http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/14/opini/1552803.htm
Senin, 14 Februari 2005 Reklamasi Singapura Tragedi Sipadan-Ligitan Babak Kedua? Oleh Huala Adolf SEWAKTU Komisi I DPR berkunjung ke Kepulauan Riau 26-29 Desember 2004, mereka pastilah kaget melihat beberapa pulau kecil di provinsi kepulauan itu sudah semakin dekat dengan daratan Singapura. Sepulang dari sana, mereka meminta pemerintah mewaspadai kegiatan reklamasi yang dilakukan Pemerintah Singapura (Kompas, 19/1/2005). Permintaan DPR ini tampaknya memang perlu ditanggapi dengan serius oleh pemerintah. Sudah tradisi lama yang susah hilang di negeri ini: kurang menghargai apa yang kita punya. Juga, kita kurang menjaga lahan kita sendiri. Mungkin karena Tanah Air ini sangat luas, pulaunya puluhan ribu, sehingga rasa kepemilikan lahan ini sepertinya jadi bukan prioritas pemerintah. Yang sederhana saja, sepanjang Bandung-Jakarta banyak lahan milik PJKA yang sudah ditempati banyak orang. Awalnya mereka bangun gubuk kecil dan sederhana di lahan PJKA itu. Karena tidak ada protes dan larangan dari PJKA, mereka menganggap kehadiran mereka direstui. Atau setidaknya, secara diam-diam, karena pejabat PJKA lewat tiap hari dan sepertinya memaklumi kehadiran mereka di situ, mereka anggap eksistensi mereka disetujui. Setelah sedikit berhasil dalam penghidupannya, mereka merenovasi gubuk mereka menjadi setengah permanen. Lantai dasar diberi keramik. Mereka juga merenovasi dinding gubuk dengan bata dan semen. Beberapa waktu kemudian, bentuknya menjadi rumah permanen. Kejadian seperti ini juga cukup banyak terjadi di lahan-lahan milik pemerintah dan pemda lainnya. Tidak terkecuali di Jakarta. Faktanya terjadi di depan hidung pemerintah! Masalahnya jadi rumit ketika pemerintah mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Yang terjadi penduduk menolak. Acapkali penolakan dilakukan dengan kekerasan. Terjadilah perang antara penduduk dan aparat keamanan. Dan kejadian ini terjadi hampir di setiap pulau besar. Tidak hanya di Pulau Jawa. Penduduk umumnya menganggap kehadiran mereka sah. Apalagi jika kemudian mereka dapat buktikan bahwa aparat pejabat pemerintah atau oknumnya telah menarik pajak, pungutan, dan sebagainya. Dengan pembayaran itu seolah-oleh mereka legal tinggal di situ! Kasus kurang rasa memiliki dan kurang perhatian pemerintah tersebut tidak saja terjadi di lahan tanah. Mungkin saja luas lahannya tersebut masih dalam hitungan meter persegi atau mungkin hektaran, namun bisa saja terjadi dalam skala pulau! Karena rasa kurang peduli ini, kita telah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan yang diklaim Malaysia. Contoh kurangnya kepedulian lain: pemerintah sampai sekarang belum memberi nama pada sekitar 2.000 pulau. Bagaimana kalau tiba-tiba ada negara yang memberi nama pada suatu pulau tersebut dan mengklaim pulau tersebut miliknya? Apa yang dapat dijawab RI kalau untuk pulau itu kita sendiri tidak tahu atau tidak punya namanya? Reklamasi Singapura Reklamasi Singapura sebenarnya adalah contoh "aneh tapi nyata" lainnya dari ketidakpedulian pemerintah terhadap lahannya. Reklamasi ini "aneh" tapi nyata karena reklamasi negeri kecil ini terjadi di depan hidung pemerintah. Yang lebih hebatnya lagi, reklamasi itu seolah-olah kita setujui dan dukung karena tanah untuk kegiatan reklamasi sebagian besar berasal dari tanah kita. Konon, kita keruk tanah-tanah pulau di sekitar Riau hingga pulau tersebut habis lahannya dan tenggelam! Tanah-tanah pulau yang telah tenggelam tersebut kita kirim ke Singapura untuk reklamasi negara yang luasnya kecil itu. Kalau sekarang Komisi I DPR meminta Pemerintah RI untuk memerhatikan perkembangan reklamasi Singapura karena kegiatan tersebut merusak lingkungan dan memengaruhi garis batas kedua negara, lalu, maaf, bukankah reklamasi itu selama ini seolah kita setujui? Bukankah kita sendiri yang secara diam-diam mendukung kegiatan reklamasi tersebut? Bukankah kita selama ini tahu dan mengizinkan eksploitasi tanah-tanah di sekitar kepulauan Riau untuk dikirim ke Singapura? Singapura melihat tanah sebagai salah satu kepentingan nasional yang utama. Negeri ini sudah sejak tahun 1960 memiliki rencana jangka panjang atas tanah ini. Cerainya mereka dari Malaysia di akhir tahun 1950-an dengan tanah yang kecil, membuat mereka menyadari betul keterbatasan dan arti penting tanah. Sejak 1960 pemerintah sudah berencana memperluas wilayahnya dengan cara reklamasi. Pertimbangannya, jumlah pulau yang kecil. Kedua, antisipasi terhadap jumlah penduduk yang akan berkembang. Ketiga, pertimbangan ekonomi dan bisnis lainnya. Waktu itu Singapura bertekad pula menjadi negeri dengan pelabuhan yang berstandar internasional, efisien, dan relatif murah. Dari sinilah pemasukan utama bagi negeri kecil yang minim sumber daya alam ini. Karena itu, perluasan lahan mau tidak mau harus dilakukan. Perluasan dilakukan melalui pemadatan rawa-rawa. Upaya reklamasi dilakukan untuk memperluas lahan atau menggabungkan pulau-pulau kecil yang berada di sekitarnya menjadi satu. Misalnya menggabungkan pulau kecil Sakra dan Pulau Bakau. Penggabungan pulau ini membentuk pulau baru bernama Pulau Sakara. Untuk itu, berapa pun mahal biaya reklamasi yang akan dipikul, Singapura bertekad membayarnya. Waktu merdeka tahun 1965, luas lahan Singapura hanya 581 kilometer persegi. Tahun 1990, luasnya berkembang menjadi 633 kmē. Proyeksinya, pada tahun 2030 luasnya menjadi sekitar 733 kmē. Artinya, dalam jangka waktu 65 tahun tanah bertambah menjadi sekitar 152 kmē. Artinya, tanahnya bertambah lebih dari 2 kmē per tahunnya. Bandingkan dengan Indonesia. Setiap tahun tanahnya berkurang (sebagian pulau kecil lenyap di sekitar Kepulauan Riau karena dieksploitasi tanahnya). Belum lagi dengan adanya bencana tsunami kemarin, wilayah Aceh, misalnya, sudah berkurang. Belum kabarnya ada beberapa pulau kecil di sekitar Aceh yang juga hilang karena tsunami. Masalah hukum internasional Masalah reklamasi dan dampaknya serta masalah garis batas adalah masalah hukum internasional. Masalah ini karenanya sudah menjadi konsumsi masalah antarnegara yang penyelesaiannya tunduk pada hukum internasional. Salah satu prinsip terpenting dalam hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa, termasuk masalah batas negara, adalah penyelesaian dengan damai. Karena itu, sudah seyogianya bagi pemerintah menyelesaikan masalah ini secara damai dengan Singapura. Negara lain yang mempermasalahkan reklamasi Singapura adalah Malaysia. Telah beberapa tahun ini Malaysia membicarakan masalah ini secara serius. Malaysia berpendapat, upaya reklamasi telah melahirkan serangkaian masalah. Bukan saja garis batas, tapi juga lingkungan dan pelayaran. Untuk itu Malaysia minta Singapura menghentikan upaya reklamasinya, minimal di daerah yang disengketakan Malaysia. Setelah upaya negosiasi gagal, Malaysia membawa masalah ini ke badan peradilan arbitrase internasional, yakni Permanent Court of Arbitration (PCA) di Belanda. Dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, PCA akan segera mengeluarkan putusannya. Putusan PCA akan menjadi penting bagi Malaysia dan Singapura. Putusan tersebut akan menentukan status reklamasi Singapura di masa depan. Masalahnya adalah putusan tersebut hanya mengikat kedua negara. Putusan tidak akan berpengaruh terhadap reklamasi yang berdampak terhadap Indonesia. Terutama reklamasi di bagian selatan Singapura yang berbatasan dengan Kepulauan Riau, wilayah yang menjadi perhatian Komisi I DPR sekarang ini. Masalah lainnya adalah Indonesia tidak menjadi anggota PCA. Karena itu, apabila putusan PCA nanti misalnya membenarkan kedudukan Malaysia, Indonesia tidak dapat kemudian membawa masalah reklamasi Singapura ke PCA. Karena itu, jalan satu-satunya yang terbaik adalah membicarakan masalah ini baik-baik dengan Singapura. Masalah ini sendiri sesungguhnya harus jadi cermin dan pelajaran penting kedua setelah tragedi lepasnya Sipadan dan Ligitan dari peta Indonesia. Kalau tidak, sepertinya masalah wilayah ini akan selalu muncul dari waktu ke waktu tanpa kita pernah belajar daripadanya. Huala Adolf Ketua Bagian Hukum Internasional FH Unpad Bandung [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Give the gift of life to a sick child. Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.' http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/