Sedihnya Tukang Serabi
Oleh Bayu Gautama

Di sudut persimpangan jalan itu ia menjejerkan tiga tungku kecilnya. 
Satu tungku lainnya terbuat dari batu yang disusun hingga menyerupai 
tungku. Bara api dari kayu bakar yang memerah menyesakki bagian 
bawah tungku, kemudian satu persatu wajan kecil yang terbuat dari 
tanah liat di atas tungku itu dituangkan adonan kue serabi. Beberapa 
orang terlihat menunggu kue serabi itu masak, menikmati kue serabi 
dalam keadaan masih hangat pasti menjadi sebab mereka rela menunggu 
kue diangkat dari wajan. 

Ibu Ikah, 32 tahun, penjual kue serabi itu selalu terlihat berjualan 
di sudut simpang jalan. Ia menjajakan serabi di simpang jalan itu 
hanya di dua pekan terakhir saja, semenjak tanah kosong di sisi 
kanan persimpangan jalan itu tengah ramai oleh "pasar malam". 
Rombongan kemedi putar dan aneka mainan rakyat lainnya yang ikut 
ambil bagian menambah semarak pasar rakyat yang dibuka setiap malam 
itu. Sudah tentu itu membuat para pedagang seperti Bu Ikah tersenyum 
senang lantaran jajakannya laris manis. 

Tapi malam itu, satu malam sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, Bu 
Ikah nampak sedih. Setumpuk kue serabi yang sudah dimasaknya belum 
terjual, dan bara api pun dipadamkannya sesaat sambil menunggu 
pembeli. "Berapa harga satu kuenya bu," sapaan saya membuyarkan 
lamunannya, entah apa yang sedang dilamunkannya, tapi sangat jelas 
wajahnya memancarkan kesedihan. 

Rupanya, malam itu tak banyak uang yang diperoleh ibu tiga anak 
itu. "Baru cukup untuk kembali modal saja pak," lirihnya. Pesanan 
sepuluh kue serabi dari saya membuatnya sedikit tersenyum, kecil 
terdengar suaranya berucap syukur. Tapi tetap saja belum 
menghilangkan gurat muram di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang 
memaksa saya untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk 
menambah pembelian jumlah kue. "Sudah berapa kue terjual malam ini 
bu?" tanya saya mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat 
pertanyaan itu. 

Tak ada angka terbilang untuk pertanyaan itu, pun ketika pertanyaan 
tentang keuntungan yang diperolehnya malam ini. Kemudian ia 
tersenyum, dengan mata menerawang ia seperti sedang membaca 
langit. "Sejak hari pertama jualan di sini, saya dapat untung 
banyak. Tapi tiga hari terakhir ini, hanya uang kembali modal yang 
terbawa pulang. Ada sih sedikit lebihnya, tapiEquot; ia menghentikan 
kalimatnya dan tertunduk sesaat. Sadar saya menatap wajahnya, Bu 
Ikah buru-buru membenahi wajahnya dan memaksakan sebuah senyum. 

"Kenapa bu? Kok sedih," saya bisa melihat dengan jelas ia sangat 
bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan 
yang diperolehnya tiga malam terakhir. Ternyata saya salah. "Bukan 
itu pak, biar cuma jualan kue serabi saya merasa sebagai orang 
berpenghasilan. Saya nggak mau dianggap orang lemah, dan karenanya 
saya selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kue untuk 
zakat atau sedekah ke orang yang lemahEquot; 

Nyaris tak ada kata lagi yang mampu terucap oleh saya mendengar 
alasan kesedihannya. Jika tak ia lanjutkan kalimatnya pun, saya 
mengerti maksudnya, jika tak ada keuntungan yang diperolehnya malam 
itu, bagaimana ia bisa berinfak? Kalimat terakhirnya begitu menohok 
makna kedermawanan yang selama ini saya pahami. Bu Ikah membuktikan, 
bukan hanya orang kaya yang mampu menyandang status dermawan.  

"Entah berapa yang bisa saya sedekahkan dari sedikit keuntungan saya 
malam ini?" kalimat Bu Ikah itu terus membayangi sepanjang malam 
saya, hingga detik ini.  

Bayu Gawtama


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
____________________________________________________

Kirim email ke