Budaya Kita di Masa Peralihan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Senin, 28 Juni 2004


Beberapa tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyelenggarakan
lokakarya, membicarakan hasil-hasil penelitiannya mengenai 14 macam budaya
daerah yang ada di Indonesia, terutama yang memainkan peran penting dalam
masa peralihan bangsa dari tradisional memasuki modern. Salah satu di
antaranya adalah budaya daerah di Ngada, Flores Timur.


Penelitian menemukan, di kawasan itu belum ada pengadilan negeri. Maka,
masih banyak diberlakukan sistem hukum adat Ngada guna mengatur kehidupan
masyarakat yang sudah berfungsi ratusan tahun.


Ketika bertandang ke Maumere di pulau yang sama tahun ini, penulis berdialog
dengan civitas academica Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero, penulis mendengar
adanya pergulatan hukum di Larantuka. Ternyata di kawasan Pulau Flores
sebelah timur itu, Pengadilan Negeri Larantuka telah mengganti hukum adat
dengan hukum positif nasional. Sayang, penelitian empiris tentang pergantian
fungsi hukum tidak sempat dilakukan saat itu. Bahkan rakyat tiba-tiba
dihadapkan fenomena: kolusi antara sistem peradilan yang bersandar pada
"mafia peradilan" di mana-mana, yang tentu akan membela kepentingan
kekuasaan; dan melupakan perikemanusiaan dalam masalah hak-hak milik rakyat
atas tanah.


Untuk menguasai hak milik rakyat atas tanah adat yang sudah mereka miliki/
garap selama berabad-abad, keputusan Bupati Larantuka sebagai penguasa
daerah dibenarkan pengadilan negeri setempat melalui perundang-undangan yang
tidak pernah diuji Mahkamah Agung tentang status, apakah rangkaian
Undang-Undang (UU) dan peraturan yang dikeluarkan tentang penguasaan tanah
melanggar UUD atau tidak? Kita ketahui, hak-hak penguasa seperti itu
"didiktekan" pihak eksekutif selama bertahun-tahun, melalui proses
legislatif yang timpang dan Mahkamah Agung yang termasuk jajaran mafia
peradilan. Patutkah kita heran bila terjadi korban jiwa dalam kasus yang
mengakibatkan rakyat berhadapan dengan penguasa. Ironisnya, pemda memberi
mereka "santunan sosial" "sesuai UU".


Dalam beberapa kasus, aneka kejadian seperti itu diprotes lembaga
kemasyarakatan. Dalam kasus tanah rakyat di Larantuka, ternyata "digarap"
seseorang pastor dari Keuskupan Larantuka, yang pembelaannya dibawa ke
sidang Pengadilan Negeri Larantuka, dan akhirnya diterbitkan sebagai buku
(yang memihak rakyat) oleh staf keuskupan itu.


Keberanian moral seperti itu jelas menunjukkan, telah muncul "peran baru"
kaum agamawan yang turut ambil bagian dalam proses demokratisasi. Hal
seperti ini juga terjadi tahun 1990-an, saat sepasang pria-wanita menuntut
pengakuan moral dan status jelas dari perkawinan agama Khonghucu yang mereka
lakukan, yang saat itu oleh Kantor Catatan Sipil Surabaya dianggap tidak
ada.


Perkara itu, oleh Pengadilan Negeri Surabaya, implisit dinyatakan melanggar
UUD. Namun, dalam pelaksanaannya mengalami aneka hambatan dari birokrasi
karena pertimbangan politik yang dipaksakan oleh system politik kita yang
ada demi kepentingan sepihak.


Dengan serta-merta, Khonghucu dinyatakan oleh penguasa sebagai "filsafat
hidup". Mereka lupa, jutaan warga Khonghucu di negeri ini merasa Khonghucu
adalah sebuah agama. Bahwa ada pihak lain, seperti Partai Komunis Tiongkok
dan Pemerintah Singapura yang telah menganggapnya sebagai "filsafat hidup",
tidak sekali-kali menghilangkan kewajiban kita untuk berpegang kepada
anggapan kaum Tionghoa sendiri di negeri ini.


Cara melihat perubahan sosial ini sebenarnya harus memasuki segala aspek
kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan demikian, proses peralihan bangsa
berjalan alami. Ada yang tetap dan tidak mengalami perubahan, seperti
prinsip moral/etika yang mengatur kehidupan kita; tetapi ada pula yang
mengalami perubahan, terutama mengenai "manifestasi" prinsip itu akibat
proses modernisasi. Pemahaman yang benar atas perubahan-perubahan sosial
yang terjadi dalam kehidupan kita tidak mudah dipetakan. Namun, tanpa "peta
budaya", kita akan lebih banyak mengalami "kehilangan budaya" yang tidak
dapat diganti oleh apa pun dalam kehidupan kita sebagai bangsa.


Dengan kata lain, kita akan mengalami aneka perubahan sosial yang liar, yang
tentunya sama-sama tidak diingini. Apalagi perubahan-perubahan itu
menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan kita sebagai bangsa. Kita tentu
tidak mengingini perubahan asal berubah sehingga kita kembali tertinggal
dalam mencari keseimbangan antara hal-hal material dan imaterial, atau
sering disebut sebagai "pembangunan material" dan "pembangunan spiritual".
Kita menginginkan keseimbangan yang secara relatif akan mengarahkan
nilai-nilai yang berkembang, menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif
bagi kehidupan bangsa dalam jangka panjang.


Karena itu, mau tidak mau kita harus memahami proses modernisasi dan
tradisionalisme. Adalah sebuah kehormatan, juga berarti tantangan, untuk
mengelola perubahan demi perubahan sosial itu sendiri.


Salah satu hal yang harus diperhatikan, menjaga tidak terjadi penghentian
perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, kita harus menerima apa yang
buruk dari masa lampau selain yang baik. Dalam hal ini, ada adagium yang
sering dipakai Nahdlatul Ulama, "tetap menggunakan hal-hal lama yang baik,
dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik" (al-muhafazhatu 'ala
al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).


Berpegang kepada adagium itu, pertentangan internal NU dapat diredam agar
tidak menjadi tindak kekerasan. Ternyata, betapa penting arti persambungan
keadaan dari waktu ke waktu. Maka, hal-hal seperti adagium itu patut menjadi
pegangan kita juga dalam menghadapi masa peralihan yang kita jalani kini.


Hal-hal yang sederhana dan berbiaya murah mudah muncul dalam skala luas
karena itulah yang menjadi keinginan masyarakat. Kita juga mampu melakukan
hal itu bila mau mengembangkan alat-alat "kultural" yang senada, seperti
pepatah Minangkabau "bule' aia di pambuluah, bule' kato di mufakat" (bulat
air di pancuran, bulat kata karena mufakat), yang menunjukkan kepada kita,
segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Dan, pendapat yang berjumlah kecil
harus mematuhi pendirian yang berjumlah besar, sedangkan yang besar harus
menghargai pendapat mereka yang berjumlah kecil.


Jakarta, 22 Juni 2004


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke