PENGANTAR:

Dalam percaturan politik di Kalimantan Tengah, masalah perbedaan agama dan 
etnik dijadikan sebagai kendaraan politik oleh kalangan elite politik untuk 
menguasai daerah. Pada tahun 2002, menyusul konflik berdarah antar etnik-etnik 
di Kalteng dan etnik Madura, oleh kalangan tertentu telah dicoba mencetuskan 
konflik antar agama, terutama antara penganut agama Islam dan penganut agama 
Kristen di samping konflik antara etnik Banjar yang disebut di Kalimantan 
sebagai Urang Banjar dan etnik Dayak. Untuk memahami apa siapa Urang Banjar 
itu, guna melengkapi tulisan saya "Surat Kepada Orang Sekampung: Proses 
Desivilisasi", saya lampirkan tulisan Marko Mahin, dosen antropologi agama pada 
Sekolah Tinggi Teologi GKE Banjarmasin,  yang saya kutip dari website Lembaga 
Studi Dayak21. Apa yang dilukiskan oleh Marko Mahin di sini hanyalah sorotan 
dari satu segi saja, tapi saya rasakan bisa membantu saya dalam menjelaskan 
keadaan hubungan antar agama dan etnik, terutama antara Urang Banjar dan Dayak 
serta antara Islam dan Kristen di Kalteng sekarang. 

Studi sejarah dan budaya Dayak, sekarang sedang digalakkan oleh kalangan 
akademisi muda Dayak Kalteng dalam rangka memahami diri sendiri serta untuk 
melangkah maju ke hari depan dengan pandangan yang jelas. 

JJK

 
[Sumber: Lembaga Studi Dayak 21, Monday, 24 January 2005]



URANG BANJAR 
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN [1]

Oleh Marko Mahin

Of Borneo's total population of 12 million,  only about one fourth  are 
classified as Dayaks-the rest are Malays.  Ninenty percent of the so called 
Malays, all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks (Karl Muller, Introducing 
Kalimantan, Penerbit Periplus Edition, 47).


Abstract:
Banjar  or Bandar, in the begining, is  the name of  a small kampong in estuary 
of  the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that 
led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of  an ethnic 
group and  Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology 
that is with the existence of adagium "Islam is Banjar and Banjar is Islam."   
Banjar have come to the religious and culture conception, naming Banjar is to 
show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem.  
 This article wish to re-trace  Banjar as distinguishing ideology  by re-read 
the Hikayat Bandjar, and studies  bearing theory that  "Banjar is Islam and 
Islam is Banjar."  



A.  Pendahuluan

Pada bulan Juni 2004,  seorang laki-laki yang bernama Asep datang ke Sungei 
Kayu, perkampungan orang Dayak Ngaju yang berada di pinggir sungai Kapuas, 
Kalimantan Tengah.   Dengan bahasa Banjar yang kental, ia mengaku dirinya 
sebagai Urang Banjar, tinggal di Banjarmasin tepatnya di belakang Pasar Pandu 
dan tujuan kedatangannya adalah untuk mencari saudara-saudara kandung almarhum 
ayahnya.  Singkang, penduduk asli Sungei Kayu,  orang pertama tempat Asep 
bertanya,  bingung dengan adanya "orang asing"  itu.  Padahal salah satu nama 
yang  disebutkan Asep sebagai saudara kandung almarhum ayahnya adalah ibu 
kandungnya sendiri.   Karena baginya sebagai orang Dayak  sangatlah aneh dan 
tidak mungkin  kalau ia bisa mempunyai saudara sepupu sekali Urang Banjar, 
sedangkan tidak satupun saudara kandung ayah atau ibunya pernah menikah dengan 
Urang Banjar.  Setelah melalui perkenalan kekeluargaan, dapat diketahui memang 
almarhum ayahnya Asep adalah orang Dayak asli kelahiran Sungei  Kayu, sedangkan 
ibunya orang Bugis.   Namun ketika ditanya bagaimana caranya  bisa menjadi  
Urang Banjar ,  Asep hanya  tertawa dengan wajah bingung.  Begitu juga dengan 
saudara-saudara Dayak-nya,  yang sebagian sudah memeluk agama Islam. 
 
