Salam!
Di bawah ini adalah artikel Priyo yang dimuat di Jawa Pos Sabtu.
Menarik didiskusikan. Wacana Otda memang memerlukan diskusi, pemahaman dan
pemikiran dialektis yang tanpa putus.

Sebagai info bunga-bunga, honor tulisan ini 100% disumbangkan penulisnya
buat Dompet Sampit. Ketika ihwal ini saya sampaikan ke editor dan bagian
keuangan kami, sikap penulis artikel ini memang terasa memberikan satu sisi
ketauladanan. Semoga Tuhan YME selalu memberikan  kemudahan  dan kemurahan
yang setimpal bagi kita semua. Amin.

tabek,
rap
###


http://www.jawapos.com/cetak/detail.php?u_cat=5210

Sabtu, 03/03/2001 - 21:41 WIB
Otda; Belajarlah dari Federalisme Amerika

Oleh: Priyo Pujiwasono



Gonjang-ganjing di panggung politik, tampaknya, telah menelantarkan berbagai
agenda penting yang seharusnya menjadi prioritas utama para elite politik
kita. Salah satu agenda penting yang harus dicermati adalah pelaksanaan
otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun ini dengan diberlakukannya UU
No. 25/1999.
Sejak awal kemerdekan Indonesia, sebenarnya telah banyak terjadi
pertentangan pendapat antara bentuk negara kesatuan terpusat (centrally
planned) dan negara Indonesia Serikat (federal). Bahkan, UUD RIS (Republik
Indonesia Serikat) pernah diberlakukan pada 1949-1950. Sementara itu, UUD
1945 yang kemudian disahkan lagi sebagai konstitusi NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) dengan Dekrit Presiden 1959 memberikan kewenangan yang
begitu besar kepada presiden dan pemerintah pusat, sehingga kepentingan
daerah hampir tidak mendapat tempat yang semestinya.
Akibatnya, beberapa kali terjadi pemberontakan yang bernuansa kedaerahan,
seperti dilakukan Kahar Muzakar dan PRRI/Permesta. Terbukti pula, sejak awal
kemerdekaan hingga masa Orde Baru -dalam konteks hubungan pusat-daerah-,
daerah selalu menjadi sapi perahan pemerintah pusat. Bahkan, setiap
tuntutan/aspirasi daerah selalu dicap sebagai gerakan inkonstitusional yang
membahayakan stabilitas nasional.
Federalisme ala Amerika?
Negara Federal Amerika yang diproklamirkan 4 Juli 1776 pada awalnya
merupakan sebuah gabungan (united) dari 13 negara koloni (state) di wilayah
timur dan selatan Amerika. Barangkali inilah salah satu perbedaan yang cukup
signifikan dari konsep nation building antara Amerika dan Indonesia.
Mengutip pendapat Salim Said, nasionalisme Indonesia sudah selesai terbentuk
sebelum masa proklamasi kemerdekaan, dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Nasionalisme Amerika justru sebaliknya. Konsep united masih
terus berproses panjang setelah Declaration of Independence, berkembang dari
13 states menjadi 50 states dewasa ini.
Demikian pula, authority (kewenangan) pemerintah federal di Amerika justru
dirumuskan oleh ke-13 states. Sedangkan yang terjadi di Indonesia,
pemerintah pusat terlebih dahulu berdiri (established) daripada pemerintahan
di daerah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya konsep
otonomi atau federalisme Amerika terlebih dahulu "matang" dibandingkan
dengan keberadaan pemerintah pusat. Pada Articles of Confederation 1787
mengenai kesepakatan bersama 13 states, juga disebutkan bahwa dengan adanya
penggabungan atau konfederasi ini yang dinamai United States of America,
masing-masing state tetap memegang/mempertahankan kedaulatan, kebebasan, dan
kemerdekaan, serta hak-haknya selama ini. Konsep konfederasi ini terus
berkembang sehingga menghasilkan pemerintahan federal yang kuat. Namun,
posisi state government tidak pernah terkooptasi oleh kepentingan pusat.
Meski demikian, federalisme Amerika bukan berarti suatu proses yang instan
karena dalam sejarah, Amerika Serikat juga pernah mengalami fase
guncangan-guncangan politik terhadap keutuhan konfederasi. Puncaknya adalah
meletusnya Civil War (Perang Saudara) antara kelompok Utara dan kelompok
Selatan pada 1861-1865 yang hampir-hampir menghancurkan keutuhan Amerika.
