapkan batasan yang lebih baik sesuai dengan keputusan mengenai volume dan harga minyak yang sudah ditetapkan. Jika permintaan yang diajukan Pertamina berbeda dari asumsi-asumsi tersebut maka diperlukan penelaahan secara mendalam. Menurut Sugiharto, tanpa mengabaikan UU APBN-P 2005, perlu dilakukan penyesuaian terhadap asumsi harga minyak dari US$ 45 per barel ke level yang lebih realistis. Seperti diketahui, harga minyak dunia saat ini sudah mencapai US$ 58-US$ 60 per barel. Ia mengatakan, keputusan mengenai penyesuaian ini akan diambil pemerintah dalam Sidang Kabinet dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap besaran subsidi BBM. Menurut Abadi, kebutuhan BBM tahun 2005 diperkirakan melebihi kuota yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 59,4 juta KL. Penyebabnya, konsumsi solar dan premium meningkat tajam akibat tumbuhnya industri dan bertambahnya kendaraan bermotor. Konsumsi premium bulan Maret 2005 sebesar 43,6 ribu KL per hari naik menjadi 44,3 ribu KL per hari pada April lalu. Pada Mei, konsumsi premium naik 5% menjadi 45,8 ribu KL. Pemakaian Solar juga mengalami peningkatan yang tajam, dari rata-rata 64,9 ribu KL per hari pada Januari menjadi 70,4 ribu KL per hari pada Mei 2005 atau naik 8%. Sementara itu, Ketua Himpunan Pengusaha Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) M Nur Adib mengatakan, kebutuhan BBM terutama premium dan solar bisa teratasi karena suplai dari Pertamina sudah mulai lancar. "Sedangkan Nusa Tenggara dijanjikan Pertamina Jumat pekan ini (24/6) baru bisa teratasi," jelas dia. Pasokan BBM di Pulau Jawa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak ada masalah lagi karena kapal tanker pengangkut BBM dari Depo Manggis di Bali sudah tiba di Surabaya. Sehingga pasokan BBM ke SPBU-SPBU yang berada di Jatim dan jalur pantura dipastikan aman. Dia juga berharap, agar masyarakat mulai melakukan penghematan premium dan solar pada hari Sabtu dan Minggu. Jika masyarakat bisa mengurangi konsumsi pada hari tersebut, penghematan dalam setahun bisa mencapai 7%. Krisis BBM Pengamat migas Kurtubi mengatakan, Indonesia akan menghadapi krisis BBM apabila pemerintah gagal mengatasi masalah ini. Pasalnya, kemampuan suplai BBM PT Pertamina terus menurun sementara kebutuhan BBM terus meningkat. Kondisi ini diprediksi kian memburuk dalam tempo waktu dua minggu ke depan bahkan sistem kupon jatah BBM untuk masyarakat pun akan diberlakukan. "Saya memprediksikan krisis BBM ini akan betul-betul terjadi kalau Pertamina dan pemerintah gagal mengatasi situasi pengadaan BBM saat ini," papar Kurtubi. Kurtubi berharap pemerintah bersikap jujur kepada masyarakat kalau produksi minyak mentah tidak mencukupi. Akibatnya, pemerintah harus mencari minyak dari luar (impor). Makanya, pemerintah harus mendidik rakyat agar menerima kebijakan menaikkan harga BBM, setidaknya setara dengan harga pokoknya. Menurut dia, peringatan atau warning ini agar pemerintah lebih waspada dan sigap dalam memenuhi kebutuhan BBM masyarakat, termasuk kebutuhan BBM PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Apalagi dengan kondisi antrian dan kelangkaan BBM yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. "Dengan sangat terpaksa, semua itu harus dibayar dengan uang APBN dalam bentuk subsidi yang akan membengkak tidak hanya 72 triliun seperti yang dianggarkan dalam APBN-P tapi bisa juga mencapai 90-100 triliun sampai akhir tahun ini," imbuhnya. Diperkirakan, dengan acuan harga minyak mentah internasional yang bertahan pada posisi US$ 60 per barel hingga akhir tahun 2005, harga jual BBM harus naik ke posisi Rp 3.000 per liternya untuk menutupi anggaran Pertamina. Sementara untuk menyelamatkan anggaran keuangan negara, posisi harga BBM harus berada pada Rp 3.600 per liternya. Dengan demikian, biaya subsidi sama dengan nol. "Tapi kenaikan ini akan menyebabkan implikasi yang luar biasa, baik sosial, politik dan ekonomi akibat tidak adanya komitmen pemerintah terhadap substansi keberadaan Pertamina sendiri. Pertamina mau dibawa ke mana oleh pemerintah," akunya. Lebih lanjut ia menyatakan, kondisi ini akan semakin mengkhuatirkan apabila penjual minyak di luar negeri mengetahui posisi Indonesia dalam keadaan terjepit sehingga harga jual semakin mahal. "Jadi kalaulah ada keadaan darurat, semua pihak diimbau untuk berhemat, tidak panik dan pemerintah pun serius menambah jumlah suplai," ujarnya. Kurtubi membeberkan beberapa alternatif konsepsional dalam kerangka UU Migas. Salah satunya adalah imbauan agar pemerintah segera menyuplai dana impor BBM yang dibutuhkan Pertamina. Selain itu, ia berharap pemerintah jangan hanya mencari pemecahan masalah jangka pendek, tapi harus ada alternatif pemecahan jangka panjang yang konsepsional. Ia menegaskan, pemerintah harus menata kebijakan harga BBM sebelum mengubah status Pertamina menjadi Persero. "Makanya, saya meminta agar pengaturan BBM dikembalikan ke Pertamina dengan memperketat kontrol. Dan kalau perlu bentuk BUMN migas baru. Pertamina juga harus diberi kuasa lagi untuk mengontrol produksi minyak KPS," tandasnya. Dengan demikian, kilang minyak milik KPS bisa dimaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan kilang dalam negeri. Menurut Kurtubi, kebutuhan minyak nasional saat ini mencapai 1,4-1,5 juta barel per hari.Namun, kemampuan produksi nasional justru menurun dari 1,5 juta bph menjadi 1 juta bph saja, sedangkan sisanya harus diimpor dari luar. (rie/lim/c63) Sumber : Investor Daily Indonesia _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________