Peranan Para Pendahulu

Sabtu, 18 Desember 2004

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid


Dalam kunjungannya ke Australia minggu lalu, penulis mampir ke Melbourne. Di
sini, penulis dijamu oleh Wali Kota Melbourne dan Gubernur Victoria. Tetapi
yang lebih penting kunjungan penulis ke sebuah kota satelit sekitar 25 km
dari kota Melbourne sendiri. Kota satelit itu penuh dengan orang Turki, dan
memiliki juga sebuah sekolah yang cukup besar yang menampung para pelajar
tanpa membeda-bedakan asal-usul mereka. Di sekolah yang cukup baik
perawatannya itu, diberikan pelajaran yang sesuai dengan kurikulum yang ada.
Dalam bahasa salah seorang pemimpin komunitas Turki, itu adalah ilmu
pengetahuan duniawi. Sedangkan kurikulum "materialistik" seperti itu,
haruslah ditambah dengan orientasi akhlak kepada ajaran-ajaran Islam.
Campuran antara "hal-hal duniawi", yang ada dalam kurikulum pemerintah
haruslah digabungkan dengan sebuah mata pelajaran ke-Islaman, seperti
pengertian yang benar tentang Islam. Perpaduan antara mata pelajaran
"materialistik" dan studi ke-Islaman, yang didukung oleh akhlak yang
mencerminkan keyakinan agama itu adalah kurikulum lokal yang ada.


*****

Dipimpin oleh Fathullah M. Gulen itu dengan teori-teori pendidikan dari Said
Nursi, sekarang ini sekolah dengan kurikulum kombinasi tadi merupakan usaha
pendidikan paling besar di Turki, di luar sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh sekolah negeri. Nah, dengan demikian Gulen dan Nursi
mencoba mengkombinasikan yang lama dan yang baru dalam sebuah sistem sekolah
yang menghasilkan "muslim baru" yang masih menghormati dan melaksanakan
ajaran-ajaran Islam, tetapi mengembangkan kemampuan untuk menguasai "dunia
modern". Di banyak tempat, jaringan yang diciptakan oleh kedua tokoh itu
itu, yang lambat laun menjadi kekuatan tersendiri. Sangat menarik ucapan
Nursi, "kita tidak perlu mendirikan negara Islam, tetapi yang lebih penting
adalah menciptakan kaum muslimin yang menemukan perlunya teknologi dan
pengetahuan kebendaan yang sangat modern, digabungkan dengan akhlak seorang
muslim yang benar". Kalau dilihat secara demikian, yang dikemukakan dan yang
lakukan Nursi dan Gulen itu, sama dengan upaya melakukan hal serupa di tanah
air kita. Adalah hal yang mengharukan ketika mengunjungi sekolah-sekolah
seperti itu, yang didirikan oleh komunitas Turki di negara Kangguru. Mereka
telah menemukan cara yang terbaik untuk membuat anak didik tidak keluar dari
sistem pendidikan yang ada, tetapi juga berhasil mengarahkan anak didik
kepada moralitas Islam yang akan memberikan warna tersendiri dalam
kepribadian mereka itu. Karenanya, jaringan pendidikan Nursi dan Gulen itu
yang sekarang sudah merupakan jaringan tersendiri, dengan jutaan orang anak
didik di Turki dan ratusan ribu anak didik di berbagai negeri lain,
merupakan sesuatu yang harus diperhatikan dan diamati secara mendalam, untuk
dapat menjawab pertanyaan berikut: apakah yang harus dilakukan kaum muslimin
di luar upaya mendirikan negara Islam di zaman modern in? Jawaban
Nursi-Gulen di Turki itu dan kerja-kerja pendidikan yang sama di negeri kita
menunjukkan kesungguhan masyarakat muslim di kedua negeri itu, untuk
menjawab tantangan modernitas.


Ketika penulis mengunjungi sebuah sekolah seperti itu, bernama Sule College
(Cahaya gemilang) di Prestons, sebuah suburbia di Sydney Australia, penulis
ditanyai oleh seorang siswa, "bagaimanakah pandangan anda tentang dialog
antar agama-agama yang ada juga dalam kurikulum kami?". Penulis menjawab
dengan mengatakan bahwa kalau kita memiliki moralitas yang benar, dan
menjadi muslim yang melaksanakan ajaran Islam, dengan sendirinya akan
menghargai ajaran-ajaran agama lain. Padahal inilah sebenarnya yang
merupakan topangan bagi dialog dan hubungan antar agama yang benar. Sudah
sewajarnya, jika upaya mempertahankan nilai-nilai luhur dalam agama Islam
seperti itu diteruskan. Itulah yang akan menjadi respon umat Islam terhadap
tantangan materialisme di alam modern ini, yang membawakan sikap
mementingkan kenikmatan pribadi dengan mengorbankan kepentingan umum. Dengan
demikian, upaya Nursi dan Gulen itu, dan upaya para pendidik di negeri kita
walaupun tidak membuat teori dari aktifitas mereka, akan menjadi jawaban
bagi kau muslimin.


*****

Ketika berkunjung di sebuah suburbia Melbourne, penulis berbicang-bincang
dengan ketua yayasan komnitas Turki yang berada di situ, yang berumur
sekitar 70-an tahun . Pak Mustafa datang ke Australia pada usia 20-an tahun
sekitar tahun setelah perang dunia kedua, bersama-sama dengan sekian ratus
imigran-imigran lain dari berbagai penjuru dunia. Ketika ia kemudian melihat
catatan-catatan penduduk Australia baru, yang berasal dari berbagai negara,
ia dapati dalam daftar tersebut nama-nama seperti Ali dan Muhammad. Ia cari
orang-orang itu, karena ia tahu dari nama-nama mereka bahwa pemilik
kesemuanya itu adalah orang-orang Islam. Ketika ia berhasil mencari mereka,
ia malahan mendapati bahwa sekian orang dari rombongan itu adalah
orang-orang Turki. Ia sering bertemu orang itu kalau sedang tidak bekerja.
Dan kemudian, anak-anak muda Turki itu, akhirnya pergi ke sebuah masjid di
suburbia kota Darwin, terletak di sebelah utara Australia.


Karena mereka yang berada disitu dan datang ke Australia sebelum Mustafa,
adalah penyelam mutiara, dan kemudian menjadi bermata buta karena itu,
dengan hanya seorang tua saja yang tidak, maka sebagai satu-satunya manusia
Turki lelaki di kawasan tersebut akhirnya ia pun ditunjuk/ diangkat sebagai
penjaga masjid. Ketika pertama kali Mustafa dan teman-teman datang ke masjid
di pinggiran Darwin itu, maka ia dan kawan-kawan itu diserahi pekerjaan
mengurusi masjid tersebut. Dikatakan orang tua itu kepada Mustafa yang
berusia muda tersebut, bahwa ia pernah bermimpi ada seseorang alim Turki
memberitahukan kepadanya, hendaknya pengelolaan masjid tersebut diserahkan
kepada sejumlah orang muda yang mendatangi kawasan itu. Karena itu dengan
kepercayaan penuh Mustafa segera memperoleh penugasan di atas, karena sesuai
dengan impian pendahulu itu.


Dengan demikian, terjadilah perpindahan kewajiban mengelola masjid dari
generasi terdahulu kepada generasi Mustafa. Ketika penulis tanya, Mustafa
menjawab bahwa ia selama 20 tahun berada di Darwin dan disamping bekerja
sehari-hari, dengan jalan menjadi pedagang kecil-kecilan, ia mengelola
Masjid tersebut bersama kawan-kawannya. Akhirnya, ia pun harus berpindah
Melbourne di negara bagian Victoria. Di tempat itulah ia kemudian
berkecimpung dalam sebuah komunitas orang-orang Turki yang cukup besar
jumlahnya. Karena melihat kejujurannya dan kemudian juga melihat kerja
kerasnya, maka iapun diangkat menajdi ketua yayasan pendidikan di kawasan
tersebut. Dalam posisi inilah penulis bertemu dengan orang tersebut.
Perjuangan seperti yang diperlihatkannya menunjukkan kepada penulis betapa
penting arti sebuah elan (semangat) berjuang, dan juga pentingnya arti
peranan para pendahulu.


Dari apa yang diuraikan diatas, terlihat bahwa tradisi mengabdi masyarakat
dapat saja dipindahkan ke tempat lain, dan ditularkan kepada
generasi-generasi berikut. Disini berperan apa yang dinamakan trust
(kepercayaan) antar generasi. Generasi Mustofa percaya bahwa angkatan
sebelum mereka tentu bermaksud baik dengan tindakan pindah mencari hidup ke
benua Australia, sedangkan generasi para sesepuh itu percaya bahwa Mustafa
dan teman-teman akan meneruskan kiprah mereka. Keyakinan akan kebenaran yang
diperjuangkan sebuah kelompok, tentu akan ada yang melanjutkan pada generasi
berikutnya. Keyakinan seperti inilah yang mendorong para tokoh itu untuk
tetap berkiprah, dan mengatasi segala macam kesulitan hidup. Tentu saja,
juga menimbulkan "pengertian" akan perubahan-perubahan dari satu ke lain
generasi. Inilah dasar dari sikap para sesepuh itu kepada generasi Mustafa,
untuk mengelola masjid tersebut.


Inilah pula yang membuat perjuangan dapat berlangsung terus dari generasi ke
generasi, dan dari perubahan untuk keluar dari apa yang mereka lakukan. Ini
pula lah, umpamanya, yang membuat kaum kyai sarungan percaya kepada penulis
dan generasinya, yang semuanya sudah berbaju kebarat-baratan walaupunsudah
ada perubahan bentuk luar, dengan tetap mempertahankan esensi perjuangan
yang dilakukan. Sikap tetap mempertahankan kepercayaan antar-generasional
tersebut, membuat perjuangan kita akan tetap berlangsung. Dan tujuan
perjuangan yang membuat kita menghargai dan meneruskan perjuangan kaum tua
dan memperkuat berbagai hal untuk mengingat jasa-jasa mereka yang terdahulu.
Ini adalah bagian dari langkah-langkah melestarikan dan membuang yang ada
dalam sejarah, manusia,bukan?


Jakarta, 16 Desember 2004


-- 
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke