http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=54665:eufemisme-korupsi&catid=78:umum&Itemid=131
Eufemisme Korupsi Oleh: Dr. Albiner Siagian Barangkali, kata yang paling populer di telinga kita saat ini adalah "korupsi". Betapa tidak, kata korupsi mucul setiap hari, baik di koran, radio, maupun televisi. Para penikmat kopi di kedai kopi pun tidak luput dari perbincangan yang menyebut-nyebut kata yang satu ini. Apalagi kalau beritanya menyangkut Gayus, 'si manusia 25 milyar' itu, percakapan pastilah makin seru. Reaksi masyarakat terhadap tindakan korupsi ternyata tidaklah sama. Ada yang memaki, mengutuk, atau menyebutnya sebagai manusia serakah dan laknat. Akan tetapi, ada yang terkesan memaklumi. Simaklah perbincangan saya bersama teman-teman ketika kami menonton televisi yang menyiarkan 'penyambutan' Gayus di Bandara Soekarbo-Hatta. "Si Gayus itu lihai tapi bodoh", kata yang seorang dengan semangat. "Bah, apa ini? Ada orang licik, tapi bodoh!", pikirku dalam hati. "Serakah kali dia", katanya melanjutkan. "Mestinya, dia ambil dikit-dikit saja, jangan main milyaran begitu, biar jangan ketahuan", katanya lagi. Alamaak, apa pula ini? Teman yang lain menyimpali, "Sebaiknya si Gayus mengaku saja, biar hukumannya lebih ringan. Nanti kalau sudah keluar dari penjara, pasti dia sudah punya modal untuk buka usaha", demikian dia menambahkan. Dari komentar ini jelas terungkap bahwa teman-teman saya tidaklah menyalahkan Gayus atas tuduhan perbuatan korupsinya, tetapi justru atas keteledorannya. Mengapa demikian? Apakah kita sudah memaklumi tindakan korupsi? Mengapa korupsi begitu merajalela? Tabir misteri untuk jawabannya masih sulit disingkap. Dalam pemahaman saya, paling tidak ada dua penyebab mengapa sebagian masyarakat terkesan permisif terhadap korupsi. Pertama adalah eufemisme dalam korupsi. Yang kedua, dan ini merupakan dampak lanjutnya, perubahan kontekstual dalam memaknai korupsi. Eufemisme Dalam berbahasa tutur atau tulisan kita terbiasa menggunakan kata/istilah lain untuk menggantikan suatu kata/istilah karena kita yakin kata pengganti lebih pantas, lebih sopan, lebih halus, atau lebih hormat. Contohnya: seorang pejabat PLN berkata "Tahun ini, tidak ada kenaikan tarif dasar listrik, yang ada hanyalah penyesuaian tarif". Pejabat ini berharap, dengan menggunakan istilah 'penyesuaian tarif' untuk menggantikan 'kenaikan tarif', masyarakat tidak terkejut atau bahkan dapat memaklumi kenaikan tarif dasar listrik. Inilah yang disebut eufemisme dalam berbahasa. Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Dalam berbahasa, istilah lain bagi eufemisme adalah ameliorasi kata/istilah. Otoritas moneter mengaku bahwa tahun ini pinjaman luar negeri akan berkurang. Pinjaman menggantikan utang karena terkesan bahwa negara ini bukan tukang utang. Kata penyesuaian dan pinjaman terasa lebih halus. Contoh yang lain adalah 'pra-sejahtera' untuk menaikkan derajat 'miskin'; 'perampingan' untuk mewajarkan 'pemecatan'; dan 'pramuwisma' untuk memanusiawikan 'babu'. Eufemisme juga dilakukan dengan meminjam istilah asing. Ini sangat lazim. Apalagi ada semacam anggapan bahwa bahasa asing lebih hebat atau lebih berkelas daripada Bahasa Indonesia. Mana ada orang yang mau mengaku pekerjaanya pelayan di kantor atau pramukantor. Pasti dia mengaku sebagai office boy. Hal yang sama juga berlaku untuk tukang sapu. Julukan cleaning service pastilah lebih terhormat daripada tukang sapu. Pada KTP sering tertera 'wiraswasta' untuk mengisikan kolom pekerjaan. Yang