SURAT KEMBANG KEMUNING:
"HARI SASTRA INDONESIA" PERTAMA DI PARIS [21]. Pada gilirannya, Kees Snoek, pengajar bahasa dan budaya Belanda di negeri-negeri di luar Belanda, menyampaikan kesaksiannya melalui makalah berjudul "Censure, Aux Indes Néerlandaises Et En Indonésie". Kees Snoek pernah mengajar di Universitas Indonesia dan tinggal di Indonesia mulai dari tahun 1982 hingga 1990. Melalui makalah di atas, Kees Snoek menceritakan keadaan sensor yang disaksikannya di antara tahun-tahun kehadirannya di Indonesia pada masa kekuasaan Orde Baru. Kees Snoek bercerita tentang Harian Sinar Harapan yang "sinarnya padam" oleh pembreidelan pemerintah Orba. Ketika Harian Suara Pembaruan terbit menggantikaan tempatnya, "harapan" yang dibawakan oleh harian baru ini dilihat oleh Kees Snoek sebagai "harapan" dari orang-orang yang "menjadi lebih patuh" . "Pembaruan" menjadi "kepatuhan". Sensor memang bertujuan membuat untuk orang patuh dan kalau tidak mau patuh dibungkamkan, kalau tidak juga mau bungkam dibinasakan secara fisik dengan 1001 jalan. "Hebatnya" ada pakar yang menganggap "sensor sebagai suatu keperluan pemerintah di negeri mana pun". Padahal di Republik ke-V Perancis sekarang, aku tidak melihat sensor dilakukan. Dalam hal ini, aku jadi teringat bagaimana sementara pakar Perancis di dalam Majalah Newsweek membenarkan "kolonialisme" dan di di Majalah l'Express mengajukan teori "diktatur diperlukan" oleh Dunia Ketiga sebagai kesimpulan tumbuhnya negeri-negeri yang disebut sebagai "macan" dan "anak macan Asia". Membenarkan sensor, kukira bertentangan dengan "bhinneka tunggal ika" dan mengarah ke "pemikiran tunggal" [la pensée unique] yang di Perancis ditentang keras. Sensor adalah jalan menggiring orang ke ruangan satu suara [jika menggunakan istilah Jendral Soeharto dan Orba: "azas tunggal"], seperti yang dituturkan oleh Kees Snoek mengenai tivi Orba pada tahun 1982. Di tahun itu, tutur Kees Snoek, hanya terdapat "satu saluran tunggal" di mana "kita hanya menyaksikan tarian-tarian tradisional, program pemandangan alama Indonesia, dan terutama Presiden Soeharto dengan senyum kekalnya: bapak rakyat sedang menunaikan jabatan-jabatan resmi. Para menteri memperlihatkan sikap yang cukup patuh walaupun terkadang terdengar juga suara-suara kecil sindiran di sana-sini tapi ujung-ujungnya tetap berputar-putar di sekitar daerah "Asal Bapak Senang". Kees Snoek menyebut keadaan begini sebagai "harmoni semu". "Harmoni semu" digenangi darah. Majalah Tempo dan Detik termasuk dua penerbitan yang mengalami nasib sama dengan Harian Sinar Harapan. "Provokasi Pemerintah", ujar Kees Snoek, "melebar sampai ke dunia , terhadap mereka yang mempunyai akses ke dunia internet". Di bawah tekanan dan campurtangan luarbiasa dari kekuasaan politik di dunia media cetak sampai ke dunia maya untuk menentang lahirnya oposisi, adanya ruang berbagai suara, barangkali di sini perlu disebut jasa John McDougall dengan milis "apakabar" dan milis Indonesia:Iqra, yang dengan Goenawan Mohamad. Sekali pun kekuasaan politik Orba melebarkan operasi penindasannya hingga dunia maya, tapi dua milis ini tetap saja mampu menyalurkan pendapat-pendapat anti Orba di ruang berbagai suara: kemerdekaan berpendapat yang membentuk suatu kepungan pendapat umum nasional dan internasional kian ketat terhadap Orba. Pada masa Orba yang melakukan pendekatan "keamanan dan kestabilan nasional" guna melaksanakan "agama pembangunan" [yang menghasilkan kepapaan dan kerusakan alam seperti di Hampalit, Kalteng], aku melihat sebuah medan pertempuran di mana dua pasukan hadap-hadapan. Yang satu bersenjatakan pena, yang lain bersenjatakan bedil. Yang bersenjatakan bedil melakukan "operasi pengepungan dan penumpasan" terus-menerus dari waktu ke waktu dengan mengerahkan pasukan-pasukan reguler terhadap kekuatan yang bersenjata pena dengan menggunakan taktik perang gerilya yang menyerang di segala front di mana musuh lemah. Serangan demi serangan gerilya di segala sektor melelahkan pasukan reguler dan mengobah imbangan kekuatan. Pada saat ini, defesensif strategis berkembang ke tingkat kesetaraan relatif. Tapi agaknya sampai sekarang, tingkat strategis ofensif barangkali masih belum dicapai, karena kekuatan militerisme masih saja merupakan "negara dalam negara" di Indonesia. Apalagi pilihan politik pemegang kekuasaan politik sekarang di bawah pimpinan SBY-Kalla masih belum jelas.Apakah SBY merupakan seorang militer berpikiran cerah ataukah masih saja seperti latarbelakang karirnya sebagai seorang militeris -- tanpa menutup kemungkinan perobahan dan perkembangan pikiran. Bahaya kembalinya militerisme dan otorianisme yang bisa Orba II masih saja ada di negeri ini. Mereka masih mempunyai dasar sosial dan ekonomi serta kekuatan nyata guna melakukan berbagai macam manuvre. Di dalam barisan yang bersennjatakan pena dalam melawan otoritarianisme dan militerisme, kita dapatkan nama-nama panarung tangguh seperti Pramoedya, Rendra,Nano Riantiarno dan Hasta Mitra yang dipimpin oleh Joesoef Isak dan Hasyim Rahman. Nama-nama ini berpendapat bahwa hak sipil tidak diperoleh dengan meminta-minta tapi direbut dengan segala risiko. Patuh dan berlawan agaknya merupakan dua jalan yang pernah ada di dalam sejarah melawan otoritarianisme dan militerisme di negeri kita. Tiarap dan diam oleh ketakutan atas nama alasan perhitungan, bisa dipandang sebagai kekuatan netral rebutan dua kekuatan. Karena sikap-sikap demikian adalah sangat manusiawi dan bukan lawan, apalagi lawan utama. Takut, tiarap, diam adalah reaksi umum semacam insting di saat orang menghadapi kesulitan, terutama ajal. Setelah ancaman kesulitan dan ajal berlalu, orang-orang ini akan bangkit bersorak sebagai pahlawan berlomba berdiri paling depan. Sayangnya, sering terjadi orang-orang sering sulit membedakan yang pokok dan tidak pokok, tidak jelas mana lawan dan kawan lalu melakukan tindakan hantam kromo atas nama segala yang mulia dan indah-indah. Padahal tindakan hantam kromo membuat yang mulia dan indah-indah itu jadi merosot.Dari keadaan ini, aku melihat bahwa seperti yang ditulis oleh alm.penyair Agam Wispi, Indonesia adalah "kota rebutan". Guna memenangkan "kota rebutan" kalau memang ada "supermen" atau "superwomen", maka "supermen" sesungguhnya adalah kekuatan bersama mayoritas. Rambo tidak akan bisa memenangi "kota rebutan" itu. Rambo adalah tokoh masturbasi ciptaan Amerika Serikat untuk keluar dari Sindrom Viêt Nam sama dengan tokoh koboi filem Wertern yang sanggup mengalahkan ratusan orang Indian di padang-padang lengang. Kees Snoek dalam makalahnya melihat bahwa sesungguhnya gejala "liberalisasi" sudah menampakkan diri setahun sebelum Soeharto dipaksa turun dari kursi kepresidenan. "Gejala liberalisasi dimulai pada bulan Juli 1987 dengan diberikannya izin untuk proyeksi filem << Max Havelaar" yang telah dilarang selama 14 tahun", tulis Kees Snoek. "Filem <<Max Havelaar" adalah sebuah filem yang dibuat atas dasar roman sastrawan Multatuli, terbit pada tahun 1860. Karya ini merupakan suatu gugatan terhadap Pemerintah Kerajaan Belanda yang membiarkan penghisapan tanpa batas atas orang-orang bumiputera di Hindia Belanda. Proyeksi filem ini membuka peluang kepada para cendekiawan Indonesia untuk mengkritik