Memperkuat Iman dan Bersikap Toleran
Oleh: Dr. Yusuf al-Qadhawi 

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka 
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka 
menjadi orang-orang yang beriman semuanya?," (QS Yunus [10]: 99) 


Begitu banyak cobaan yang dialami Rasulullah Saw. saat menyebarkan agama Islam. 
Beliau dihina, dicaci, dituduh gila, diiming-imingi harta berlimpah untuk 
menghentikan dakwah, bahkan tubuh beliau pun tidak luput dari aksi kekerasan 
yang dilakukan oleh kaum beliau sendiri, yakni kaum Quraisy. Namun beliau tetap 
tegar menyampaikan risalah Islam dan tidak tergiur dengan banyaknya harta yang 
ditawarkan oleh kaum Quraiys. 

Beberapa kali pihak Quraisy mengajak Rasulullah berdamai melalui paman beliau, 
Abu Thalib, untuk menghentikan dakwah keponakannya dengan imbalan harta yang 
berlimpah. Abu Thalib pun menyuruh Rasulullah bersikap lunak terhadap 
orang-orang Quraisy karena khawatir akan berbagai ganguan yang akan menimpa 
jika Rasulullah bersikap keras terhadap mereka. 
Menanggapi permintaan paman-nya ini, beliau bersabda, "Demi Allah wahai 
pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di 
tangan kiriku agar menghentikan dakwah ini (Islam), aku tidak akan 
menghentikannya sampai Allah menampakkan kebenaran ini atau membinasakan yang 
selainnya." 

Inilah sikap yang ditunjukkan Rasulullah saat godaan dan tantangan menghalangi 
dakwah beliau. Beliau tidak goyah dan condong untuk menghentikan dakwah yang 
beliau sampaikan, tapi tetap teguh memegang keimanannya. Sikap seperti ini juga 
ditunjukkan oleh para sahabat. Mereka teguh dengan keislaman mereka dan membela 
kebenarannya dengan sekuat tenaga. Umar bin Khattab pernah berkata, "kami 
adalah kaum hina yang termuliakan dengan ajaran Islam. Maka barangsiapa yang 
menginginkan kemuliaan dengan selainnya maka akan terhina di hadapan Allah." 

Seorang Muslim yang saleh tidak akan menjual agama maupun menghinakannya. Meski 
harus ditukarkan dengan berbagai kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ia juga 
tidak akan lari meskipun beruntun cobaan menghampirinya. Ia bahkan akan 
senantiasa menghadapi segala cobaan yang ada dengan keyakinan bahwa semua itu 
merupakan ketentuan Allah untuk menguji para pelaku dakwah Islam dan pemangku 
risalah kebenaran. 

Allah mendidik mereka dengan berbagai cobaan dan Allah menyucikan jiwa mereka 
dengan berbagai ujian.  Dalam pandangan Allah, mereka ibarat emas murni yang 
telah dikeluarkan dari jilatan api. Allah berfirman, "Katakanlah: 'Sekali-kali 
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi 
kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman 
harus bertawakkal'," (QS at-Taubah [9] 51). 

Bersikap Toleran 
Alquran mengisyaratkan agar kita berpegang teguh pada ajaran Islam dan pada 
saat yang bersamaan juga bisa bersikap toleran kepada agama lain. Sebagaimana 
kedua kewajiban ini tergambar dalam Surah al-Kafirun. Allah berfirman, 
"Katakanlah, 'Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa Vang kamu 
sembah. Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah. Dan aku tidak pemah 
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi 
penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmulah agamamu, don untukkulah agamaku'," 
(QS al-Kafirun [109]: 1-6). 

Semua ayat dalam surat tersebut dengan gamblang menyuruh kita agar berpegang 
teguh dengan ajaran Islam. Tetapi, pada akhir ayat ditegaskan keharusan 
bersikap toleran seperti dalam Firman-Nya, "Untukmulah agamamu, dan untukkulah 
agamaku." Setiap agama bebas untuk tumbuh dan hidup karena semuanya akan 
dipertanggungjawabkan kelak di akhirat di hadapan Allah. Bersikap toleransi 
adalah sikap yang sesuai dengan akidah dan ajaran Islam. Dengan alasan: 

Pertama, seorang Muslim meyakini bahwa kitab suci yang senantiasa dibacanya itu 
menyatakan dengan jelas adanya ragam agama manusia. Kenyataan ini merupakan 
kenyataan yang dikehendaki Allah. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari 
berbagai hikmah. Sebab, apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi. 
Firman-Nya, "Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang 
di muka bumi seluruhnya,"(QS Yunus [10]: 99). 

Kedua, pertanggungjawaban bahwa seseorang adalah kufur dan sesat bukanlah di 
kehidupan dunia ini. Melainkan kelak di hari terakhir di saat semua amal 
perbuatan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Ketiga, seorang Muslim 
diperintahkan agar mampu berbuat adil kepada semua orang. Allah berfirman, "Hai 
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu 
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah 
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku 
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan 
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa Vang kamu 
kerjakan," (QS. al-Maidah [5]: 8). 

Dalam kitab tafsir disebutkan, dalam Alquran dijelaskan sembilan ayat dalam 
surat an-Nisa' yang menegaskan pembelaan terhadap seorang Yahudi yang tertuduh 
berbuat zalim padahal ia tidak melakukannya sama sekali. Padahal, pelaku 
sebenarnya adalah orang Islam sendiri. Para keluarga dan sanak saudaranya 
mengajukan kepada Rasulullah Saw. agar beliau membela anggota keluarga mereka 
dan memberikan hukuman kepada orang Yahudi tersebut. 
Tidak lama kemudian, diturunkanlah ayat; "Sesungguhnya Kami telah menurunkan 
Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia 
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi 
penantang orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang 
khianat. Dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang 
yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang 
selalu berkhianat lagi bergelimang dosa," (QS. Al-Nisa' [4]: 105-107). 

Keempat, Islam memuliakan umat manusia karena kemanusiaannya, bukan karena yang 
lainnya. Terlepas apakah dia seorang Muslim atau bukan. Firman-Nya; "Dan 
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam," (QS al-Isra' [17]: 70). 

Menebar Cinta 
Hakikat beragama tiada lain, menebar cinta dalam bidang apapun, dengan upaya 
yang setinggi-tingginya. Cinta pertama yang paling agung adalah cinta kepada 
Allah SWT sebagai sumber berbagai kenikmatan dan pemberi segala kebaikan. 
Adalah hak bagi seorang manusia-bahkan mungkin kewajiban-untuk senantiasa 
mencintai siapa saja yang telah berbuat baik kepadanya. Manusia adalah hamba 
kebajikan. 

Mencintai Allah juga karena Dia adalah sumber segala keindahan dan kesempumaan. 
Betapa kita melihat penciptaan kosmis sebagai wujud keindahan dan 
kreativitas-Nya yang Maha Agung. Mencintai semua makhluk hidup yang tumbuh dan 
menyebar di muka bumi juga termasuk bagian dari mencintai-Nya. Sebab, semua 
makhluk itu tiada lain diciptakan hanya demi melayani kebutuhan dan 
kemaslahatan semua manusia. 

Bagi seorang Muslim alam dan makhluk hidup mitra hidup yang mesti dijaga dan 
dipelihara. Sabda Nabi Saw bahkan menggambarkan betapa kecintaan itu begitu 
luhur terlebih kepada makhluk-makhluk yang ada di muka bumi. Nabi Saw bersabda 
tentang Gunung Uhud ketika ia melewatinya dalam suatu perjalanan, "Inilah 
Gunung Uhud yang mencintai kita dan kita mencintainya." 

Dalam hadist ini, beliau menegaskan bahwa Gunung Uhud pun mencintai mereka, 
seolah makhluk yang memiliki perasaan sebagaimana manusia. Pendeknya, kewajiban 
kita adalah mencintai manusia, berbuat baik kepada seluruh manusia, memberikan 
petunjuk kepada seluruh manusia, mencintai kebahagiaan dan keselamatan bagi 
seluruh manusia, serta menebar persaudaraan dan cinta kasih dengan sesama 
manusia. Tidak ada kebencian dan permusuhan dalam fitrah kemanusiaan seseorang. 
Islam justru membenci kejahatan, keburukan, dan permusuhan yang bersarang dalam 
semua orang-orang yang telah terpengaruh oleh setan terlaknat. 

Tidak benar Islam disebarkan dengan pedang sebagaimana yang selama ini dikenal. 
Islam tersebar karena para pemeluknya menebar cinta kepada seluruh manusia. 
Akhimya, mereka mencintai Islam karena kecintaan mereka terhadap orang-orang 
Islam. Orang-orang yang menganggap bahwa umat Islam membenci semua orang kafir 
adalah keliru. Islam hanya menentang orang-orang kafir yang menentang dan 
memusuhi Allah beserta Rasul-Nya. Adapun orang kafir biasa, maka tidak ada 
alasan sedikit pun untuk tidak kita jadikan sebagai teman, tetangga, bahkan 
kerabat. Selama mereka memang tidak memusuhi dan memerangi umat Islam. 

Bukankah Islam telah membolehkan seorang Muslim untuk menikahi perempuan ahli 
kitab yang non-Islam. Menjadikan mereka sebagai mitra dan pendamping hidup 
dengan penuh cinta dan belaian kasih sebagaimana digambarkan oleh Alquran 
seputar pernikahan. Apakah masuk akal seseorang tidak mencintai isterinya 
sendiri atau ibu dari anak-anak kandungnya? Imam Hassan al-Banna pemah 
mengatakan, "Kami akan memerangi seluruh manusia dengan cinta dan bukan dengan 
pedang!" 

Wallahu a'lamu bis shawab. 
Sumber: Disarikan dari buku "Menjadi Muslim Par Excelence", (Jakarta: Grafindo, 
2004). 

Kirim email ke