http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/02/index.html

SUARA PEMBARUAN DAILY 
Bom Waktu Industri Penerbangan Kita
 

H Sumaryoto 

EBERAPA hari setelah pengumuman hasil investigasi Komisi Nasional Keselamatan 
Transportasi (KNKT) atas kecelakaan pesawat Lion Air di Bandara Adisumarmo, 
Solo, muncul komentar lucu sekaligus menyedihkan. 

Komentar itu muncul dari Manajer Humas PT Lion Mentari Airlines yang menyatakan 
tengah mempertimbangkan untuk menuntut Bandara Adisumarmo dengan alasan 
kecelakaan tersebut disebabkan oleh kondisi bandara yang tidak memadai. 

Pernyataan tersebut lucu karena niat menggugat itu menunjukkan yang 
bersangkutan tidak serius membaca hasil investigasi KNKT, yang jelas-jelas 
menyatakan bahwa bandara bukan satu-satunya penyebab kecelakaan. 

Sebaliknya, menyedihkan karena dari pernyataan tersebut kita bisa mengukur 
seberapa besar kadar kesadaran pihak maskapai penerbangan untuk berbenah. Dalam 
laporan KNKT, ada empat faktor penyebab kecelakaan pesawat Lion Air nomor 
penerbangan LNI 538 pada 30 November 2004, yang menewaskan 25 orang tersebut. 

Faktor pertama adalah hydroplaning atau akibat tergenangnya landasan. Kedua, 
angin buritan (tail winds) sebesar 13 knots. Ketiga, tertutupnya panel perusak 
gaya angkat di bagian sayap (spoiler) dan pintu pembalik arah gaya dorong mesin 
(reverser). Dan keempat, terkoyaknya bagian depan fuselage pesawat karena 
menabrak antena localizer hingga jatuh korban, terutama penumpang di kursi 
baris nomor 1 sampai 11. 

Jadi, jelas tragedi Lion Air melibatkan banyak faktor. Bandara bukanlah 
satu-satunya kontributor terjadinya kecelakaan. Oleh karena itu, agar tragedi 
serupa tidak terulang, harus dicari solusi terbaik atas kompleksitas 
permasalahan yang ada, bukan memilih faktor mana yang enak dijadikan kambing 
hitam. 


Lingkungan Industri 

Dalam sebuah kecelakaan udara, sangat sulit memutuskan siapa yang benar-benar 
bersalah. Sebab, lazimnya industri, lingkungan perhubungan udara terdiri dari 
berbagai pelaku yang kemudian membentuk sistem transportasi udara. 

Tapi bila hendak dianalisis, dalam kasus ini setidaknya ada tiga pelaku yang 
perannya lebih besar dibandingkan yang lain. Ketiga pelaku itu adalah PT 
Angkasa Pura sebagai pengelola bandara, Badan Meteorologi dan Geofisika sebagai 
penyedia data cuaca, dan maskapai penerbangan. Kinerja ketiga pelaku itulah, 
dengan tanggung jawab masing-masing, yang bisa memberi gambaran lebih utuh 
mengenai kualitas kondisi penerbangan kita. 

Dalam tragedi Lion Air, ketiga pelaku mendapat angka merah. Tiap pelaku memberi 
kontribusi atas terjadinya kecelakaan. Mana kontribusi yang lebih besar tidak 
perlu diperdebatkan di sini. Sebab selain kontraproduktif, perdebatan macam itu 
akan berujung pada ego dan konflik kepentingan, hingga justru menjauhkan kita 
dari upaya mencari solusi. 

Pelaku pertama, yakni PT Angkasa Pura, adalah pihak yang bertanggung jawab atas 
tersedianya infrastruktur bandara yang memadai. Sebagai pengelola bandara, 
apalagi bila mengoperasikan bandara internasional, wajib hukumnya menyediakan 
sarana dan prasarana yang juga berkelas internasional. 

Sayangnya, hal itu tidak kita dapatkan di Bandara Adisumarmo. Selain genangan 
air yang menyebabkan hydroplaning, bukti sederhana lain adalah keberadaan makam 
dan antena localizer di ujung landasan. 

Berdasarkan standar RESA (Runaway End Safety Area) dalam ICAO Annex 14, 
seharusnya dalam jarak 150 meter dari ujung landasan harus berupa lahan kosong. 
Tidak boleh ada bangunan, sungai, dan sebagainya. Persyaratan itu tidak bisa 
dipenuhi. Antena localizer berada dalam rentang 140 meter dari ujung landasan. 
Akibatnya, ketika pesawat menabrak fondasi antena, penumpang yang duduk di 
deretan kursi nomor 1 sampai 11 pun tewas. 

Pelaku kedua, Badan Meteorologi dan Geofisika, juga kurang berprestasi. Dalam 
laporan KNKT, disebutkan pilot Lion Air menerima laporan bahwa kecepatan angin 
saat itu sebesar 8 knot. Namun, setelah dilakukan perhitungan melalui FDR 
(Flight Data Recorder), ternyata kecepatan angin buritan (tail wind) sebesar 13 
knot alias 3 knot lebih besar dari standar yang ditetapkan, yaitu 10 knot. 

Mengapa mis-informasi semacam itu bisa terjadi, tentulah jadi pekerjaan rumah 
pelaku terkait untuk menjawabnya. Dari fakta itu, koordinasi penyediaan 
informasi cuaca yang akurat ternyata masih jadi kendala. Ini ironis, mengingat 
informasi itu sebenarnya sangat diandalkan pilot untuk memutuskan apakah akan 
mendarat atau menunda pendaratan. 

Pelaku ketiga, yakni maskapai penerbangan. Prestasinya tidak bisa dibilang 
baik. Laporan KNKT sudah cukup jelas untuk soal ini. Bahkan dari sembilan poin 
rekomendasi, empat di antaranya ditujukan kepada maskapai. Antara lain: 
menjadikan prosedur pengoperasian pesawat pada wet runaway sebagai bagian dari 
memory items (hal yang harus diingat pilot), review terhadap prosedur perawatan 
pesawat, terutama untuk kesalahan yang terus berulang (spoiler dan reverser), 
hingga saran untuk me-review design-go-around switches pada pesawat MD-80's 
series. 


Akar Masalah 

Dari kompleksitas masalah di atas, jelas bahwa permasalahan perhubungan udara 
tidak bisa dipandang secara parsial. Membenahi maskapai namun tidak 
meningkatkan kondisi bandara tidak akan menyelesaikan masalah. Demikian juga 
sebaliknya. Baru setelah ketiga pelaku utama industri perhubungan udara itu 
bersinergi secara maksimal, kita boleh berharap mendapat layanan udara yang 
aman dan berkualitas. 

Sayangnya, justru prinsip sinergi antarpelaku dalam industri layanan udara 
inilah yang tidak mencuat dalam berbagai pembahasan mengenai evaluasi tragedi 
Lion Air. Sebaliknya, tiap pelaku terkesan berusaha meminimalisasi 
kontribusinya pada kecelakaan tersebut -dan kalau bisa-memperbesar kontribusi 
pelaku lain. 


Di samping contoh yang telah disebutkan di awal tulisan ini, beberapa 
pernyataan pejabat atau "pengamat transportasi udara" juga cenderung 
menitikberatkan pada kesalahan pada salah satu pihak semata. Harus diakui, 
peran media massa dalam membingkai laporan mengenai hasil investigasi KNKT 
berdasarkan angle masing-masing juga turut memberi andil atas tersebarnya 
pemahaman sepihak ini. 

Persoalan jadi bertambah rumit karena ketiga pelaku berada pada garis 
koordinasi yang berbeda. Maskapai misalnya, secara hukum berada dalam 
kewenangan Kementerian Perhubungan. Kementerian itulah, dalam hal ini 
Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara (DSKU), yang bertanggung jawab atas 
kelaikan pesawat-pesawat. 

Tapi pengelola bandara, yakni PT Angkasa Pura, berada dalam kewenangan 
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ini berarti meski kedua pelaku 
industri itu sama-sama bergerak di bidang perhubungan, dalam soal 
pertanggungjawaban kinerja, atasannya berbeda. Belum lagi kalau menghitung BMG 
yang merupakan pihak luar dari dua kementerian tersebut. 

Dengan kata lain, relasi ketiga pelaku industri angkutan udara itu sejak awal 
memang bersifat lintas sektoral. Maka dari itu, bila ketiganya diharapkan bisa 
bersinergi, dimulai dari bagian teratas (top management) masing-masing instansi 
induk. Itulah implikasi rekomendasi KNKT yang harus disadari semua pihak. Tanpa 
menyadari hal itu, rasanya tidak akan ada perubahan berarti dalam industri 
penerbangan kita. 

Soal ini kelihatannya absen dalam perbincangan tentang tragedi Lion Air. Sampai 
hari ini, kita belum melihat upaya-upaya yang dilakukan secara bersama oleh 
ketiga instansi terkait. Masyarakat bahkan tidak dilibatkan dalam berbagai 
upaya untuk mencegah tragedi serupa terulang. 

Sebenarnya kenyataan ini agak ironis. Selama ini, aspirasi masyarakat mengenai 
kondisi perhubungan udara memang kurang tersalurkan. Padahal, menurut UU No 15 
Tahun 1992 tentang Penerbangan, Bab II Pasal 2 disebutkan bahwa salah satu asas 
penerbangan adalah asas kepentingan umum, yang berarti mengutamakan kepentingan 
pelayanan umum bagi masyarakat. 

Saya pribadi awalnya berharap dengan dilakukannya audit terhadap bandara dan 
maskapai pascatragedi Lion Air tersebut, masyarakat bisa mengartikulasikan 
perannya. Apalagi Menteri Perhubungan sendiri sudah berjanji kalau hasil audit 
itu akan diumumkan secara transparan dan masyarakat dipersilakan memeriksa. 

Ini jelas langkah positif. Sebab bila masyarakat diberi akses untuk mengecek 
kondisi perhubungan udara, ia bisa menjadi pelaku keempat yang berfungsi 
sebagai check and balances atas permasalahan yang ada. 

Sayang, sampai sekarang hal itu belum diwujudkan. Hasil audit tersebut ternyata 
tidak diumumkan secara terbuka. Yang diberikan kepada masyarakat hanyalah 
kesimpulannya, bahwa "baik maskapai maupun bandara sama-sama tidak ada 
masalah". Berhenti sampai di situ. 

Karenanya, tidak ada salahnya curiga. Jangan-jangan audit itu lebih dilakukan 
untuk kepentingan internal instansi terkait ketimbang untuk memenuhi 
kepentingan masyarakat. 

Jadi, jelaslah bahwa transportasi udara pada hakikatnya merupakan alat 
transportasi yang paling tidak aman jika tidak didukung oleh teknologi pesawat 
yang canggih serta manajemen pengelolaan yang perfect. Hasil penelitian KNKT 
seyogianya bisa dijadikan pijakan awal untuk menelusuri bagaimana sesungguhnya 
cara mengurai benang permasalahan tersebut. 

Pekerjaan rumah lain yang perlu dicermati dan membutuhkan ketegasan Departemen 
Perhubungan adalah perang tarif. Realitas ini mempunyai double effect, pertama 
saling ''membunuh'' antarmaskapai karena persaingan yang tidak sehat dan kedua 
"terbunuhnya" moda transportasi lain seperti angkutan laut, kereta api, dan 
transportasi darat (bus). 

Di samping pelaku internal sistem pelayanan, peran serta masyarakat dalam 
mengondusifkan keselamatan penerbangan sangat diperlukan. Kejadian-kejadian 
seperti hewan ternak yang berkeliaran di sekitar bandara serta anak-anak yang 
bermain layang-layang seharusnya tidak ada lagi. 

Sebagai catatan terakhir, beberapa waktu lalu, kita kembali dikejutkan dengan 
terjadinya kecelakaan udara. Yakni tergelincirnya pesawat Lion Air di Bandara 
Hasanuddin, Makassar, disusul kejadian serupa pesawat Mandala di Bandara Ahmad 
Yani, Semarang. 

Meski tidak sampai menelan korban, kejadian yang prosesnya mirip tragedi Lion 
Air di Solo itu membuat saya miris. Jangan-jangan rekomendasi KNKT itu hanya 
berhenti sebatas rekomendasi. Jangan-jangan kita memang tidak pernah belajar 
dari kesalahan sebelumnya. 


Penulis adalah Wakil Ketua Komisi V DPR-RI, membidangi Infrastruktur, Perumahan 
dan Pembangunan Daerah Tertinggal 


Last modified: 2/3/05 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke