Oekussi, Kota Mati Sisa Milisi DENGAN jebolnya Ambenu oleh pasukan Interfet Sabtu (2/10), berarti seluruh kabupaten di Timor Timur (13 kabupaten) sudah dijarah Interfet. Kehadiran pasukan multinasional di Ambeno, didomplengi milisi pro-kemerdekaan turun gunung. Kehadiran dua pasukan ini, serta merta disambut eksodus besar-besaran rakyat Ambeno dan milisi pro-integrasi mengungsi, setelah mbumihanguskan Ambenu. Praktis, Oekussi dikuasai Interfet yang keliling kota dengan perangkat perangnya. Untungnya, akhir September saya sudah ke sana. Kab. Ambeno seluas 778.125 km2 dengan penduduk 48.979 jiwa ini, merupakan daerah enclave (kantung) dari Propinsi Timtim di NTT. Secara geografis, wilayah Timor Leste ini berada dalam blokade RI. Interfet hanya bisa masuk lewat udara atau lewat Selat Ombei mendarat di Pantai Makassar, kota lama tempat mendarat Portugis 1515 lalu. Celakanya, blokade ini juga berdampak kepada 500 KK transmigran yang menempati lokasi UPT Netemnanu, Kab. TTU, NTT. Soalnya, jalan keluar harus melewati Ambenu. Transmigran tak bisa lagi menjual hasil pertaniannya ke Oekussi. Keunikan inilah yang menggelitik keinginan jurnalistik saya. Sekaligus sebagai pelepas nadar menginjakkan kaki yang kedua kalinya di bumi Loro Sae, setelah meliput peristiwa Dili (Santa Cruz), Juli 1991. Dari rekomendasi komandan milisi TPIB, Joao Magnu da Araujo, yang markasnya pernah saya tamoni, saya mendapat pengawalan orang kepercayaannya, Vasco da Gomes (35). Pemuda hitam, brewok dan berambut keriting ini, adalah anggota milisi Sakunar yang dikomandani Simau Lopez. Milisi ini terkenal bengis dan kejam terhadap lawannya, Falintil dan pro-kemerdekaan. Milisi yang membumihanguskan Ambenu ini, kini bermarkas di Kec. Amfoang Utara, Kab. Kupang. Dengan sepeda motor tril Nopol DF, Timtim, "Si Brewok" mengantar saya. Dari Kefa, belok ke utara menyusuri jalan aspal sepanjang 21 km. Perjalanan penuh risiko, tetapi itu sudah konsekuensi dari sebuah profesi. Jika Sander Thoenes (30), wartawan The Financial Times itu sampai tewas Dili, dan Yun Hap (22), mahasiswa UI tewas dalam "Tragedi Semanggi II", itu tak perlu didramatisasi. Wajar-wajar sajalah. Obrigado Dengan kecepatan 70-80 km per jam, saya bismillah untuk berangkat. Meski menyangklong senjata laras panjang, "Si Brewok" begitu cekat mengemudi lewat hutan dan bebukitan. Menjelang Magrib sampailah kami di markas milisi di perbatasan, dan berkenalan dengan penghuninya. "Bonoito (selamat malam)," sapa saya dalam bahasa daerah Tetun, yang sebenarnya diambil dari bahasa Portugal seperti obrigado untuk terima kasih. Sebagaimana yang pernah saya jumpai di markas milisi Aitarak di Atambua, tampang mereka umumnya sangar-sangar. Bicaranya keras dan kasar. Kulirik, beberapa senjata api, parang, golok, dan panah menumpuk di dalam kamar. Pengalaman sepekan di Atambua, membuat saya terbiasa dengan pemandangan seperti itu. "Kamu orang tidak boleh ambil gambar ini," kata "Si Brewok" ketika melihat saya mengeluarkan tustel dari saku rompi. Saya menjadi sadar, bahwa saya sudah mencoba mengusik lahan privacy orang lain. "Tidak. Saya tak akan memotretnya. Ami, ha'u simu aceito," jawab saya, sambil menyimpan tustel kembali. Seorang bertelanjang dada penuh tato di lengannya, keluar menyuguhkan minuman untuk kami. Sambil mereguk, saya ucapkan obrigado. Kesempatan itu kugunakan untuk salat jamak-qasar, dengan membentangkan rompiku sebagai alas sujud. Ketika baru saja bertakbir, "Si Brewok" mendorongku. Rompiku ditarik lalu digantikan rompi hitamnya bertuliskan "Sakunar". Dengan bicara dalam Bahasa Tetun, ia lalu membetulkan arah kiblatku. Begitulah cara mereka. Kasar. Namun, di balik kekasarannya itu, ternyata ada kebesaran jiwa seorang anak bangsa. "Obrigado", kata saya mengacungkan jempol. Islam memang sudah masuk ke Timtim jauh sebelum kedatangan Portugal, yang disebarkan pedagang Hadramaut. Tak anehlah jika di Aileu ditemukan transkripsi kaligrafi Arab pada potongan kayu rumah adat yang dipundi-pundi sebagai azimat atau lulik. Wajar saja jika "Si Brewok" mengetahui arah kiblat yang benar dan menghormati muslim seperti saya. Porak Poranda Sebenarnya Portugal mulai menduduki Oekussi sejak tahun 1515 dan meninggalkan banyak bangunan bersejarah, termasuk meriam kuno di Pantai Makassar. Para arkeolog akan sedih melihat rumah-rumah kuno dengan arsitektur Portugal dan rumah adat Timor peninggalan Raja Wehale, porak peranda. Cerita bumi hangus yang selama ini kudengar lewat cerita ayahku di zaman revolusi itu, kini benar-nenar saya saksikan dengan mata kepala sendiri. Sayang, saya tak bisa mengabadikan suasana itu. Korban material ini, belum termasuk korban jiwa dan harta benda penduduk. Di sebuah rumah yang ludes terbakar, masih kulihat bangkai ternak sapi membusuk di dekat dua laki-laki yang mati terluka. Bahkan di sebuah rumah, tiga mayat dibiarkan menumpuk dengan ceceran darah di reruntuhan dinding. Saya lalu bisa menduga, ketika melewati sebuah jalan tikungan tadi, tercium bau anyir bangkai sepanjang jalan. "Kantor saya sudah ludes. Demikian bangunan yang lain," kata Bupati Ambenu, Filomento da C Mesquita (43), yang mengungsi bersama rakyatnya ke Kefa. Akibat perang saudara, ribuan jiwa manusia menjadi tumbal. Ini baru di Ambenu. Karena itu, tewasnya 10 pastur, pendeta, dan biarawati di Keuskupan Diosis Dili Sabtu (11/9) lalu, belum ada apa-apanya. Ribuan rakyat Ambenu, kini hidup sengsara di pengungsian. Mereka kehilangan orangtua dan sanak saudara, bahkan kekasihnya. Sekitar 2.000 pengungsi eksodus ke Oepoli, berteduh di bawah-bawah pohon beratapkan daun. Seminggu lalu, 1.362 jiwa pengungsi Ambenu datang lagi dengan kapal fery yang ditampung di los Pasar Wini, Kefa. Sepanjang jalan, berbondong-bondong pengungsi berjalan kaki dan menunggang kuda menempuh perjalanan puluhan kilometer. Truk dan mobil hilir mudik mengangkut barang dan pengungsi, termasuk puluhan ton beras Dolog ke Kefa. Pengungsian mencapai klimaksnya sejak kedatangan Interfet ke Ambeno. Basis Perjuangan Sejak dulu, Ambenu selalu ditakdirkan menjadi pusat pemberontakan yang membuat hancur kota Oekussi. Tahun 1657, Raja Manuel da Costa yang dibantu Belanda memberontak, sehingga Portugal menunjuk Antoniao Guerreiro sebagai Gubernur di Lifau dekat Oekussi. Pemberontakan muncul lagi 1768, sampai Gubernur baru Antonio Jose Teles mengungsi ke Dili. Di zaman Gubernur Filomeno da Camara, tahun 1912 rakyat Oekussi memberontak lagi menentang kerja paksa penanaman kopi. Pertikaian antara kolonial Belanda dan Portugis memuncak sampai diselesaikan Mahkamah Pengadilan Internasional di Den Haag 17 Agustus 1916. Wilayah Timor Barat (sekarang NTT) dikuasai Belanda, dan Timor Timur dikuasai Portugal, termasuk daerah kantung Ambenu. Kini, Ambenu dengan Oekussi-nya memang tinggal puing-puing berserakan. Namun di kota ini masih menyisakan semangat perlawanan yang membara. "Meski hasil jajak pendapat memenangkan pro-kemerdekaan, kami tetap bertekad untuk berintegrasi dengan Indonesia," kata Bupati Ambenu, Filomento. Di Atambua tempat pengungsiannya, Front Bersama Otonomi Timtim (UNIF) Cabang Ambenu, menyatakan wilayahnya tetap berintegrasi dengan RI. Begitu juga rakyat di Covalima, Ainaro, Bobonaro, Liquisa, Ermera, Aileu, Dili dan Manufahi. "Kami punya hak hidup di Timor Leste. Kami menuntut wilayah bagian barat Timtim masuk Indonesia," katanya. Dari Ambenu-lah, perjuangan milisi pro-integrasi akan dimulai, setelah Timtim dilepas dari wilayah RI lewat SU MPR ini. Dari Oekussi pulalah, 6 Oktober 1975 mendarat pejuang integrasi yang kemudian merebut Batugede, Maliana dan Atabae. Keberhasilan pergolakan inilah yang melahirkan Delarasi Balibo 30 November 1075, di mana rakyat Timtim berintegrasi ke RI. Akankah kesuksesan perjuangan integrasi 1975 bisa terulang kembali? Tergantung kekompakan antar-pasukan milisi. Gubernur Timtim, Abilio Soares sendiri telah merencanakan Ambenu sebagai penampungan pengungsi, di samping Kab. Bobonaro dan Covalima. Secara kultur dan historis, rakyat Ambenu merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Timor Barat NTT, "Setelah berintegrasi dengan RI 24 tahun, rasanya sulit untuk dipisahkan," kata Dandim Ambenu, Letkol Bambang Ngesti, di Atambua. Keinginan berintegrasi ini dibulatkan dalam pertemuan antar-para pejuang dan tokoh integrasi Timtim. Di bawah monumen integrasi Balibo, Sabtu 18 September mereka mencanangkan "Deklarasi Balibo II" dan meleburkan diri dalam wadah Front Persatuan Bangsa (FPB). Oekussi kini menjadi kota mati. Namun, di balik kematian itu, ternyata hidup semangat perlawanan milisi yang tak pernah mati. (R.M. Yunani Prawiranegara) ______________________________________________________ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com