pemerintah Indonesia di masa Orba yang telah melakukan penindasan setara dengan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial", lanjut Kees Snoek. Bayangkan betapa jauh Soeharto dengan Orbanya membawa Indonesia mundur ke tahun 1860 pada saat manusia sudah mampu membuat stasiun ruang angkasa. Sejalan dengan pendapat Kees Snoek adalah pendapat Dick Hartoko alm.: "Max Havelaar masih perlu dibaca oleh angkatan muda kita bukan hanya untuk mengenalnya dari segi gaya tetapi juga untuk melawan segala bentuk kemunafikan dan kesewenang-wenangan. Sistem kolonial yang dilawan oleh Multatuli memang sudah berlalu. Tapi apa gerangan bedanya sistem kolonial di bidang ekonomi dengan keadaan sekarang, di mana kita dipaksa mengencangkan ikat pinggang untuk membayar hutang luar negeri? Para pimpinan lama sudah mati dan dikuburkan, tetapi sampai hari ini, kita masih menyaksikan suatu gaya dan praktek pemerintah yang dinafasi oleh semangat feodal". Sedangkan Rendra tanpa alang-kepalang dalam sanjaknya "Untuk Rakyat Rangkas Bitung" menulis bahwa kekuasaan politik sekarang tidak lain dari Bupati Lebak kekinian adanya. Orba tidak bisa mentoleransi tudingan Rendra ini, lalu melarang Rendra membacakan puisi-puisi multatuliennya di Medan dan Jakarta. Dalam kerangka mengisahkan kebangkitan sastrawan-seniman dan para cendekiawan terhadap penindasan yang antara lain mengambil bentuk sensor alias pembreidelan, Kees Snoek secara khusus bercerita tentang pengalaman seorang wartawan pemberontak Achille Weeber yang dengan berani menentang dan membelejedi praktek pemerintah kolonial Belanda melalui apa yang dilakukan oleh perusahaan minyak BPM [lihat: "Noblesse pétrolière", 1929] dan praktek perusahaan Philips [lihat: De Heraut , Bandoeng, 1938], serta praktek-praktek organisasi nazi di Hindia Belanda. Perlawanan dan pemaparan kejahatan-kejahatan ini, membuat Achille Weeber dimusuhi tapi kata-kata beberan Weeber menjadi kenyataan ketika Negeri Belanda dicaplok oleh Hitler. Menyimpulkan uraiannya Kees Snoek mengatakan dalam makalahnya: "Dan akhirnya mereka [baca: pasukan bersenjatakan pena -- JJK] memperoleh kemenangan relatif. Suharto tidak lagi menjadi pimpinan Indonesia. Betapapun demikian, kita selalu memerlukan semangat kemerdekaan agar bisa berjaga terhadap ancaman kekangan pikiran, sensor dan hal-hal yang lebih buruk lagi". Yang lebih penting lagi bagiku adalah kalimat penutup Kees Snoek yang mengatakan: "Cendekiawan sejati tidak pernah tidur" [Un vrai intellectuel ne dort jamais]. Bagaimana cendekiawan Indonesia hari ini? Tidurkah mereka? Terbelikah mereka? Ataukah tidak lebih dari "his masters voice"? Cendekiawan bukanlah penyontek tapi adalah produsen ide yang akrab dan tanggap situasi serta kehidupan. Mereka termasuk orang yang sanggup menantang ajal demi membela ide-idenya.Ide-ide manusiawi yang mereka produksikan adalah nafas jiwa mereka yang membuat mereka "tak pernah tidur" dan selalu berjaga. "Enggagement" manusiawi yang tanggung, sering membuat mereka jadi kelompok pembimbang dan barisan cari selamat. Adakah cendekiawan sejati dan manusiawi di Indonesia? Paris, Oktober 2004 ------------------ JJ.KUSNI [Bersambung...] Catatan: Foto terlampir melukiskan dua orang penulis Belanda yang turut hadir dalam "Hari Sastra Indonesia" Pertama yang berlangsung di l'Institut Néerlandais, Paris , 9 Oktober 2004.[Dokumen JJK]. [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar. Now with Pop-Up Blocker. Get it for free! http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Posting: [EMAIL PROTECTED] 5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/