Menahan Gempuran Pasar Modern
Posted June 14, 2005 • Updated September 10, 2005

Beberapa  surat  kabar  dan harian lokal setempat belakangan menyoroti
secara  tajam kehadiran pasar-pasar modern yang tumbuh dengan suburnya
di  kawasan Yogyakarta dan sekitarnya. Ulasan tersebut sering disertai
dengan  berita  tentang  meluapnya  antrian  pada saat acara pembukaan
diadakan.  Tak hanya berhenti disitu, sejak beroperasinya hingga kini,
pasar-pasar  modern  tersebut  selalu  dipenuhi pengunjung yang begitu
nampak pada bottleneck yang terjadi di pintu kasir.

Kehadiran  pasar-pasar  modern  memang  membuat  belanja menjadi suatu
wisata keluarga yang memberi pengalaman tersendiri. Seorang ayah tidak
akan  lagi malu berbelanja dan membeli sayuran di hypermarket. Ibu-ibu
dengan  sepatu hak tinggi juga takkan sungkan memilih daging atau ikan
yang  dikemas dengan apik dan sama-sekali tidak berbau amis. Anak-anak
juga akan merasa senang memilih dan membeli barang-barang kesukaannya.

Pasar-pasar  modern  tersebut  kini juga dikemas dalam tata ruang yang
apik, terang, lapang, dan sejuk. Pengalaman berbelanja tidak akan lagi
disuguhi dengan suasana yang kotor, panas, sumpek, dan becek. Kejadian
yang  kurang  mengenakkan  seperti  kecopetan  atau  berhadapan dengan
penjual  yang  tidak  ramah  niscaya  akan  sangat  sulit  dijumpai di
pasar-pasar modern. Singkatnya, kini belanja bukan hanya tugas ibu-ibu
atau  pembantu  rumah tangga. Belanja juga bukan lagi menjadi kegiatan
yang membosankan dan menyebalkan.

Dengan  segudang  kelebihan  yang  ditawarkan, tentu saja dengan mudah
pasar-pasar  modern  akan  menarik  perhatian masyarakat. Pangsa pasar
yang  selama  ini  dikuasai pasar tradisional dan peritel konvensional
perlahan  tapi pasti mulai beralih. Ditambah dengan dukungan manajemen
dan   sistem   informasi   yang  tertata  apik,  bukan  tidak  mungkin
pasar-pasar modern tersebut akan memimpin pasar dalam waktu sekejap.

Fenomena ini bukan berarti bebas dari masalah. Pasar-pasar modern yang
umumnya  hanya  dikuasai  oleh  segolongan  tertentu menggeser alokasi
kekayaan dan distribusi barang dan jasa yang selama ini dikuasai pasar
tradisional.  Padahal, pasar-pasar tradisional justru menghidupi hajat
hidup  orang dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Apabila fenomena ini
diacuhkan  begitu saja, tentu pengaruh langsung maupun efek turunannya
akan terasa sangat signifikan.

Kedatangan   pasar-pasar   modern   tersebut   memang  mustahil  untuk
dielakkan.  Sebagai  konsekuensi  dari  globalisasi  dan  liberalisasi
ekonomi,  cepat  atau  lambat  mereka  akan  melakukan investasi untuk
merebut   pangsa   pasar   di  Indonesia.  Apalagi  mereka  menawarkan
kenyamanan,  keamanan,  pengalaman  baru  dalam berbelanja, dan segala
kelebihan lainnya.

Eksesnya,  mau  tidak  mau,  pedagang-pedagang  kecil harus menurunkan
margin  demi bertahan dalam persaingan yang sangat sengit ini. Mungkin
akan sangat terdengar lazim bila mereka hanya mengambil untung 100-200
rupiah  saja  per  barang  yang  mereka  jual. Hal ini wajib dilakukan
karena  praktis  pangsa pasar mereka turun cukup drastis. Pembeli yang
bertahan  di  pasar-pasar  tradisional  tinggal  pedagang  kulakan dan
pengelola   warung   makan   kecil-kecilan.  Sementara  end-user  yang
jumlahnya  sangat  besar,  kini  beralih  pada pasar-pasar modern yang
berwujud   minimarket,  supermarket,  maupun  hypermarket  yang  makin
menggurita.

