Artikel ini saya buat sewaktu Soeharto masih bertahta dan sebenarnya untuk PPI
Jerman
waktu itu.
Tapi tampaknya masih relevan sampai saat ini.
Mudah-mudahan artikel ini bisa menjadi bahan diskusi untuk kita semua.

Karena takut filenya terlalu besar, saya bagi menjadi 2 bagian.

------ Bagian satu

Globalisasi : Peluang atau Perangkap

Johnson Chandra

-- Global Player

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita semua menuju zaman globalisasi.
Runtuhnya tembok Berlin yang mengawali kejatuhan blok Timur, pembentukan WTO,
pembebasan pengaliran kapital, revolusi teknologi informasi-komunikasi,
internet, telefon selular, semua membentuk bumi ini semakin menjadi desa
global,
melewati batas negara dan bangsa. Deregulasi di berbagai bidang, di berbagai
negara,
baik disukai atau tidak, membuat suatu fenomena baru yang sebenarnya tidak bisa

dikatakan baru, yaitu munculnya makhluk yang disebut Global Player. Makhluk ini

tumbuh seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Apakah sebenarnya
makhluk ini ?

Global Player adalah istilah untuk perusahaan-perusahaan raksasa yang daerah
operasinya
hampir ada di seluruh dunia, dan anggaran rumah tangganya beberapa kali lipat
melebihi
anggaran rumah tangga negara-negara berkembang. Contohnya Daimler-Chrysler,
Sony, Citicorp,
dll. Perusahaan-perusahaan ini mempengaruhi kehidupan orang banyak, sehingga
mempunyai
kekuasaan tidak terlihat yang besar sekali. Coba bayangkan, bila
Daimler-Chrysler memutuskan
untuk membuka pabrik di Indonesia, berapa banyak tenaga kerja yang bisa
terserap ?
Atau sebaliknya, berapa banyak orang akan jadi pengangguran di Jerman ? Di
Indonesia
misalnya Salim Group, Putra-Putri Penguasa Group, dll. Itu jugalah yang menjadi
dilema saat
ini di Indonesia. Kita ribut-ribut soal korupsi, kolusi dan nepotisme, yang
membuat
perusahaan itu dulu bisa sampai sebesar sekarang ini. Lah, kalau perusahaan itu

dinasionalisasikan, apakah tidak mungkin kalau sebelum itu dilakukan,
oknum-oknumnya sudah
melarikan modal terlebih dahulu ke luar negeri ? Kalau tidak, bagaimana dengan
nasib orang banyak,
yang praktis tidak mempunyai kesempatan untuk berkembang lagi ? Apakah mungkin
oknum-oknum tersebut
sukarela memberikan apa yang selama ini mereka punyai kepada negara ?


-- Ramalan Marx menjadi kenyataan ?

Marilah kita membuat beberapa anggapan yang bisa kita simpulkan dari kehidupan
sehari-hari.

Anggapan 1 : Manusia selalu ingin puas, tetapi tidak pernah mengenal puas.
Anggapan 2 : Manusia bila sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, akan berani
berbuat apa saja.
Anggapan 3 : Semua manusia mempunyai kesempatan yang sama.
Anggapan 4 : Globalisasi akan menguntungkan semua pihak.

Anggapan pertama jelas. Kita semua harus mengakui itu. Bila manusia sudah puas
dengan keadaannya,
maka tidak akan ada lagi perkembangan karena manusia berkembang didorong oleh
rasa ketidak-puasannya.
Uang di sini memegang peranan penting, sebab uang adalah pengukur keberhasilan
seseorang, dan juga
pendorong semangat yang kuat sekali. Bila diiming-imingi uang, seseorang akan
langsung memeras otaknya
untuk mendapatkannya.

Anggapan kedua juga jelas. Bila seseorang tidak mempunyai apa-apa lagi, maka ia
akan cenderung lebih
nekad(ingat juga anggapan pertama). Perang, kekacauan, anarki bisa terjadi bila
rakyat sudah mencapai
keadaan itu. Toh sudah tidak punya apa-apa lagi. Ingatlah juga keadaan
Indonesia saat ini, yang mungkin
bisa lebih kacau lagi, bila pemerintah masih juga sama seperti yang dulu.

Anggapan ketiga menurut saya adalah salah. Mengapa ?

Kolusi, korupsi dan nepotisme yang gila-gilaan.
Semua teori ekonomi apapun akan runtuh kalau sudah menghadapi sindrom tersebut.
Pada zaman Orde Lama,
Indonesia juga mengalami krisis, dengan sistem pemerintahan yang anti
Imperialismus. Orde Baru dengan
sistem yang sangat bertolak belakang, setelah 32 tahun, jatuh juga. Padahal
sistemnya beda 100 persen.
Tidak ada resep yang bisa mengatasi sindrom ini kecuali moral dari kita semua.
Sindrom ini juga tidak
bisa dihilangkan seratus persen, tetapi kita(baca: pemerintah) HARUS membuat
mekanisme kontrol untuk
mencegah sindrom ini untuk berkembang. Dilihat dari sudut psikologis, tentu
kita akan berpikir
berulang-kali, atau berusaha selicin mungkin, agar tidak ketahuan, bila
hukumnya jelas. Kita lihat
Indonesia, di mana KKN dipraktekan dari level teratas sampai terbawah, sehingga
justru kalau tidak
begitu, malah tidak normal. Runtuhlah ekonomi negara. Krisis yang melanda
negara-negara Asia hanyalah
pemicunya, sedangkan bom waktunya sudah dibuat kita semua selama 32 tahun.
Dengan KKN, TIDAK semua
orang mempunyai kesempatan yang sama. Yang penting bukan kemampuan, tetapi
bapak/ibu/saudaranya siapa.

Dan juga pemilikan modal yang tidak seimbang.
Contoh kongkret, perang antara Netscape dan Microsoft. Netscape yang merupakan
perintis di bidang Internet,
pada mulanya berkembang dengan sangat pesat dan sampai sekarang sebagian besar
pasar masih dikuasainya.
Microsoft yang tampil belakangan, dengan kekuatan modalnya, berhasil mendesak
Netscape yang kuartal terakhir
sudah merugi. Bagaimana tidak terdesak ? Microsoft memberikan produknya
cuma-cuma sedangkan Netscape tidak.
Bagi Microsoft, merugi tidak apa-apa, toh mereka mendapat untung dari produk
lain. Dan bila saingannya
sudah bangkrut alias Microsoft sudah menguasai pasar, barulah ia memainkan
harga semaunya.
Sama halnya seperti di Indonesia. Jaringan supermarket terbesar di USA,
Wal-Mart, juga sudah membuka cabangnya
di Jakarta. Coba bayangkan, bagaimana mungkin toko-toko kecil bisa bersaing,
bila harga barang-barang di
Wal-Mart memang lebih murah, dan berbelanja di situ pun lebih nyaman. Kita
sebagai konsumen tentu memilih
Wal-Mart sebab kita ingin mencapai kepuasan berbelanja yang maksimal.

Tentu masih banyak contoh lainnya. Contoh pertama kebanyakan terjadi di
negara-negara berkembang, sedangkan
contoh kedua terjadi di negara-negara yang sudah maju. Kembali ke anggapan
pertama, lalu bagaimana caranya
agar bisa hidup kita gema ripah loh jinawi ? Yah, kita juga harus menjadi
pelaku kedua contoh di atas.
Kita harus pintar menyuap, cari koneksi yang tepat, mengambil keputusan yang
tepat, mengoptimalkan keuntungan,
menarik modal dengan segala cara misalnya menjual saham di bursa efek, sehingga
dengan modal KKN, mudah-mudahan
kita bisa menjadi Global Player dan berada di atas angin. Kalau gagal yah
kembali ke anggapan kedua.

Lalu apakah yang terjadi ? Apakah ramalan Marx akan menjadi kenyataan, di mana
dunia ini terbagi ke 2 kelas
yang saling bertentangan yaitu kelas borjuis dan proletariat ? Antara kelas
pemilik modal yang terus
melipatgandakan kepunyaannya dan oleh sebab itu justru melahirkan kelas
proletariat, yang harus menjual
jasanya dengan segala cara agar bisa bertahan hidup ?

Akhir September 1995 berkumpul 500 pelaku utama di dunia ini di San Francisco.
Politikus, dirut perusahaan raksasa
dan pakar-pakar berdiskusi di belakang layar tentang abad keduapuluh-satu.
Diundang oleh yayasan yang dipimpin
oleh Michail Gorbachev, hadir antara lain George Bush, Margaret Thatcher, Ted
Turner(News), John Gage(Sun Microsystems),
David Packard(Hewlett-Packard), dll. Dan masa depan menurut mereka adalah
„20:80“ dan „tittytainment“.



---- bagian kedua besok saya kirim....=)....




Kirim email ke