http://www.kompas.com/kompas-cetak/0411/11/opini/1372117.htm

Kamis, 11 November 2004

Cendekiawan dan Perburuan Kekuasaan
Oleh Imam Cahyono

BUKAN hal mudah, memisahkan cendekiawan dari politik kekuasaan. Ketika 
membicarakan kaum cendekiawan, kekuasaan adalah bagiannya dan menjadi 
sesuatu yang tak mungkin ditinggalkan (Dhakidae, 2003).
Eksistensi kekuasaan (baca: sebuah pemerintahan) tidak mungkin bertahan 
tanpa ada kaum cendekiawan. Sementara kaum cendekiawan tak bisa "ada" tanpa 
adanya politik kekuasaan sebab kekuasaanlah yang menjadikan kaum cendekiawan 
itu ada. Kekuasaan dapat mengubah medan kecendekiaan dan sebaliknya, 
cendekiawan juga dapat mengubah kekuasaan itu sendiri.
Bendaian vs Gramscian
Relasi kaum cendekiawan dan kekuasaan senantiasa mengundang pro-kontra cukup 
panjang dari dulu hingga kini. Di satu pihak, ada mazhab Bendaian yang 
berpandangan bahwa kaum cendekiawan harus mengambil jarak dengan politik 
kekuasaan. Di sisi lain, ada mazhab Gramscian yang menyatakan, cendekiawan 
harus memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu (movement 
intellectuals).
Sejarah panjang negeri ini nyaris tak bisa lepas dari pergulatan antara kaum 
cendekiawan dan kekuasaan. Center for Strategis and International Studies 
(CSIS) merupakan salah satu think tank yang termasyhur di zaman Soeharto 
berkuasa. Demikian juga dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di 
masa Orde Baru dan Habibie. Belakangan, banyak bermunculan 
institusi-institusi yang sepak terjangnya kurang lebih senada.
Pemilu 2004 pun tak bisa lepas dari pengaruh kaum cendekiawan. Banyak dari 
mereka berduyun-duyun mengadu nasib berburu kekuasaan. Ada yang secara 
vulgar menyatakan diri sebagai pendukung capres tertentu, ada juga yang 
secara sembunyi-sembunyi. Ada pula cendekiawan "abu-abu" yang sering 
berganti profesi, kadang ikut berpolitik, dan ketika kalah, ia mengenakan 
kembali baju kecendekiaannya. Tatkala Susilo Bambang Yudhoyono memenangi 
kursi kepresidenan, tak sedikit cendekiawan yang berbondong-bondong di 
belakang Yudhoyono.
Dalam perspektif Bendaian, jika seorang cendekiawan menjadi mesin politik 
kekuasaan berarti ia telah melakukan pengkhianatan. Hal ini merupakan 
kesalahan yang tidak terampunkan dari seorang cendekiawan. Semestinya 
cendekiawan menjadi moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) sekaligus 
menjadi penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan prinsip-prinsip moral. 
Kaum cendekiawan seharusnya mengambil jarak dengan proses-proses politik, 
bukannya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk mendukung kubu politik 
tertentu. Kehadiran kaum cendekiawan dalam ranah politik kecil 
kemungkinannya dapat menggulirkan ide-ide perubahan. Sebaliknya, hal ini 
akan membuatnya tenggelam, sekadar menjadi kaki tangan politik, alias 
budak-budak kekuasaan (servants of power).
Khotbah klasik Julien Benda (La Trahison des clercs) sejatinya mengingatkan 
ihwal kaum cendekiawan yang berburu kekuasaan akhirnya bersekutu dengannya 
dan karena itu mengkhianati jati dirinya. Benda memandang secara ideal 
normatif tugas dan tanggung jawab cendekiawan adalah sebagai pekerja mental. 
Cendekiawan tidak harus terlibat dalam kerja-kerja praksis yang bisa diukur 
dengan materi. Mereka lebih tepat melakukan pergulatan pemikiran pada aras 
konseptual, namun tetap berada di tengah masyarakat dalam membela 
nilai-nilai kebenaran.
Interpretasi Benda terhadap eksistensi kaum cendekiawan menyiratkan bahwa 
cendekiawan harus tampil sebagai resi atau begawan yang secara sadar 
mengambil jarak terhadap peristiwa-peristiwa sosial politik di sekitarnya. 
Kaum cendekiawan harus berada di atas angin agar terbebas dari polusi 
kekuasaan maupun materi. Konsekuensinya, kaum cendekiawan merupakan manusia 
yang tak boleh memiliki kepentingan praksis dalam keterlibatan sosialnya, 
kecuali demi tegaknya kebenaran itu sendiri.
Konstruksi intelektual yang dibangun Benda mendapat serangan balik dari 
tokoh-tokoh seperti Antonio Gramsci, Karl Mannheim, dan Ernest Gellner. 
