Minggu, 06 April 2008

Buku Lawan Gaya Hidup 




Betulkah gaya hidup bisa menggerogoti perkembangan budaya literer? 
Para pembela perbukuan kerap prihatin betapa buku ternyata diperkirakan mudah 
kalah oleh pesaing lain yang berusaha menjauhkan mereka dari buku. Mereka agak 
yakin bahwa gaya hidup merupakan biang keladi yang menggerogoti perkembangan 
budaya literer. Dampak terbesarnya ialah buku tersingkir sebagai favorit, 
membuat ia masuk dalam prioritas bawah kebutuhan hidup.

Menghadap-hadapkan buku dengan gaya hidup sebenarnya klise, termasuk dengan 
menilai pandangan bahwa buku lebih mulia daripada gaya hidup. Keduanya punya 
latar belakang panjang dan mengakar: Fungsi dan kelebihan masing-masing khas. 
Mereka lahir karena inovasi, teknologi, dan kebutuhan massa. Tanpa ada 
teknologi dan budaya massa, buku mustahil bisa dicetak ribuan kopi dan langsung 
memenuhi hasrat haus buku dunia.

Saya boleh dibilang agak abai pada gaya hidup, tapi karena alasan tertentu, 
sulit juga menghindari diri dari serbuan itu, terpaksa harus menerima 
kehadirannya. Misal memiliki handphone (HP). HP buat saya bikin beban, karena 
menambah pengeluaran rutin. Dengan menghabiskan kira-kira Rp 70 ribu per bulan 
untuk beli pulsa, kalau mau bisa saya gunakan untuk beli buku atau langganan 
Writer's Digest. HP saya kelas teri, tak ada fitur MP3 player, tanpa kamera, 
tak bisa terima MMS, tapi untuk memenuhi garis gaya hidup, rasanya cukup. Saya 
jelas lebih cinta buku daripada HP; saya baru beli pulsa kalau mau habis masa 
aktif dan sering saya biarkan kosong. Tapi, dari HP saya terima order atau 
janjian untuk mengerjakan proyek perbukuan. Jadi, HP cukup berharga buat 
dipertahankan. 

Yang sering saya pikirkan ialah bagaimana cara kalangan industri buku bisa 
mempersuasi masyarakat untuk meningkatkan daya beli buku, agar mau belanja 
lebih banyak buku. Mungkin ini terkait dengan penghasilan. Orang sudah bisa 
beli pulsa dengan Rp 5.000. Dengan uang segitu kita hanya bisa dapat buku loak 
atau cuci gudang, yang baru dijual di tempat khusus dan waktu tertentu. Ini 
repot. Buku kalah bersaing. Orang berpenghasilan rendah dan banyak keperluan 
lain terpaksa menunda keinginan beli buku, semata-mata karena tak terjangkau. 
Padahal kalau bisa, mereka juga ingin punya buku bagus, meski harganya bisa di 
atas Rp 1 juta. Yang menarik, sering ada buku kuno ternyata berharga jutaan; 
sementara makin kuno HP, ia makin tak berharga. 

Bagaimana cara menjadikan buku sebagai gaya hidup, agar orang makin mau belanja 
buku? Itu pertanyaan sulit. Ada faktor "kemudahan" di sana. Bawa HP ringan, 
fleksibel, keren. Sementara, bawa buku agak berat, butuh ketenangan buat 
mengakses, meski tetap bisa gaya dan keren. Rasanya keren kalau saya bawa-bawa 
Cherish Every Moment (Arvan Pradiansyah) atau Muhammad: Prophet for Our Time 
(Karen Armstrong) kala naik angkot. Atau tahu seseorang sudah baca Martin Amis 
atau Salman Rushdie. Saya selalu menyarankan judul buku kalau memungkinkan. 
Saya sering bertemu bookaholic, meski HP mereka bocel-bocel saking tua. 
Sekarang mana keren kalau orang tak tahu Laskar Pelangi atau Ayat-ayat Cinta? 

Saya tak berusaha menganggap gaya hidup jadi salah satu perusak masyarakat mau 
baca. Tren buku bisa berubah menggairahkan dan kadang-kadang jadi massif. 
Banyak orang menilai kesuksesan Pesta Buku Jakarta atau Islamic Book Fair 
merupakan tanda bahwa masyarakat sebenarnya punya daya beli buku besar. Haidar 
Bagir, CEO Mizan Publika, kemarin terpilih sebagai salah satu Top Ten The Best 
CEO 2008 versi majalah SWA, itu tanda bahwa industri buku mengalami kemajuan 
pesat, termasuk dari segi manajerial. 

Digibookgallery.com menerbitkan buku digital yang bisa dibaca di HP, PDA, 
notebook, dan PC --saya pikir itu tanda zaman sudah berubah. Bagaimana cara 
agar pemilik HP canggih dan perangkat gaya hidup era informasi mau beli buku 
digital yang harganya lebih terjangkau dari buku kertas? Dalam industri, 
komoditas harus mencari cara agar bisa diserap pasar sebesar mungkin, termasuk 
kalangan paling miskin. Rasanya malu menyalahkan gaya hidup sebagai alasan 
orang malas beli buku.

Keprihatinan tersingkirnya buku oleh gaya hidup mungkin malah bisa membuat buku 
tambah sulit dijangkau, karena kalangan perbukuan sendiri menganggap begitu. 
Banyak yang suka baca, tapi tak bisa beli buku. Mungkin salah satu kuncinya 
ialah mendekatkan buku pada massa, biar mereka bisa mengakses dan memiliki, 
dengan begitu barangkali bakal tercipta masyarakat yang punya keinginan kuat 
(demand) terhadap buku. 

Keinginan saya pada buku rasanya malah tiada habis. Tapi, apa daya tak terbeli 
semua. Saya ingin punya ensiklopedia, kamus bagus, novel kelas dunia, serial 
mahal yang biasa ditawarkan lewat direct selling, dan kadang-kadang penjualnya 
teman saya sendiri. Walhasil, saya harus ke perpustakaan. Beberapa perpustakaan 
di Bandung bagus dan nyaman, seperti Rumah Buku di Hegarmanah dan Bale Pustaka 
di Keuskupan.

Ada kala saya sedih hidup di dunia buku. Tapi, setiap kali lihat kesuksesan 
atau inovasi di industri ini, saya senang. Kadang-kadang saya merasa terlalu 
rewel pada buku, namun selalu salut pada banyak orang yang berusaha memajukan 
dunia buku dengan berbagai cara yang lebih tulus maupun inovatif dan canggih. 
Ide buku dari berbagai kalangan butuh pengabdian dan kinerja lebih baik.

Tentu industri buku harus lebih halus bersiasat menghadapi zaman, lebih mau 
belajar cara menyelusupkan ide buku kepada banyak orang ke balik-balik gaya 
hidup, mengukuhkan buku sebagai bagian esensial kehidupan, tanpa perlu khawatir 
digerogoti gaya hidup.

(Anwar Holid ) 

http://www.republika.co.id/Koran_detail.asp?id=329302&kat_id=319

Kirim email ke