Akar Masalah Korupsi: Budaya atau Struktur?

"Bagi  saya,  korupsi  adalah  suatu  penyakit ganas yang menggerogoti
kesehatan masyarakat seperti penyakit kanker yang setapak demi setapak
menghabisi daya hidup manusia."

Pendapat ini dikemukakan ahli sosiologi terkemuka Selo Sumardjan dalam
pengantarnya  untuk  buku  ‘Membasmi  Korupsi’  karya Robert Klitgaard
(1998).  Pandangan  Selo  ini secara tegas membantah pendapat sebagian
orang  yang  mengatakan bahwa korupsi merupakan bagian dari sisi gelap
mental bangsa Indonesia. Pendapat yang sekilas terasa benar ini muncul
mengingat  begitu meluasnya praktek-praktek korupsi di berbagai sektor
serta kelompok masyarakat di Indonesia.

Republik Drakula

Bagi  ahli  politik  dari  Universitas  Indonesia Eep Saefulloh Fatah,
korupsi  tidak  semata-mata  merupakan  ekses  dari  pembangunan  yang
terlalu bertumpu pada pertumbuhan ekonomi.

Dalam pandangan Eep, sebenarnya bukan budaya masyarakat Indonesia yang
koruptif  namun,  "struktur  kita  yang telah diciptakan untuk menjadi
koruptif,   karena   ada  struktur  yang  membiarkan  praktek  korupsi
merajalela. Inilah yang kemudian menimbulkan budaya koruptif tadi. Hal
inilah yang sering disebut orang sebagai Republik Dracula yaitu segala
struktur  di  dalam  republik  tersebut  justru menjadi para penghisap
darah   yang   menggerogoti  habis  segala  sendi-sendi  dalam  negara
tersebut."

Korupsi   dalam  rezim  yang  lalu  diciptakan  untuk  membantu  kerja
kekuasaan  dengan  mensistematiskan  korupsi yang melembaga, tandasnya
pada  M.  Yusuf  A.S.  dari  MedTrans,  "Rezim kemudian memiliki cukup
kekuatan  untuk  melanggengkan kekuasaannya. Dengan korupsi birokratis
ini,  birokrasi  kemudian  jadi  membesar  sehingga ia menjadi penting
dilihat dari kacamata publik."

Mantan  dekan  FISIP UI Profesor Doktor Muhammad Budyatna menambahkan,
"Demi  melanggengkan  kekuasaannya,  (mantan  Presiden) Suharto memang
sengaja  membiarkan semua orang di sekitarnya untuk korupsi, menikmati
kekayaan  materi  yang  melimpah  ruah  sehingga  nantinya  tidak  ada
seorangpun yang berani mengutak-utik kekuasaannya."

Disamping itu jika di kemudian hari Suharto harus turun tidak akan ada
yang  berani  membawanya  ke  pengadilan,  karena orang-orang itu bisa
terbawa-bawa,   dan  adanya  ikatan  moral  korupsi  pada  orang-orang
tersebut, tutur Prof. Budyatna, mantan salah satu ketua Dewan Pimpinan
Pusat  Partai  Umat  Islam,  "Bagi  Suharto  semakin banyak orang yang
korupsi  maka  semakin  kuat  pula  posisinya sebagai seorang penguasa
tunggal."

Konstruksi  kekuasaan  yang  bersifat koruptif ini diperkuat lagi oleh
sikap  pragmatis  dunia  internasional,  terutama  negara-negara maju.
Menurut  Presiden  Transparency  International Peter Eigen kasus-kasus
korupsi  ini  sebagian  disembunyikan oleh konspirasi di negara-negara
Industri karena, "selama Perang Dingin, seorang Marcos yang korup atau
seorang  Noriega  yang korup dapat ditoleransi selama ia berada secara
tegas di sisi kelompok kapitalis atau Blok negara Barat. Hal yang sama
terjadi pada blok lainnya (maksudnya Blok negara Timur –red.) "

Korupsi Bermanfaat?

Meski  sepakat  korupsi  merupakan hal yang negatif, sejumlah peneliti
menemukan  ‘manfaat’  dari  praktek  korupsi bagi masyarakat. Sun Yan,
ahli  politik  Asia  yang  mengajar  di  City  University of New York,
menemukan  bahwa  di  banyak  negara  Asia,  terutama di Cina, korupsi
ternyata  membuka  jalan  bagi  kelompok-kelompok  masyarakat marjinal
untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara.

"Korupsi  menyajikan  ruang  gerak  dengan  menawarkan  perangkat bagi
orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol
pemerintah  maupun  untuk  mencari  keuntungan dari kontrol pemerintah
ini,  yang  mengarah pada diversifikasi serta penguatan perekonomian,"
kata  Yan  sebagaimana  yang  ditulis Britta Hilstrom dalam Effects of
Corruption  on  Democracies  in Asia, Latin America, and Russia (Sept.
1997).

Dalam  bukunya  The TI Source Book, lembaga Transparency International
juga   mengakui   manfaat   positif   dari  korupsi.  "Sejumlah  orang
berpendapat  bahwa  korupsi  juga mempunyai dampak yang menguntungkan,
seperti akses yang diperoleh tanpa kekerasan terhadap administrasi dan
urusan-urusan  pemerintah, saat saluran-saluran politik disumbat, atau
sebagai  sarana  untuk  mengurangi  potensi  ketegangan antara pegawai
negeri  dan  para politikus dengan mengkaitkan keduanya dalam jaringan
kepentingan pribadi yang mudah dibentuk."

Bahkan,  sejumlah  penelitian  teoritis terhadap korupsi yang dihimpun
Bank  Dunia,  menunjukkan  bahwa  penyalahgunaan  kekuasaan publik ini
bermanfaat  secara  ekonomi,  setidaknya  dalam  jangka pendek, karena
meningkatkan  efisiensi  pasar. Pertama, korupsi merupakan biaya pasar
(market  payment)  yang  memungkinkan  alokasi sumber daya negara pada
pihak  yang  paling  mungkin  memanfaatkan secara efisien, yaitu pihak
yang   membayar   suap   tertinggi.  Kedua,  korupsi  secara  teoritis
meningkatkan    efisiensi   pasar   karena   memungkinkan   perusahaan
menghindari  peraturan  yang  terlalu  ketat  atau  pajak yang terlalu
besar.

Mengurangi Kesejahteraan

Jika  demikian,  apakah  alasan mentalitas bangsa serta manfaat jangka
pendek  korupsi  dapat  digunakan  untuk  membenarkan berbagai praktek
penyalahgunaan kekuasaan ini?

Menyalahkan  meluasnya  praktek-praktek korupsi pada alasan mentalitas
bangsa,  walupun  tampaknya  benar,  sebenarnya  merupakan upaya untuk
mengelak  dari  akar persoalan sebenarnya. Dengan bersembunyi di balik
alasan  mental,  korupsi  secara  diam-diam dibenarkan karena mengubah
mental  bangsa  membutuhkan  waktu  lebih  dari satu generasi (l.k. 30
tahun).

Argumen  bahwa  korupsi  memungkinkan  alokasi sumber daya negara pada
kelompok-kelompok   masyarakat  yang  lebih  luas  serta  meningkatkan
efisiensi  perekonomian  dalam  jangka  pendek,  ternyata  juga  tidak
terbukti dalam jangka panjang.

Dalam  artikel yang sama, Sun Yan mengakui bahwa meski korupsi membuka
akses  sumber  daya  negara bagi kelompok-kelompok marjinal, pada saat
yang sama korupsi menguntungkan kelompok Mafia dan kaum elit tertentu.
Di  India,  kata  Yan,  korupsi memisahkan kaum elit dengan masyarakat
kebanyakan,  menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi berkembangnya
kewirausahaan,  serta  melemahkan  budaya  demokratis. Dengan sejumlah
perkecualian, Yan menandaskan sifat korupsi yang tidak demoratis serta
destruktif  meruntuhkan moral masyarakat, menimbulkan keresahan sosial
dan keterasingan politis.

Sementara  Transparency  International  mengingatkan  bahwa  meski ada
keuntungan  jangka  pendek  yang  dinikmati oleh perekonomian, praktek
korupsi  membocorkan  aliran  modal dalam perekonomian domestik. Lebih
jauh  lagi,  korupsi mendorong ke arah alokasi sumber daya yang justru
tidak efisien karena memungkinkan kontraktor yang paling tidak efisien
untuk   memperoleh   kontrak-kontrak  pemerintah  hanya  karena  mampu
membayar  suap  tertinggi.  Apalagi,  karena  biaya  suap ini kemudian
dimasukkan  dalam  struktur  penetapan  harga  barang  atau  jasa yang
diproduksi,  sehingga meningkatkan harga jualnya, maka secara teoritis
permintaan   terhadap   komoditi   tersebut  akan  turun  dan  tingkat
konsumsinya  akan  berada  di bawah tingkat yang efisien. Jadi korupsi
justru mengurangi kesejahteraan masyarakat secara umum.

Argumen  lain  dikemukan  kelompok  peneliti  Bank Dunia. Dalam jangka
panjang,  kesempatan  untuk melakukan penyuapan mendorong para pegawai
pemerintah  untuk  mengubah  peraturan  atau perilaku mereka, sehingga
pada   akhirnya   mengurangi   efisiensi   perekonomian,   meruntuhkan
legitimasi politis dan rasa keadilan masyarakat.

Tidak  heran jika Selo Sumardjan, saat ditanya oleh M. Yusuf A.S. dari
MedTrans  tentang  bagaimana caranya memberantas korupsi di Indonesia,
hanya menjawab pendek, "Ambil tindakan!!"

[MTI] [Media Transparansi Edisi 4/Jan 1999] [Media Transparansi Online]
 
-----------------------------------------------------------------------
© Copyright 1999 Masyarakat Transparansi Indonesia 
Gedung Graha Niaga Lt. 3, Jl. Jend. Sudirman Kav. 58
Jakarta 12190 Telp:(62-21) 252-6719, 252-6720 Fax (62-21) 252-6725 


_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke