http://www.indomedia.com/sripo/9904/15/OPINI/1504op2.htm

Pemilu Terancam Gagal

Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Selasa kemarin
serentak turun kembali ke jalan. Mereka bergerak dari kampus Universitas
Indonesia di
Salemba, menuju gedung DPR/MPR di Senayan. Namun hanya mahasiswa yang
tergabung dalam Forum Kota (Forkot) yang berhasil mendekati gedung
DPR-MPR Senayan.

Aksi Forkot juga diperkuat himpunan mahasiswa lain seperti Keluarga Besar UI
(KBUI), Komrad, dan Keluarga Mahasiswa Trisakti. Demo itu merupakan aksi
terbesar yang digelar mahasiwa sejak Desember 1998 lalu yang sempat terjadi
bentrokan di jembatan layang Senayan. Tuntutan mereka sama, pembentukan
pemerintahan transisi dan meminta DPR mencabut undang-undang politik,
termasuk UU tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR- MPR yang memberikan
jatah 38 kursi di DPR untuk ABRI.

Di Yogyakarta, pada hari yang sama sekitar 150 mahasiswa yang tergabung dalam
komponen Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (Dema UGM), SMKR
(Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat), dan KPRP (Komite Perjuangan
Rakyat untuk Perubahan) juga menggelar demonstrasi menolak penyelenggaraan
Pemilu 1999.

Para demonstran menilai, Pemilu 1999 tidak akan demokratis selama militer
masih mendapatkan jatah kursi di DPR. Pengunjuk rasa juga juga menggelar
berbagai
poster, di antaranya bertuliskan: Tolak Partai Politik Borjuis; Jangan Pilih
Partai yang tidak Perjuangkan Buruh; Tolak Parpol yang tidak Memihak Rakyat.
Aksi
mahasiswa turun ke jalan di Jakarta yang umumnya ingin menuju DPR ini dicegat
aparat keamanan di berbagai tempat.

Aksi yang didukung sejumlah kesatuan mahasiswa itu sepanjang jalan
meneriakkan ajakan kepada mahasiswa dan rakyat agar bersatu memperjuangkan
pembentukan pemerintahan transisi yang demokratis. Pemilu oleh rezim Habibie
mereka nilai akan menimbulkan banyak masalah, baik sebelum atau sesudahnya
karena penguasa dengan segala cara akan berusaha tetap berkuasa. Pemilu hanya
akan dipergunakan sebagai alat untuk memperpanjang kekuasaan kelompok
penindas.

KITA berpendapat, suara perlawanan dari kampus terhadap pelaksanaan pemilu
Juni mendatang ternyata tidak lenyap, bahkan mulai menggema seiring
hiruk-pikuk
persiapan pemilu, termasuk pembentukan organisasi-organisasi independen
pemantau pemilu. Sekonyong-konyong, Selasa lalu ribuan mahasiswa kembali
turun ke
jalan, berkonvoi keliling Kota Jakarta dengan mengendarai belasan bus. Mereka
berkampanye menentang pemilu yang diselenggarakan pemerintahan Habibie dan
menuntut pembentukan pemerintahan transisi.

Kendati tidak melibatkan massa dalam jumlah besar, aksi tersebut tidak bisa
diabaikan karena melibatkan tak kurang puluhan kesatuan aksi yang mengambil
peran
penting dalam gerakan mahasiswa selama Sidang Istimewa MPR November lalu.

Sejak transisi kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie, sebagian mahasiswa
menjadi pendukung atau minimal tidak mempersoalkan lagi keberadaan
pemerintahan
Habibie sebagai pemerintahan transisi. Namun sebagian lagi menolak
pemerintahan Habibie dan menuntut pembentukan pemerintahan transisi secara
demokratis,
baik dalam bentuk presidium maupun Komite Rakyat Indonesia (KRI).

Pertentangan antara kedua kubu mahasiswa tidak sampai menimbulkan bentrok di
lapangan, tapi justru mengarah pada saling pengertian setelah masa pengendapan
selama bulan Ramadhan.

Kesatuan aksi mahasiswa yang secara terbuka menentang pemilu yang
diselenggarakan pemerintahan Habibie adalah Forkot. Kesatuan aksi ini tetap
pada tuntutan
pembentukan Komite Rakyat Indonesia (KRI) untuk menggantikan Habibie. Komite
inilah yang menjalankan pemerintahan transisi untuk menyelenggarakan pemilu.

Forkot saat ini beraliansi dengan kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa lainnya di
bawah nama Komite Mahasiswa Bersatu (KMB). Komite ini didukung oleh 11
kesatuan aksi, di antaranya Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ),
Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad), Keluarga Besar
Universitas Indonesia (KB- UI), Front Jakarta, dan Forum Bersama. Merekalah
yang menggelar aksi turun ke jalan, Rabu lalu, menuntut pembentukan
pemerintahan
transisi dan menolak pemilu yang diselenggarakan pemerintahan Habibie.

Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) menyatakan netral
dalam soal pemilu. Mereka tidak ingin berkonfrontasi dengan rakyat yang
menginginkan pemilu segera diselenggarakan. Namun, melihat perjalanan selama
ini sulit diharapkan pemerintahan Habibie akan menjadi pemerintahan transisi
menuju demokrasi.

Kelompok mahasiswa yang lain adalah mereka yang mendukung atau
sekurang-kurangnya tidak menolak pemilu Juni mendatang. Masuk dalam katagori
ini antara
lain KAMMI, Forum Salemba, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Forum Mahasiswa
Rawamangun (Fomara), dan mereka yang tergabung dalam Jaringan
Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu (University Network for Free and Fair
Election - Unfrel).

Pemilu mendatang memang tidak bisa serta merta dikatakan adil karena adanya
anggota DPR yang diangkat. Perbedaan sikap antara mahasiswa yang propemilu
dan mereka yang kontra pada dasarnya merupakan hasil perumusan dari olah
berpikir yang berbeda.

Ada kelompok mahasiswa yang berpendapat harus melalui pemilu, ada yang
sebaliknya. Namun keduanya sama-sama menginginkan Indonesia ke depan ini
adalah
Indonesia yang demokratis. Kita berharap pemilu mendatang jadi digelar secara
jujur dan adil, diterima oleh rakyat, dan menghasilkan pemerintahan yang
legitimate.
***

Kirim email ke