lucunya adalah itu dilakukan untuk menggantikan 'pengangguran'. Jadilah orang yang tidak memiliki pekerjaan mengaku wirausahawan, padahal artinya sungguhlah bertolakbelakang. Eufemisme Korupsi Eufemisme juga merasuki korupsi. Contohnya adalah pengubahan istilah 'hasil korupsi' menjadi 'uang masuk'. Walaupun baik hasil korupsi maupun uang masuk untuk memperolehnya dilakukan dengan cara yang tidak benar (mengambil yang bukan hak), terkesan bahwa istilah uang masuk lebih halus, pantas, atau tanpa salah. Karenanya, orang tidak akan malu mengakui bahwa dia mendapatkan uang masuk, walaupun itu bukan bagiannya. Bandingkan kalau disebut uang hasil korupsi. 'Penghalusan' istilah korupsi juga dilakukan dengan menggantinya menjadi 'uang terima kasih'. Ini yang lebih sopan. Pemberian ucapan terima kasih ini dilakukan mulai dari motif yang agak sukarela hingga terpaksa. Memang terkadang uang terima kasih tidak suatu keharusan, tetapi faktanya itu sangat menentukan. Yang menerima uang terima kasih merasa tak berdosa, karena itu dianggap sebagai imbalan atas 'jasa baiknya'. Sementara itu, yang memberi uang terima kasih merasa tak berdosa, karena itu merupakan tindakan seharusnya dilakukan. Masih banyak lagi upaya menghaluskan istilah korupsi dengan mengganti namanya. Uang rokok, uang kopi, pengertian, tau sama tau, atau oleh-oleh adalah beberapa istilah pengganti bagi sogokan yang sebenarnya adalah korupsi. Bandingkan dengan arti dasar kata korupsi (dari istilah Latin: corruption) yaitu busuk atau rusak. Atau, dalam bentuk kata kerjanya corrupt berarti menggoyahkan, memutarbalikkan, atau menyogok. Akibatnya apa? Secara tidak sadar korupsi menjadi 'makhluk yang ramah' di sekitar kita. Perubahan Makna Konon, di negeri ini korupsi sudah membudaya! Barang kali kita sebut saja korupsi sudah terbiasa. Apa penyebabnya? Jawabannya tentu banyak. Mulai dari gaji yang rendah, kurangnya penegakan hukum, sistem birokrasi yang mendukung, dan, itu tadi, korupsi yang tidak lagi dianggap sebagai kesalahan besar. Akan tetapi, selain yang saya sebutkan di atas, apa motif yang mendorong seseorang melakukan korupsi? Menurut hemat saya, di antara motif lain, budaya warisan mengambil bagian dalam mendorong orang untuk melakukan korupsi. Kita merasa bangga dan berhasil kalau kita bisa mewariskan harta bagi anak bahkan bagi cucu kita. Bahkan bila mungkin, anak dan cucu, masing-masing, sudah memiliki rumah warisan. Faktanya, kebanyakan korupsi di Indonesia dilakukan oleh orang yang secara finansial tidak lagi bermasalah hingga masa tuanya. Karenanya, tentulah uang hasil korupsi ini dimaksudkan untuk diwariskan ke anak-cucunya. Itu akan menyuburkan korupsi. Motif untuk mewariskan harta ke anak cucu inilah terkadang memunculkan masalah. Itu dianggap sebuah tindakan yang baik, bagaimanapun caranya, termasuk melalui korupsi. Nah, dari sinilah terjadi pergerseran makna. Secara kontekstual korupsi tidak lagi dianggap tindakan busuk, rampok, atau laknat. Itu hanyalah tindakan 'kreatif' untuk menambah penghasilan. Bila perlu, sebagian hasil korupsi ini disumbangkan ke panti asuhan. Pastilah beres! Adakah yang salah dengan mewariskan harta kepada anak-cucu? Tentu saja tidak jika harta itu diperoleh dengan cara yang halal. Hendaklah kita malu mewariskan harta jarahan kepada anak-cucu kita! Akhirnya, apa pun istilahnya, korupsi tetaplah perbuatan busuk, laknat dan terkutuk.*** Penulis adalah Pengajar Pascasarjana IKM FKM USU. [Non-text portions of this message have been removed]