Gramsci membedakan intelektual dalam dua perspektif, yakni intelektual 
tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional adalah 
figur-figur akademikus atau orang-orang yang lahir dari produk universitas, 
seperti dosen, ilmuwan, atau akademisi lainnya, termasuk mahasiswa.
Sementara intelektual organik, menurut Gramsci, merupakan bagian tak 
terpisahkan dari berbagai kelas. Karena itu, kelompok-kelompok, seperti 
buruh dan nelayan juga memiliki intelektual organik. Tak menutup 
kemungkinan, masuknya kelompok intelektual tradisional ke dalam klasifikasi 
ini.
Karl Mainnheim-sejalan dengan Gramsci-membalik tesis Benda seraya menuduh 
cendekiawan yang tak terlibat dalam masalah-masalah aktual di masyarakat, 
namun hanya menyuarakan kebenaran dari menara gading adalah sosok 
cendekiawan yang melakukan pengkhianatan intelektual (La Trahison de la 
trahison des clercs).
Dalam terminologi ini, cendekiawan bukanlah kelas sosial tersendiri, tetapi 
memiliki keterkaitan sosial di mana kegiatan yang diberi kategori 
intelektual mendapat tempat dalam hubungan sosial pada umumnya (Gramsci, 
1987). Kaum cendekiawan tak ditempatkan sebagai kelas tersendiri, tetapi 
berlaku bagi siapa saja yang melakukan perjuangan menegakkan kebenaran guna 
mewujudkan keadilan, kebebasan, dan demokrasi.
Pandangan yang lebih radikal dikemukakan Ali Syariati bahwa seorang 
cendekiawan harus melakukan kerja protes terhadap segala macam bentuk 
penyimpangan yang ada dalam masyarakat (Syariati, 1982). Cendekiawan sejati 
adalah mereka yang berani melakukan kerja protes atas kecenderungan 
destruktif di dalam masyarakat, tidak sekadar berdiam diri di atas menara 
gading atau memosisikan diri sebagai resi. Tugas kaum intelektual tak semata 
menganyam kata, menelurkan gagasan, tetapi juga harus berupaya mengubah 
realitas yang timpang, mengubah kata- kata menjadi kenyataan.
Selain Benda dan Gramsci, Machiavelli-dalam karya termasyhurnya The 
Prince-sebenarnya juga menyumbangkan gagasan mengenai peran kaum cendekiawan 
dalam perubahan, yakni keberadaan nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) 
(Garon, 2003).
Nabi-nabi ini tak lain adalah individu-individu di luar negara (baca: 
kekuasaan) yang berupaya dan berperan dalam membuka keran-keran ruang 
kebebasan publik. Mereka merupakan individu yang peduli untuk berjuang 
menantang aturan lama dan mempromosikan institusi politik baru, kendati 
mereka tidak memiliki wewenang dalam membuat kebijakan dan tidak memiliki 
tentara (no policy, no army). Meski minoritas, mereka berhasil membuka mata 
dunia, menyebarkan ide-ide baru untuk melakukan perubahan.
Keberadaan nabi-nabi ini tak bisa dipandang sebelah mata. Karl Marx, Henri 
Dunant, Gandhi, dan Paus Yohanes Paulus II adalah beberapa di antaranya. 
Konsep ini secara brilian dibumikan oleh Sakharov, Solzhenitsyn, dan Lech 
Waleca pada tahun 1980-an, yang berhasil menarik perhatian publik dan 
dukungan internasional untuk melakukan perubahan di negerinya.
Tak ada yang lebih menakutkan bagi keperkasaan rezim Bourguiba di Tunisia 
selain tulisan yang keluar dari pena Mohamed M'Zali, Moncef Marzouki, dan 
Ahmed Manai. Juga Tan Malaka lantaran ide-ide kritisnya. Tak ada yang lebih 
menakutkan Orde Baru ketimbang Wiji Thukul yang miskin, bertubuh kurus 
kering yang seumur hidup bernaung di bawah atap rumah petak di sudut gelap 
kota Solo.
Maka, besar harapan, kelak di masa mendatang akan terus lahir nabi-nabi 
semacam ini, yang senantiasa berjuang untuk membela tegaknya keadilan dan 
kebenaran, sembari memegang teguh komitmen kecendekiaan. Mereka yang 
berjuang tanpa pamrih demi kokohnya bangunan peradaban kemanusiaan 
universal. Diharapkan, kelak akan terus lahir kaum cendekiawan yang tidak 
mudah terpesona oleh gemerlap kekuasaan. Kekuasaan memang menggiurkan, 
tetapi ia juga bisa menjerumuskan manusia dalam jurang kenistaan, 
kepongahan, dan kerakusan.
Imam Cahyono Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Peneliti 
Al-Maun Foundation; Staf Pengajar Fakultas Dakwah dan Komunikasi, 
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke