http://www.sinarharapan.co.id/berita/0411/29/opi02.html
Kultur yang Kuasa Pasti Menang Oleh Benny Susetyo, Pr DALAM anggitan teoretis dan ideal, kita ini bukanlah bangsa yang dibentuk berdasarkan suku, agama, ras dan golongan tertentu. Pluralitas yang diyakini sebagai kekayaan bangsa adalah pijakan dasar kita membangun bangsa ini. Nasionalisme kita bangkitkan atas dasar perasaan yang sama ditindas penjajah di masa lalu. Di masa kini nasionalisme kita kembangkan dalam rangka memiliki perasaan yang sama dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa: kemiskinan, pengangguran, hancurnya harga diri bangsa, keutuhan wilayah sampai pada persepsi yang sama untuk menumpas korupsi. Itulah nasionalisme kita masa kini, memiliki basis pijakan, arah, visi dan kerangka yang sama dengan nasionalisme masa lalu namun memiliki konsekuensi dan permasalahan yang benar-benar berbeda. Dari situlah nasionalisme kebangsaan itu kita kembangkan. Pluralitas adalah basis utama untuk membangun bangsa ini dalam kerangka nasionalisme. Bangsa ini bukan milik segolongan orang, dan dengan demikian ia tidak bisa dibangun dan diperlakukan seperti miliknya sendiri. Ada banyak komponen suku, agama dan komunitas lainnya, yang harus hidup dengan dasar toleransi yang kuat, saling menghormati dan menghargai. Indonesia bukanlah bangsa "ini" atau bangsa "itu". Indonesia adalah bangsa yang dibangun berdasarkan semangat, keyakinan dan kepercayaan yang sama untuk maju sebagai masyarakat yang berperikeadaban, berperikemanusiaan dan berperikeadilan. Pancasila Kasus Bojong, meninggalnya tokoh HAM Munir, masih membuktikan kepada kita bahwa kekerasan (yang kenyataannya selalu melanggar HAM) masih berada di atas rule yang disepakati bersama. Kekerasan terjadi karena penghormatan atas hukum rendah, penjunjungan nilai HAM yang amat minimal. Jalan dialog dan bermusyawarah mencari jalan yang masih diletakkan di tempat yang paling belakang, setelah kekerasan puas dilampiaskan. Itulah mengapa kendati kita ini bangsa "ini" dan "itu", tapi identitas kebangsaan kita semakin tidak jelas. Ukuran hidup baik yang dijadikan prioritas semakin kabur karena semua serbapragmatis. Ukuran kehidupan ini seolah-olah hanya sekedar ibadat yang berbau kultus belaka, tapi korupsi yang merajarela dianggap hal yang wajar. Wajah seolah-olah bersih, saleh, santun tapi di balik itu lidah kita penuh dengan tipu muslihat. Semua serbabias. Tak jelas lagi orientasi kita sebagai bangsa ini mau dibawa ke mana. Bangsa ini sepertinya telah kehilangan momen untuk menjadi bangsa yang mampu mengejar dirinya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan akal budi yang unggul. Akal budi yang menjadi ukuran dalam membangun kebersamaan menjadi kandas ketika kita bicara bukan lagi dengan hati dan pikiran yang bersih, tetapi dengan golok dan tangan penuh darah. Kalau perlu dengan bom yang membumihanguskan anak-anak, kaum perempuan dan mereka-mereka yang tak berdosa. Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan, kesukuan, dan bahkan kepartaian. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi pertiwi ini. Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama. Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan, kesukuan dan kepartaian. Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya. Pancasila tidak dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa yang beradab. Peradaban bangsa yang diukur dengan komitmen warga untuk mewujudkan nilai kemanusiaan dan keadilan tidak pernah berhasil. Yang Kecil Harus Minggir Tampak bangsa ini sangat mengagungkan formalisme keagamaan dan persatuan yang dihayati secara "fasis". Inilah yang membuat bangsa ini gagal melompat menjadi bangsa yang menekankan rasionalitas karena kekerasan melekat menjadi kultur dalam diri kita sebagai bangsa. Kultur ini dipelihara dalam sejarah kita, di mana yang kuat harus selalu "dimenangkan" sedangkan yang kecil harus "tahu diri". Kultur ini menyuburkan etnosentrisme dengan perasaan nasionalisme yang berlebihan dalam diri kita, tetapi kehilangan rasionalitas karena membiarkan korupsi menjadi hal wajar dan biasa. Korupsi menjadi subur karena diberi ruang oleh publik. Mereka yang jelas-jelas koruptor ternyata dijadikan pahlawan. Ini dilihat wajar dan biasa saja. Seolah-olah sebagai bangsa, naluri sudah mati karena disibukkan masalah SARA, padahal korupsi, pelanggaran HAM, ribuan tenaga kerja terlantar, serta jutaan anak miskin yang tidak bisa sekolah dibiarkan berlalu begitu saja. Di kelopak mata kita, kejahatan kemanusiaan menempel di mana-mana, tetapi pikiran, budi, kehendak kita membiarkannya berlalu. Otot dan pedang menjadi simbol peradaban kita karena tata tertib sosial tidak lagi menjadi acuan hidup bersama. Semua serba-ingin benarnya sendiri. "Pokoknya yang besar harus menang sedangkan yang kecil harus minggir!" Logika seperti ini tidak mengenal supremasi hukum yang menjadi acuan bersama. Bila kesadaran publik mengenai kemanusiaan dan keadilan masih belum menjadi habitus dalam hidup ini, benarkah kita sudah menjadi bangsa merdeka? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijadikan acuan kita sebagai bangsa. Acuan ini sampai saat ini belum jelas karena peradaban bangsa belum menjadi cita-cita bersama. Cita-cita inilah yang seharusnya dijadikan acuan hidup bersama di mana kemanusiaan dan keadilan harus menjadi cara baru kita sebagai bangsa. Bangsa ini besar bila keadilan dijadikan moralitas hidup bersama. Penulis adalah budayawan. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/