http://www.kompas.com/kompas-cetak/0503/03/opini/1598323.htm
Kamis, 03 Maret 2005

Kaum Intelektual, BBM, dan Iklan Freedom Institute
* Tanggapan atas Tanggapan
Oleh Rizal Mallarangeng

TAK terduga, iklan yang dipasang Freedom Instutite (Kompas, 26/2) ditanggapi 
berbagai pihak dengan antusias, setuju maupun tidak. Bahkan berbagai 
komentar yang ada, baik di Kompas maupun dalam talkshow televisi dan milis 
internet, mungkin sama serunya dengan diskusi tentang penghapusan subsidi 
BBM itu sendiri.

Effendi Gazali benar, iklan itu adalah sebuah breakthrough ("Maaf, Tak Mampu 
Beriklan", Kompas, 2/3). Dalam sejarah Indonesia, belum pernah terjadi 
sejumlah intelektual, pengusaha, profesional, dan aktivis bersatu mendukung 
sebuah kebijakan dan mengiklankannya sehalaman penuh. Sesuatu yang baru, 
apalagi dengan isu yang hangat dan aktual, tentu mengundang pro dan kontra. 
Hal ini dapat dipahami dan harus disambut dengan tangan terbuka.

Mengenai isinya, berbagai komentar menyinggung tiga hal: substansi argumen 
penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM), bentuk, dan tokoh yang 
menyampaikan (iklan dan peran intelektual). Saya akan menanggapinya satu per 
satu, namun sebelumnya saya ingin mengatakan satu hal.

Freedom Institute dan 36 tokoh yang namanya tercantum sebagai pendukung 
iklan itu tidak dikendalikan pemerintah.
Selain membujuk masyarakat, kami justru ingin meyakinkan dan mendorong 
pemerintah untuk segera dan tidak ragu mengambil kebijakan yang tepat demi 
masa depan bersama yang lebih baik.

Pemimpin kadang dihadapkan pada aneka pilihan yang dilematis. Kebijakan yang 
harus dilakukan perlu dan baik, namun tidak populer. Dalam situasi semacam 
ini kami memilih peran sebagai push factor, betapapun terbatasnya, demi 
meyakinkan dan secara tidak langsung membesarkan hati pemerintah untuk 
segera mengambil keputusan dan menghadapi konsekuensinya.

To govern is to choose, kata Charles de Gaulle. Kini pemerintah sudah 
mengambil keputusan, dan saya mengangkat topi atas keberanian semacam ini.

Argumen moral-ekonomi
Substansi argumen yang ada dalam iklan itu pada dasarnya bersifat 
konvensional. Tidak ada yang baru di dalamnya. Aspek moralnya telah ditulis 
dengan baik oleh Franz Magnis-Suseno ("Jangan Tunda Pencabutan Subsidi BBM", 
Kompas, 14/1) dan penjelasan teknis-ekonomisnya dibahas berkali-kali oleh M 
Chatib Basri dan Anggito Abimanyu di harian ini.

Pada intinya, argumen kami mulai dengan sebuah fakta: sebagai konsekuensi 
dari harga minyak dunia yang terus melambung, subsidi terus membengkak, jauh 
melebihi rencana semula yang "hanya" Rp 19 triliun. Tanpa pengurangan, 
subsidi bisa melewati angka Rp 70 triliun tahun ini (atau hampir setara 
dengan Rp 200 miliar per hari). Dengan pengurangan rata-rata 29 persen 
sekalipun, sebagaimana sudah diputuskan pemerintah, negara masih 
mengeluarkan Rp 100 miliar lebih per hari, atau Rp 39,8 triliun setahun, 
untuk menyangga harga BBM.

Bagi kami, subsidi pada tingkat tertentu tetap perlu, terutama terhadap 
mereka yang membutuhkan uluran tangan. Namun, apakah dana subsidi BBM yang 
demikian besar benar-benar tepat dan perlu? Apakah negara sanggup terus 
menanggungnya? Apakah subsidi mendorong perilaku ekonomi yang hemat dan 
rasional?

Ternyata tidak. Memang, ada beberapa penanggap yang mengkritik angka dan 
hasil penelitian LPEM-FEUI yang ada dalam iklan itu. Ini masalah serius. 
Salah satu argumen kami bersandar pada hasil penelitian empiris yang 
menunjukkan, subsidi BBM lebih menguntungkan mereka yang relatif lebih mampu 
dan kaum yang paling miskin justru kurang menikmatinya.

Jika para pengkritik bisa memperlihatkan kekeliruan penelitian ini, 
sanggahan mereka akan lebih kuat. Sayang, berbagai tanggapan yang ada hanya 
berkisar pada tingkat abstraksi dan dugaan bahwa penelitian itu menyesatkan. 
Jika memang keliru, mana buktinya? Apakah ada penelitian alternatif yang 
menunjukkan bahwa faktanya justru berbeda dan berlawanan?

Selain itu, beberapa penanggap juga mengingatkan, persoalan di negeri ini 
begitu banyak dan beragam, mulai dari korupsi, inkompetensi, dan pemborosan 
lainnya. Bahkan dana kompensasi yang diusulkan pemerintah sebesar Rp 17,8 
triliun mungkin tidak akan luput dari penyalahgunaan dan prosedur birokrasi 
yang berbelit-belit. Menurut mereka, kami seharusnya juga peduli dan 
memerhatikan hal-hal seperti itu.

Saya setuju dan bersimpati dengan pendapat demikian. Namun, Prof Widjojo 
Nitisastro benar saat ia berkata sekian tahun lalu bahwa di Indonesia 
hal-hal yang baik hanya dapat dilakukan one step at a time. Semua persoalan 
negeri kita harus dihadapi dan diselesaikan. Namun, yang kini bisa 
dilakukan, lakukan dulu. Setelah itu, kita dorong lagi pemerintah untuk 
melakukan hal-hal baik lainnya.

Kaum intelektual
Kami jelas berpihak, namun lebih pada gagasan dan kebijakan tertentu yang 
kami anggap baik. Masalah pemihakan semacam ini memang menjadi tema klasik 
yang kadang membingungkan di kalangan intelektual.

Namun, persoalannya sebenarnya sederhana. Semua tergantung substansi 
pemihakan sendiri, bukan pada wadah atau bentuk pengungkapan. Gagasan atau 
kebijakan pemerintah bisa benar, bisa salah. Demikian pula gagasan seorang 
ilmuwan, aktivis, atau mereka yang mengklaim diri sebagai pejuang kaum 
tertindas. Tidak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa merekalah 
pemegang kebenaran terakhir. Hal inilah yang harus diperhatikan Abd Rohim 
Ghazali (Menyoal "Iklan Layanan Pemerintah", 2/3) dan Agus Surono ("BBM dan 
Iklan Freedom Institute", 1/3).

Jika memang kebijakan pengurangan subsidi baik bagi ekonomi Indonesia, 
mengapa kita harus ribut soal posisi profesi dan peran kaum intelektual? 
Mengapa untuk menjadi intelektual harus dalam posisi yang senantiasa 
berseberangan dengan pihak yang memegang kekuasaan?

Condy Rice dan Henry Kissinger: keduanya adalah bagian dari kaum intelektual 
dan, sebagai menteri luar negeri adikuasa, bahkan menyatu dengan kekuasaan 
sendiri. Kita tentu boleh menentang ide atau kebijakan mereka. Namun, agak 
aneh jika kita mempersoalkan bahwa mereka adalah cendekiawan yang 
berselingkuh. Mereka yakin pada ide-ide tertentu, dan berusaha menggunakan 
apa yang ada di sekitarnya, termasuk kekuasaan, untuk mewujudkannya.

Sederet nama besar dalam sejarah kita juga melakukan hal yang sama. Bahkan 
Indonesia didirikan oleh kaum intelektual yang "berselingkuh" dengan 
kekuasaan: Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka percaya pada ide-ide 
tertentu tentang sebuah negeri yang ideal dan mengabdikan hidup mereka untuk 
mewujudkannya, jika perlu dengan menjadi presiden dan perdana menteri.

Iklan
Effendi Gazali adalah seorang ahli komunikasi. Menurut dia, iklan Freedom 
Institute adalah "bentuk komunikasi politik yang tidak strategik bagi 
orang-orang yang terlibat di dalamnya". Selain itu, "iklan itu juga 
menunjukkan 'compang- camping'-nya ruang publik kita".

Soal strategis dan efektif atau tidak, saya tidak memiliki kapasitas 
profesional untuk menilai iklan itu. Namun, jika begitu banyak yang 
menanggapi, termasuk Effendi sendiri (tulisannya menggunakan judul yang 
cerdas dan memikat), buat saya it is not bad at all. Bukankah tujuan iklan, 
salah satunya, memang untuk mencari, dan mencuri perhatian?

Namun, adakah pemaksaan di sana? Apakah Effendi sendiri terpaksa atau harus 
membaca dan memercayai iklan itu? Apakah pada dirinya format penyampaian 
pendapat dalam bentuk iklan mengandung unsur ketidakadilan dan pemaksaan, 
dan karena itu membuat ruang publik kita compang- camping? Kalau betul, apa 
argumennya?

Setahu saya, di harian Kompas tidak ada kebijakan redaksi yang hanya 
memajukan pendapat tertentu. Pengkritik maupun pendukung kebijakan subsidi 
BBM mendapat tempat sama. Yang penting, prinsip bahwa semua mendapat 
perlakuan sama, termasuk mengiklankan pendapat tentang satu atau beberapa 
isu publik.

Dalam hal yang terakhir ini saya percaya, jika kaum penentang pengurangan 
subsidi BBM dapat mengorganisasikan diri, menggalang dana, dan benar- benar 
meyakini kebenaran gagasannya, harian Kompas pasti tidak akan keberatan jika 
mereka ingin memasang iklan, dua halaman penuh sekalipun.

Di negeri-negeri demokratis lainnya, hal demikian lazim terjadi. The 
Washington Post dan The New York Times, dua koran paling berpengaruh di AS, 
sering memuat perdebatan soal kebijakan dalam bentuk iklan yang dipasang 
oleh tokoh maupun organisasi dari segala kalangan, seperti pengusaha, 
pengacara, ilmuwan, aktivis dan semacamnya.

Tidak seperti iklan sampo, iklan semacam itu disajikan tidak dalam 
warna-warni menyala, dilengkapi potret wanita cantik. Namun, seperti iklan 
sampo, ia ingin menyampaikan sesuatu, mencuri perhatian, dan mengajak orang 
untuk percaya pada pesan yang disampaikan.

Akhirnya, semua terpulang pada sidang pembaca. Mereka harus berpikir sendiri 
dan menimbang-nimbang. Take it or leave it. Dalam hal inilah, iklan yang 
mengandung isu kebijakan dan gagasan yang kuat dapat menjadi instrumen 
demokrasi dan pendidikan politik yang sehat.
Rizal Mallarangeng Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta 



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke