Media Indonesia Senin, 14 Februari 2005
Trend Baru Konglomerasi Kekuasaan Smita Notosusanto, Direktur Eksekutif Cetro FENOMENA perangkapan jabatan antara pejabat pemerintah dan pimpinan parpol sudah dirintis kembali oleh Partai Golkar yang memilih Wapres Jusuf Kalla sebagai Ketua Golkar. Bukan tidak mungkin bahwa 'trend' ini akan diikuti oleh parpol-parpol lain yang merasa bahwa cara yang paling efektif dan jitu untuk mendominasi kekuasaan adalah dengan merangkap jabatan di pimpinan parpol dan pada jabatan pemerintah atau lembaga legislatif. Fenomena ini mirip dengan fenomena konglomerasi yang mewarnai dunia swasta sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan keuntungan dengan memusatkan kekuatan modal dan produksi. Sebenarnya fenomena ini menghidupkan kembali paham 'integralistik' dan pemusatan kekuasaan yang dianut sejak masa Demokrasi Terpimpin dan masa Orde Baru yang memberi peluang bagi praktik perangkapan jabatan sebagai metode untuk memperkukuh kekuasaan rezim. Perangkapan jabatan antara jabatan swasta, pemerintah, parpol sampai militer merupakan ciri yang tidak terpisahkan dari rezim Orde Baru. Akibatnya, sirkulasi elite menjadi stagnan, pembersihan sistem politik macet dan proses pembuatan kebijakan didominasi hanya oleh satu kelompok elite politik. Tidak mengherankan bahwa Golkar yang tidak berhasil mengusung calonnya ke kursi presiden berupaya untuk meningkatkan posisi tawarnya dengan 'cara-cara lama' yang biasa digunakan pada era Orde Baru. Sebaliknya Wapres Jusuf Kalla merasa bahwa satu-satunya cara untuk mempertahankan pemerintahannya adalah dengan menguasai salah satu parpol besar di DPR. Kepentingan jangka pendek yang tertuju hanya pada pemilu 2009 ini sebenarnya membahayakan proses demokrasi karena mengikis suara alternatif yang dapat mengimbangi dominasi kekuasaan oleh salah satu kelompok. Kebijakan pemerintah cenderung menjadi sejalan dengan kebijakan parpol, dalam hal ini Golkar. Lebih jauh lagi praktik KKN antara pemerintah, parpol, dan DPR menjadi terbuka lebar karena tidak ada aturan yang membedakan hak dan kewajiban aktor-aktor yang merangkap jabatan di semua lini kekuasaan. Akibatnya, keuntungan politik maupun ekonomi di setiap posisi tersebut dapat didominasi hanya oleh satu kelompok elite. Tarik-menarik antara pemusatan kekuasaan yang menjadi ciri sistem yang otoriter dan desentralisasi kekuasaan yang menjadi ciri sistem yang demokratis sering kali mewarnai negara-negara yang masih mengalami transisi dari sistem otoriter ke demokrasi, seperti Indonesia. Negara-negara transisi biasanya tidak hanya menghadapi tantangan krisis politik, tetapi juga krisis ekonomi yang mengharuskan adanya pemerintahan yang kuat dan kredibel untuk dapat mengelola roda ekonomi menuju pemulihan. Masalahnya, krisis politik yang mewarnai periode transisi sering kali justru menghasilkan pemerintahan yang lemah yang tidak diimbangi pula dengan pranata-pranata demokrasi yang kukuh. Hal ini pulalah yang terus-menerus mendera Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang juga memicu transisi politik yang mengakhiri rezim Orde Baru pada tahun 1998. Pemusatan kekuasaan pada masa transisi dianggap sebagai cara efektif agar proses pembuatan kebijakan tidak terus menerus dibajak oleh proses politik di lembaga legislatif, apalagi dengan sistem multipartai. Pemerintah menjadi kukuh dan mudah dalam menentukan dan menerapkan arah kebijakan publik tanpa harus terus-menerus mengikuti kemauan berbagai kepentingan politik yang mewarnai proses di Parlemen. Namun, bahayanya, seperti dipaparkan di atas, pemusatan kekuasaan yang terlalu kukuh justru akan menyebabkan rapuhnya sistem yang hanya bertumpu pada satu faksi politik tanpa perimbangan dan pengawasan dari faksi-faksi politik yang lain. Tanpa perimbangan ini mustahil proses pembuatan kebijakan secara transparan dan akuntabel bisa tercapai. Sebaliknya, desentralisasi kekuasaan menimbulkan permasalahan sebaliknya bila tidak dikelola secara efektif. Setiap faksi kekuasaan akan dapat menjegal proses pembuatan kebijakan tanpa ada kata putus. Proses pembuatan kebijakan menjadi sangat lama dan pemerintah tidak dapat bersikap lugas sebagai pelaksana kebijakan karena harus mengikuti arah angin politik di parlemen. Masalah-masalah ekonomi menjadi sulit teratasi. *** Inilah dilema yang juga dihadapi oleh pemerintahan Susilo-Kalla yang tentunya cemas bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak akan langgeng tanpa dukungan salah satu kekuatan politik yang dominan di DPR, yaitu Partai Golkar. Jalan pintas yang diambil oleh Wapres Kalla sepintas merupakan langkah logis dari seorang penguasa dengan pendekatan konglomerasi yang mungkin dikenalnya dari latar belakang swastanya. Namun, yang tak terpikirkan adalah biaya politik yang harus ditanggung oleh negara ini apabila Partai Golkar kembali hanya berfungsi sebagai mesin politik pemerintah sedangkan pemerintah tidak lebih dari sebuah konglomerasi kepentingan tanpa akuntabilitas. Inilah yang dikhawatirkan oleh Lord Acton dalam dictumnya power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung menjadi korup, tetapi kekuasaan yang absolut pasti korup). Padahal, justru dalam masa transisi ini, pranata demokrasi harus ditata sedemikian rupa agar kekuasaan tidak sepenuhnya dibajak oleh kepentingan faksi tertentu namun tanpa mengorbankan efektivitas dan efisiensi pengelolaan proses pembuatan kebijakan. Metode ini biasanya dikenal dengan istilah checks and balances (kontrol dan perimbangan). Berbagai cara dapat digagas untuk mencapai jalan tengah ini. Pemilihan presiden langsung sebenarnya digagas untuk memecah konglomerasi kekuasaan yang mempersatukan kekuatan presiden dan parlemen di tangan satu kelompok seperti era Orde Baru. Melalui pemilihan presiden langsung seharusnya posisi presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi lebih kuat untuk mengimbangi kekuatan DPR dan MA. Sebaliknya DPR juga menjadi entitas yang lebih mandiri dari presiden, tidak semata menjadi stempel politik presiden seperti masa Orde Baru. Melalui mekanisme veto dan proses legislasi yang ditata rapi, niscaya proses kontrol dan perimbangan bisa mencegah konglomerasi kekuasaan dan sekaligus membuat proses pembuatan kebijakan menjadi lebih efektif. Teladan yang dimulai oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nurwahid untuk mengundurkan diri dari posisi Presiden PKS setelah terpilih menjadi Ketua MPR merupakan langkah positif ke arah good governance untuk mencegah terjadinya konglomerasi kekuasaan. Sayangnya pemahaman mengenai peran partai politik dan peran anggota legislatif sebagai representasi kepentingan publik masih sangat langka. Partai politik dan posisi anggota legislatif masih sepenuhnya dilihat dari sudut pandang upaya untuk memperoleh kekuasaan, bukan sebagai bentuk pelayanan bagi kepentingan publik. Cara pandang yang ada cenderung merupakan cara pandang jangka pendek yang mendorong langkah-langkah jalan pintas untuk membentuk konglomerasi kekuasaan. Konstitusi kita tidak sepenuhnya menjamin adanya proses kontrol dan perimbangan yang efektif karena proses amendemen yang parsial dan tambal sulam sehingga menutup peluang penyusunan suatu sistem ketatanegaraan yang secara komprehensif dapat menjadi dasar proses bernegara yang demokratis. Proses kontrol dan perimbangan seharusnya sudah secara eksplisit dinyatakan di konstitusi, sehingga tidak perlu lagi ada interpretasi yang bertentangan dengan konstitusi di tingkat undang-undang ataupun di tingkat kebijakan. Bila konstitusi sudah dapat dijadikan dasar yang kuat bagi proses bernegara, maka konglomerasi kekuasaan tidak lagi diperlukan dan bahkan dapat dicegah. Ingat bahwa seluruh proses transisi menuju demokrasi yang dimulai sejak tahun 1998 didasari oleh keinginan untuk menghancurkan konglomerasi kekuasaan yang ada. Lalu mengapa kini justru kita memulai tren baru konglomerasi kekuasaan baru lima tahun setelah proses transisi dimulai? [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/