Wilayah utara Amerika (para industrialis) menuntut penghapusan perbudakan,
sementara wilayah selatan (daerah perkebunan yang memerlukan banyak pekerja)
menolaknya. Pertempuran yang berkecamuk pada masa pemerintahan Lincoln itu
melibatkan 3 juta orang dan menewaskan korban tak kurang dari 600 ribu jiwa.
Untungnya, pertempuran ini akhirnya dimenangkan kelompok Utara sehingga
perbudakan dihapuskan dari bumi Amerika serta keinginan kelompok selatan
untuk melepaskan diri dari Amerika tidak pernah terwujud. Abraham Lincoln
yang terbunuh pada 1865 dikenang sebagai pahlawan pejuang antiperbudakan dan
diabadikan dalam bangunan Lincoln Memorial di Washington, D.C.
Pelajaran dari Federalisme Amerika
Mengingat pluralisme penduduk dan budaya, tentu kita harus lebih
berhati-hati dalam menerapkan konsep otonomi/federalisme di Indonesia.
Kesenjangan antardaerah dan keragaman budaya masyarakat memang harus
dicermati, namun tidak perlu pesimistis bahwa daerah yang terbelakang akan
makin terpuruk dengan penerapan otonomi. Terbukti di Amerika, dengan adanya
kewenangan state government untuk mengurus daerah sendiri, justru muncul
kreativitas untuk saling berpacu membangun daerah masing-masing.
Hal yang paling sensitif bagi penerapan otonomi di Indonesia adalah adanya
terminologi atau penggolongan antara kelompok penduduk asli (suku asli) dan
kelompok pendatang. Sedangkan di Amerika, hal seperti ini sudah tidak ada
lagi. Perlu dipikirkan secara serius untuk mengantisipasi kemungkinan
konflik antara penduduk asli-pendatang ini, seperti yang sedang terjadi di
Sampit dan Palangkaraya. Misalnya, perlu ditegaskan dalam peraturan
perundangan (UU) bahwa penduduk asli (putra daerah) adalah penduduk yang
sudah lahir di daerah itu, tanpa membedakan asal suku bangsa atau agamanya
sehingga mengikis kemungkinan timbulnya konflik SARA.
Pelajaran lain dari sistem pemerintahan Amerika adalah "dipisahkannya"
lokasi pemerintahan (birokrasi) dengan kepentingan pengembangan bisnis.
Amerika memang menganut prinsip pasar bebas dengan sedikit mungkin
intervensi pemerintah. Hal ini juga tampak dalam pengelolaan bisnis di
berbagai negara bagian oleh state government. Di State New York, misalnya,
pusat pemerintahannya justru berkedudukan di kota kecil Albany dan untuk
State California berada di Sacramento. Sementara itu, pusat bisnisnya
berkembang di kota New York City dan Los Angeles.
Pemberdayaan Potensi Daerah
Pada saat krisis yang tak kunjung henti seperti ini, tampaknya pelaksanaan
otonomi daerah yang ditangani secara serius adalah satu-satunya harapan
terakhir untuk mempertahankan keutuhan Indonesia. Para eksekutif
pemerintahan dan anggota MPR/DPR alangkah bijaksananya bila mau mengurangi
jalan-jalan wisata ke luar negeri dan lebih sering mengunjungi (sidak)
daerah-daerah untuk mendengarkan berbagai aspirasi dan keluhan-keluhan
masyarakat.
Alasan klise yang sering muncul bahwa SDM di daerah belum siap untuk
melaksanakan otonomi daerah, rasa-rasanya, sudah bukan masanya untuk
diperbincangkan lagi. Selama ini, SDM daerah yang berpotensi tidak pernah
betah di daerah karena kurangnya fasilitas yang memadai.
Ketakutan bahwa akan terjadi perpindahan korupsi dari pusat ke daerah,
rupanya, bisa diantisipasi lewat pemberdayaan organisasi kemasyarakatan
setempat. Korupsi justru terjadi karena selama ini masyarakat di daerah
hanya bisa bingung karena semua kebijakan diputuskan pusat sehingga
mekanisme kontrol tidak berjalan.
Memang, salah satu ukuran penting keberhasilan pelaksanaan otonomi adalah
tumbuhnya potensi dan SDM di daerah sehingga daerah menjadi makin mandiri
dan kuat. Tentunya adalah tugas pemerintah pusat untuk membantu
daerah-daerah yang masih terbelakang dan lemah dalam potensi sumber daya.

* Priyo Pujiwasono, kandidat Ph.D. dalam Technology Management di George
Washington University

_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com

Kirim email ke