Selain  para  pedagang  tradisional  dan  peritel  konvensional,  para
pengusaha  kecil  yang  menempatkan  diri  sebagai pemasok pasar-pasar
modern   tersebut   pun  juga  bukan  tak  mempunyai  keluhan.  Mereka
mempertanyakan  peran  para  peritel besar dalam pemberdayaan terhadap
pengusaha  lokal  melalui  program  kemitraan. Alasannya, para peritel
besar  tersebut  umumnya  mematok listing fee yang cukup besar di muka
plus  beban  biaya  yang  harus ditanggung para pemasok tiap bulannya.
Jika  demikian,  peran  serta  mereka dalam kerjasama dan pemberdayaan
pengusaha setempat tentu perlu dikaji ulang.

Permasalahan  tersebut  akhirnya  memaksa  para  pedagang  dan peritel
tradisional  yang  tergabung  dalam  Assosiasi  Pedagang Pasar Seluruh
Indonesia  (APPSI) melaporkan hypermart dan pasar-pasar modern lainnya
ke  KPPU. Mereka membawa data berupa pertumbuhan pasar becek yang kini
hanya  sebesar  -8,01%  per  tahun.  Kontras  dengan pertumbuhan pasar
modern  yang mencapai 31,4% per tahunnya. Ironis memang. Para pedagang
kecil   yang  dulunya  bertahan  saat  krisis  justru  kini  dibiarkan
bertarung dengan musuh yang berada diluar tandingan mereka.

Pemerintah  sendiri  memang telah mengatur melalui kesepakatan bersama
antara  Menteri  Perindustrian  dan  Perdagangan  serta  Menteri Dalam
Negeri  yang  tertuang pada SKB No. 145/MPPKep/5/1997 tentang Penataan
dan  Pembinaan  Pasar  dan  Pertokoan.  Sayangnya  peraturan  tersebut
terkesan  usang  dan  kurang  relevan lagi saat ini. Apalagi, penataan
bagi  peritel  besar  belum  dijelaskan secara terperinci dan wewenang
tersebut hanya dilimpahkan kepada pemerintah daerah.

Sembari  menunggu  Rancangan  Undang-Undang  yang  sedang disusun oleh
Menteri   Perdagangan   dan  disahkan  kekuatan  hukumnya  oleh  Dewan
Perwakilan   Rakyat,  tentu  banyak  hal  yang  dapat  dilakukan  oleh
pemerintah  daerah untuk melindungi pasar-pasar tradisional dari sepak
terjang peritel besar.

Langkah  pertama  tentu saja merumuskan peraturan daerah yang mengatur
tentang  jarak,  lokasi,  serta  zoning  secara  lebih  detil. Sebagai
contoh,  pasar  modern  dengan  luas  100m2  hingga  500m2 hanya boleh
didirikan  dengan  jarak  setidaknya  1  km  dari  pasar  tradisional.
Sementara  pasar  modern  dengan luas 500m2 hingga 1000m2 diberi batas
1,5 km dari pasar tradisional. Begitu seterusnya.

Langkah  kedua  tentunya  restrukturisasi pasar tradisional agar tetap
mampu  bersaing  dan  mempertahankan  pangsa pasar yang telah dimiliki
saat  ini.  Pasar  tradisional bukan pasar yang akan tenggelam ditelan
jaman.  Mereka  tetap mempunyai konsumen loyal tersendiri. Pasar-pasar
tradisional  di  Singapura  misalnya,  dikelola dengan sangat apik dan
tertata,   sehingga   keberadaannya  tetap  mampu  menjadi  alternatif
berbelanja   yang  nyaman  dan  tetap  menarik.  Terakhir,  barangkali
diperlukan  adanya  kemitraan  antara  pemerintah dengan pengusaha dan
pedagang   kecil.   Pemerintah  bisa  saja  mendirikan  dan  mengelola
hypermarket sendiri. Tetapi pengadaan menggandeng pengusaha kecil.

Bagaimana pun juga pasar-pasar modern tersebut tetap menjadi penggerak
ekonomi  masyarakat.  Sementara  di sisi lain, pasar konvensional juga
menjadi  sandaran  hidup  banyak orang. Tentu perlu dicari solusi yang
arif dan bijak agar keberadaan keduanya dapat saling melengkapi, bukan
saling membunuh satu sama lain.


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke