----- Original Message ----- From: Jenny Jusuf
Sent: Tuesday, January 13, 2009 10:29 AM
Subject: (Inspirasi) Yes, I Can!


“Gila.”
“Edan!”
“Ih, nekat amat.”
“Alah, kayak berani aja lo.”
“Bahaya, tauuu.”



Itu reaksi mayoritas yang saya terima ketika saya mengutarakan rencana kepergian ke Salatiga (Jawa Tengah) kepada beberapa orang, akhir Desember lalu. Saya tidak tahu kenapa komentar-komentar semacam itu muncul. Barangkali karena saya belum pernah berpergian ke tempat yang cukup jauh sebelumnya. Barangkali karena satu-satunya kota yang pernah saya sambangi hanya Bandung (Cirebon dan Semarang juga pernah, tapi berangkatnya serombongan, untuk menghadiri pernikahan. Jadi nggak dihitung ;-D). Barangkali karena saya hanya berbekal backpack pinjaman dan uang seadanya. Atau, barangkali, karena dalam perjalanan ini, tidak ada seorang pun yang menemani saya.


Saya akan pergi sendirian. Seorang sepupu yang berbaik hati meminjamkan backpack dan kamera hanya bisa geleng-geleng sambil berkomentar, “What you’re doing is pretty dangerous. But knowing you, there’s no way stopping you.” Saya hanya mesam-mesem.


“Sama siapa perginya?”
“Ada saudara di sana?”
“Kenapa Salatiga?”
“Nanti tinggal di mana?”
“Di sana rencananya mau kemana dan ngapain?”


Itu top five questions dari beberapa teman yang sempat saya beritahu beberapa hari menjelang keberangkatan. Saya sengaja tidak mengabari semua orang, karena malas mendapat reaksi seperti di atas.


“Sendiri.” Itu jawaban untuk pertanyaan nomor satu. “Nggak,” untuk jawaban nomor dua, dan “Nggak tahu” untuk pertanyaan ketiga dan seterusnya. Saya tidak mempersiapkan apa-apa secara khusus. Secarik kertas berisi alamat penginapan murah dan beberapa tempat wisata yang saya dapatkan dari internet pun akhirnya hanya terlipat di dalam buku catatan yang sengaja saya bawa sebagai pengganti laptop.


Apa yang saya cari di sana? Apa yang ingin saya dapatkan dari perjalanan ini? Apa yang ingin saya capai?


Tidak tahu.


Sore itu, saya menaiki bis jurusan Jakarta-Solo dengan sebuah backpack. Tanpa ekspektasi. Tanpa tahu apa yang harus saya harapkan. Tanpa gambaran sedikit pun tentang apa yang akan saya temui, hadapi, dan lakukan setibanya di sana. Hanya saya dan backpack, yang terpaksa dipeluk erat-erat selama sebelas jam lantaran rak-rak di bagian atas bis sudah terisi penuh.


Ketika akhirnya menginjakkan kaki di Perempatan Jetis, Salatiga, pukul setengah empat esok paginya, hal pertama yang terlintas di benak saya adalah, “Ih gila, nyampe juga!” Sekilas, terbersit rasa bangga, yang cuma bertahan sebentar.


Okay, sudah sampai. Lalu, apa?


Tidak tahu.


Selama empat hari berikutnya, saya tinggal di sebuah wisma di Jalan Adisucipto. Saya bergaul dengan tamu-tamu yang menginap di sana, dan memperoleh informasi mengenai tempat-tempat yang layak dikunjungi di sekitar Salatiga. Saya mendapat keterangan dari petugas wisma berupa petunjuk jalan, nomor kendaraan umum, dan waktu yang diperlukan untuk mencapai sebuah lokasi. Berbekal itu semua, saya memberanikan diri memanggul backpack kemana-mana, menjajal berbagai jenis angkutan, dari andong, ojek, angkot, bis besar, minibis, sampai becak.


Suatu malam, saya mengobrol dengan seorang petugas wisma tentang rencana mengunjungi Ambarawa dan Kopeng, daerah sejuk yang berjarak sekitar duapuluh kilometer dari Salatiga, terkenal dengan pemandangan indahnya, dan dapat dicapai dalam tigapuluh menit. Seorang tamu yang kebetulan berada di situ ikut menimpali pembicaraan, dan tak lama kemudian ia mengubah pikiran saya dengan suksesnya.


Saya tidak jadi mengunjungi Ambarawa. Saya akan pergi ke Borobudur, yang berjarak tiga jam perjalanan dari Salatiga. Si petugas wisma hanya bengong ketika saya memantapkan niat itu sambil cengar-cengir.


Esok paginya, saya bangun pukul setengah empat, bersiap-siap sekadarnya tanpa sempat sarapan, dan langsung menuju pangkalan bis dengan angkot. Saya memakai baju tiga lapis, dan memang udara saat itu luar biasa dingin. Selama perjalanan, tidak henti-hentinya saya merapatkan tangan di dada dan berulang kali menarik backpack untuk melindungi tubuh dari hawa dingin. Asap rokok dari beberapa penumpang yang ngebul seperti kereta dan asap knalpot –yang entah bagaimana terus tercium sepanjang perjalanan- tidak membuat suasana bertambah baik.


Setelah turun di terminal Magelang, saya dua kali berganti kendaraan sebelum akhirnya berhasil sampai di kawasan wisata Borobudur. Matahari bersinar terik. Menyengat. Entah kenapa bisa begitu, padahal satu jam sebelumnya saya baru menggigil di atas bis. Tidak ada kalimat yang bisa mewakili apa yang saya rasakan tatkala melihat puncak Borobudur di kejauhan, sementara kaki saya terus melangkah, mendekatkan saya kepada monumen menakjubkan yang (pernah) menjadi salah satu keajaiban dunia.


The feeling was indescribable. Perempuan berjilbab yang berjalan di depan saya melafalkan nama Tuhan dengan lirih. Saya ingin meneriakkan hal serupa, tapi tak ada satu pun kata yang terucap. Pegal-pegal di tubuh, keringat yang terus bercucuran, lapar yang mulai mendera, haus yang belum terpuaskan sejak pagi, teriknya matahari yang membakar kulit… mendadak semua luntur. Luruh begitu saja. Digantikan senyuman yang tak henti-hentinya terkembang dan semangat untuk berjalan semakin cepat.


Pemandangan dari puncak Borobudur adalah hadiah tak ternilai yang membayar lunas segala pencarian, pertanyaan, kebimbangan, dan kelelahan saya selama enam bulan terakhir. Ketika menatap awan yang berarak menutupi pegunungan dan pucuk-pucuk pohon, tidak ada yang bisa saya lafalkan selain terima kasih dari hati yang terdalam kepada Sang Pemberi Hidup, Pencipta Semesta, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk hadir di sana.


Semua terasa bagaikan oase. Melihat Borobudur dengan mata kepala sendiri. Merasakan suasana sakral yang meneduhkan hati, meski saya menyayangkan banyaknya pedagang yang hilir-mudik dan wisatawan yang bertingkah sesukanya (seperti memanjati stupa dan membuang sampah sembarangan) – plis deh. Mengagumi pemandangan indah yang terhampar bagai foto di kartu pos dan kalender. Memuaskan imajinasi dengan berkhayal bermain di lembutnya awan.


Tanggal lima Januari, pukul lima sore, saya kembali ke Jakarta dengan berat hati. Susah rasanya berpisah dengan kota yang telah memberi begitu banyak kesan, kendati saya hanya tinggal selama empat hari. Kota yang telah saya anggap rumah sejak hari pertama. Kota yang telah membuat saya jatuh hati dengan udara sejuknya, suasana hangatnya, dan penduduknya yang ramah. Kota yang tenang, sunyi, dan damai, yang memberi ruang pada benak untuk bernafas lega. Amat berbeda dengan kehidupan di kota besar yang terus-menerus membombardir pikiran dan acapkali menghimpit hati, sehingga kesempatan untuk berdiam dalam hening dan melongok ke dalam diri sendiri menjadi sesuatu yang langka, bahkan mewah. Kemewahan seperti itu, lucunya, saya dapatkan dengan mudah di kota kecil nan sederhana bernama Salatiga, yang begitu kontras dengan gemerlapnya Jakarta – dimana segala sesuatu tersedia dan bisa diperoleh dengan gampang asalkan punya uang *cough*.


Sepanjang perjalanan pulang -dan beberapa hari sesudahnya- berulang kali saya merenung. Mencoba mencerna apa saja yang telah saya lalui empat hari terakhir. Enam bulan belakangan. Meski tahun baru sudah lewat seminggu, rasanya belum terlambat untuk sekali lagi berkaca pada diri sendiri. Pada berbagai pengalaman dan kejadian yang turut membentuk saya hingga mencapai tahap ini.


Saya tercenung tatkala menyadari sesuatu. Bertahun-tahun hidup dalam pengkondisian yang diciptakan oleh lingkungan sekitar, ternyata telah membentuk saya menjadi sosok yang bergantung kepada orang lain. Bukan dalam arti tidak bisa mengerjakan apa-apa sendiri (bekerja dan hidup mandiri di kos-kosan sudah cukup membuktikan, toh? *wink*), melainkan dalam hubungan personal dan ‘hubungan’ dengan diri sendiri.


Atas nama privasi dan etika, tidak banyak yang bisa saya ceritakan tanpa menghambur-hamburkan isi perut. Yang jelas, pengkondisian yang saya terima (dan patuhi) bulat-bulat lambat laun menjadikan saya orang yang sangat dependen. Saya sering merasa ‘kehilangan’ separuh diri saya dan membutuhkan kehadiran orang lain untuk melengkapinya. Orang yang saya sayangi. Yang saya puja, bahkan idolakan. Yang saya ikuti suri tauladannya *halah, tauladan*. Yang bisa saya jadikan contoh dan panutan. Yang dapat menunjukkan kepada saya, seperti apa hidup yang seharusnya. Yang dapat melengkapi saya. Tanpa kehadiran sosok tersebut, saya merasa hampa. Merasa serbakurang. Merasa tidak percaya diri. Merasa tidak dapat melakukan hal-hal ‘besar’, apalagi yang membutuhkan keberanian. Tidak sanggup mengapresiasi diri sendiri sebagaimana layaknya, betapa pun seringnya saya menerima pujian dari orang-orang.


Saya tidak tahu apa yang mendorong saya untuk mengemasi pakaian dan memesan tiket bis antarkota. Saya tidak tahu apa yang membuat saya melangkahkan kaki ke sebuah kota kecil yang sama sekali asing. Saya tidak tahu apa yang membuat saya begitu kekeuh ingin pergi seorang diri. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya nekat bangun pagi-pagi, menenteng ransel, dan pergi ke Borobudur. Saya bahkan tidak tahu apa yang saya tuju, apa yang ingin saya raih. Namun, satu hal kini menjadi jelas: pelan namun pasti, sebuah kesadaran mulai muncul. Tentang siapa saya. Tentang apa yang bisa saya lakukan. Tentang mendengarkan suara hati. Tentang tekad. Tentang keberanian. Tentang perubahan. Tentang hidup itu sendiri.


Malam ini, ketika menuliskan entri ini dengan gambar pegunungan dan arak-arakan awan yang menghiasi layar komputer, saya kembali diingatkan pada satu-satunya hal yang paling saya inginkan. Permohonan sederhana yang saya panjatkan menjelang pergantian tahun. Untuk hidup, seutuhnya.


Malam ini, ketika memandangi foto-foto hasil ‘buruan’ di tanah Jawa, kenangan itu kembali berhamburan. Menyerbu ruang-ruang kosong di benak, menghadirkan kembali segala rasa yang singgah selama perjalanan. Rasa nyaman itu. Kehangatan itu. Senyuman itu. Wajah-wajah berbinar itu. Oase itu. Saat-saat itu.


Dari sekian banyak kenangan yang tersisa, ada satu yang ingin saya kristalkan lebih dari yang lain: kenangan akan Candi Borobudur yang menjulang tinggi ketika saya berjalan menghampirinya dengan senyum terentang. Bukan karena ia salah satu monumen paling menakjubkan di dunia. Bukan karena saya bangga berhasil menapakinya sampai ke puncak tertinggi. Bukan pula karena saya telah bermimpi untuk bisa pergi ke sana sejak lama.


Kenangan itu menjadi harta paling berharga dalam laci memori saya, karena ketika saya menginjakkan kaki di anak tangga Borobudur, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya benar-benar yakin: saya bisa.


“You have brains in your head. You have feet in your shoes. You can steer yourself any direction you choose. You’re on your own, and you know what you know. And you’re the one who’ll decide where you’ll go. Oh the places you’ll go.” (Dr. Seuss)


ROCK Your Life!
- Jenny Jusuf -
http://jennyjusuf.blogspot.com




--------------------------------------------------
Official Mailing List: Porsenipar ke IV Tahun 2007 -=== Perumahan BDB2 dan BDB3, Cibinong, Bogor ===-
-= Menjiwai Semangat Kebangsaan dengan Prestasi =-

| Official Website: http://www.porsenipar.web.id |
------- Porsenipar Media Center: 6849-6001 -------

Kirim email ke