Kebingungan Asep dan saudara-saudaranya, merupakan titik pangkal dari tulisan 
ini.  Memang ada beberapa tulisan yang menginformasikan bahwa kalau orang Dayak 
memeluk agama Islam maka ia akan menjadi Urang Banjar (Ukur 1971:1983-84, 
Hudson 1972: 12; 1967: 25-6, Garang 1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72).   
Namun tulisan-tulisan itu tidak ada  memuat penjelasan tentang apa dan 
bagaimana hubungan agama (Islam) dengan pembentukan identitas satu etnis 
(Banjar). Etnis Banjar dilihat sebagai satu yang  given - sesuatu dari sananya. 
 Pandangan ini seolah-olah ingin mengatakan: "Karena Islam maka menjadi Banjar, 
dan karena Banjar maka Islam".  Di sinilah kelemahan pendekatan primordialisme, 
di mana kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran 
kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial.  Akibatnya adalah 
 akan ada orang yang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya 
sendiri.  

Dalam konteks  Kalimantan Selatan, pendekatan primordialisme  memunculkan 
beberapa pertanyaan misalnya:

- Apakah Urang Banjar merupakan produk kehadiran Islam di tengah masyarakat  
Kalimantan Selatan atau merupakan hasil dari proses sosial-politik  etnis 
setempat ?

- Sejak kapan  dan bagaimana Banjar  menjadi identitas suku sekaligus identitas 
agama?

- Apakah betul sebagai konsep  agamis dan kultural, penamaan Banjar adalah 
untuk menunjukkan  perbedaan antara orang  (Dayak)  yang telah berislam, dengan 
orang (Dayak) yang belum/tidak beragama Islam (lih. Salim 1996:227)

Tulisan  ini didasarkan pada satu preposisi bahwa  etnis Banjar  bukanlah 
sesuatu yang  sudah ada begitu saja   tetapi terjadi dan  menjadi  setelah 
melalui proses sosial,ekonomi, budaya dan keagamaan tertentu.   Pemikiran 
seperti ini pernah dikembangkan oleh Marry Hawkin (2000:34)  yang menyimpulkan 
bahwa "many Banjar are not born but made".  Atau yang lebih terdahulu oleh 
Frederik Barth yang memandang identitas sebagai hasil dari satu proses sosial 
yang rumit dan interaksi dengan kelompok sosial lainnya (lihat Barth 1969: 
10-19).  Untuk melacak proses  terjadi dan menjadi itu, mau tidak mau saya 
harus mulai dari  terbentuknya kerajaan Islam Banjar, dari situ nanti akan 
dikembangkan diskusi selanjutnya.


B. Penelusuran Awal: Putra Mahkota Yang Terbuang dan Kegelisahan Politik Patih 
Masih
                              
Sejarah terbentuknya   kerajaan Islam Banjar berawal dari   sengketa perebutan 
tahta   yang terjadi di kalangan internal elite kerajaan Hindu Jawa yang 
bernama Negara Daha yang dipimpin oleh Maharaja Sukarama.  Menurut Hikayat 
Bandjar  (Ras 1968: 376-80), bibit  konflik   itu bermula dari "Keputusan Hari 
Sabtu" Maharaja Sukarama  yang menyatakan bahwa   tahta kerajaan diwariskan  
bukan ke salah satu dari ketiga anaknya: Pangeran Mangkubumi, Pangeran 
Bagalung, dan Pangeran Tumanggung, tetapi ke cucunya Pangeran Samudera.  Adapun 
Pangeran Samudera pada waktu itu masih berumur tiga tahun dan berstatus 
yatim-piatu karena ibunya Putri Galuh, putri bungsu dari  Maharaja Sukarama,  
meninggal dunia ketika ia baru pisah susu dan ayahnya  Raden  Mantri Alu  
menyusul tidak lama kemudian. Tentu saja keputusan kontroversial  itu mendapat 
sanggahan, menimbulkan kecemburuan bahkan  kemarahan dari ketiga pamannya, 
terutama  Pangeran Tumanggung.  Bagi Pangeran Tumanggung keputusan sang ayah 
itu menyalahi tradisi kerajaan dimana mahkota kerajaan haruslah diwariskan ke 
anak tertua dan bukan kepada cucu, apalagi cucu dari anak bungsu perempuan.  
Namun semua keberatan itu  tak bermakna  bagi  sang ayah yang berkata "Maski 
bagaimana kata angkau, karana sudah ia si Samudra itu ringan bibirku".  Sejak 
saat itu maka terancamlah nyawa Pangeran Samudera.


Ketika Pangeran Samudera berumur tujuh tahun, Maharaja Sukarama meninggal 
dunia.   Pada saat orang sibuk mempersiapkan upacara pemakaman,  Mangkubumi 
Aria Taranggana;  orang kepercayaan Maharaja Sukamara  yang tahu persis akan 
adanya persaingan perebutan mahkota kerajaan, secara diam-diam menyuruh 
Pangeran Samudera melarikan diri  agar tidak dibunuh oleh sang paman; Pangeran 
Tumanggung.    Dengan berbekal djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan 
sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, 
bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, 
salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar 
salambar,  Pangeran Samudera: Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha, seiring 
deras arus sungai Barito pergi  sebagai seorang pelarian politik.  Peristiwa 
pilu yang dialami oleh Pangeran Samudera, dalam Hikayat Banjar  (Ras 1968: 382) 
 dituturkan dengan nada yang melankolis:

Maka ditjarinja Raden Samudra itu.  Dapatnja, maka dilumpatkannja arah parahu 
talangkasan.  Maka dibarinja djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan 
sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, 
bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, 
salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar 
salambar.  Kata Aria Taranggana: "Raden Samudera, tuan hamba larikan dari sini 
karana tuan handak dibunuh hua tuan Pangeran Tumanggung.  Tahu-tahu 
manjanjamarkan diri.  Lamun tuan pagi baroleh mandjala, mana orang kaja-kaja 
itu tuan bari, supaja itu kasih.  Djangan tuan mangaku priaji, kalau tuan 
dibunuh orang, katahuan oleh  kaum Pangeran Tumanggung.  Djaka datang kabandar 
Muara Bahan djangan tuan diam disitu, balalu hilir, diam pada orang manjungaian 
itu: atawa pada orang Sarapat, atawa pada orang Balandean, atawa pada orang 
Bandjarmasih, atawa pada orang Kuwin.  Karana itu hampir laut maka tiada pati 
saba kasana kaum Pangeran Tumanggung dan Pangeran Mangkubumi, kaum Pangeran 
Bagalung.  Djaka ada tuan dangar ia itu kasana tuan barsambunji, kalau tuan 
katahuannja.  Dipadahkannja itu arah Pangeran  Tumanggung lamun orang jang 
hampir-hampir itu malihat tuan itu, karana sagala orang jang hampir itu tahu 
akan tuan itu.  Tuan hamba suruh lari djauh-djauh itu."  Maka kata Raden 
Samudera: "Baiklah, aku manarimakasih sida itu.  Kalau aku panjang hajat 
kubalas djua kasih sida itu."   Maka Raden Samudera itu dihanjutkannja di 
parahu katjil oleh Aria Taranggana itu, sarta air waktu itu baharu bunga baah.  
Maka Raden Samudera itu bakajuh tartjaluk-tjaluk.  Bahalang-halang barbudjur 
parahu itu, karana balum tahu bakajuh

Di atas sebuah biduk kecil, dengan menyamar  sebagai  paiwakan (nelayan), 
Pangeran Samudera berpetualang  di perairan  muara sungai Barito.  Ia 
mengembara dari kampung ke kampung yang ada di sepanjang sungai yaitu:  
Sarapat,  Balandean,  Bandjarmasih, Kuwin,  Sungai Muhur, Tamban, dan Sungai 
Balitung  (Ras 1968: 398, Saleh  1975: 24).   Hidup  sebagai "Putera Mahkota 
Yang Terbuang"  itu dijalaninya bertahun-tahun yaitu   selama zamannya Maharaja 
Mangkubumi menjadi raja di kerajaan Negara Daha  sampai kepada zaman Pangeran 
Tumanggung.  Menurut Syarif Bistimy (2004: 5)  selama masa itu Pangeran 
Samudera memakai nama samaran Samidri.  Kehidupan yang serba prihatin itu 
dilakoninya dengan mantap hingga  dewasa, seperti yang tercantum dalam Hikajat 
Bandjar  (Ras 1968: 398).  :

Maka Raden Samudra itu tahu ia manjamarkan dirinja, tahu ia marandahkan 
dirinja.  Djaka baroleh malunta, mana  jang tuha-tuha kampung itu dibarinja.  
Maka itu jang mambari baras; tapih, ada jang mambari kain, ada jang mambari 
buntil.  Sagala jang malihat itu kasih dan sajang.  Maka Raden Samudra itu 
sudah taruna ada jang handak maambil minantu tapi Raden Samudera itu tiada mau 
baristri.

Penyamaran dan kisah hidup Pangeran Samudera sebagai pelarian politik  memang 
tidak abadi. Setelah melalui riwayat persembunyian yang panjang, di  muara 
sungai Kuwin, di sebuah kampung yang  bernama Bandjar, ia bertemu dengan 
seorang Patih Melayu yang sarat dengan visi politik. Kampung  Bandjar atau 
Bandjarmasih pada waktu itu (abad 16)  merupakan satu-satunya kampung orang 
Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju/Dayak Ngaju  yang 
menggunakan bahasa Brangas (Saleh 1975: 24, 1983/84: 10, 1984: 6,  Tim Editor 
Sejarah Banjar 2003: 65).  Kampung ini dipimpin oleh Patih Masih (Ras 1968: 
398).  Karena itu orang-orang Ngaju yang berdiam di sekitar kampung itu 
menyebut  orang Melayu  yang berdiam di kampung itu dengan "Oloh Masi" (bdk. 
Hardeland  1859: 342, 638).   Pada abad  ke-16 dan 17  kampung Bandjarmasih 
terletak di antara sungai  Pandai, Sigaling, Karamat,  Jagabaya, dan  Pangeran 
yang kesemuanya anak sungai Kuwin.  Hulu-hulu sungai itu bertemu di darat 
membentuk danau kecil bersimpang lima (Leirissa dkk. 1984: 58). 

Karena letaknya  yang strategis, yaitu tempat bertemunya pelayaran laut dengan 
pelayaran sungai, maka kampung  Bandjar atau Bandjarmasih  mempunyai potensi 
ekonomi dan politik  yang tinggi (Saleh 1958: 26).  Apalagi pada waktu itu 
pelayaran dan perdagangan antar pulau sangat ramai. Di mana sejak pertengahan 
abad ke-16 perdagangan ke Maluku, dengan terlebih dahulu melalui Makasar, 
sangat ramai.  Pelayaran ini juga melewati Bandjarmasih yang menyebabkan banyak 
disinggahi pedagang.  Namun sayangnya potensi itu  seolah mati atau terhambat 
karena  bandar yang merupakan pusat niaga berada di daerah pedalaman bagian 
hulu, yaitu di Muara Bahan, dan  ibu kota kerajaan yang menjadi pusat  
kebijakan-kebijakan berada di Kahuripan, di daerah Danau Panggang.    Ditambah 
lagi pada waktu itu, secara politis kampung Banjar atau Bandjarmasih merupakan 
kawasan pinggir karena merupakan taklukan dari Negara Daha yang dibebani dengan 
berbagai upeti dan pajak.   Sehubungan dengan  posisi  politis  yang tidak 
menguntungkan itu , menurut Idwar Saleh memang   "Bagi kampung-kampung yang 
terletak di sekitar kota Banjarmasin sekarang - yang mana dikuasai oleh patih 
Masih, Balitung, Balit, Muhur, yang lebih banyak merasakan laba perdagangan - 
hubungan pengakuan kuasa pada pedalaman dirasakan sebagai kerugian belaka" 
(1958: 34).

Sebagai seorang pimpinan wilayah Bandjar, Patih Masih tampaknya sangat memahami 
situasi politik Negara Daha.  Ia tahu betul bahwa  seorang  yang mamakai tapih 
buruk, badju buruk, dan kupiah buruk (Ras 1968:400)  yang bersembunyi di 
sekitar wilayahnya adalah cucu Maharaja Sukarama, pelarian politik pewaris sah 
tahta kerajaan Negara Daha.  Langkah politik pertama ia ambil adalah membangun 
aliansi dengan para patih Dayak yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu 
Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, 
Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung 
Balitung (Ras 1968: 402).  Dalam sebuah pesta perjamuan  yang dihadiri 
kira-kira 500 orang, Pangeran Samudera yang kini sudah memakai kain jang 
baik-baik, kupiah jang baik serta duduk diatas katil tiada mau  (Ras 
1968:400-1) diminta untuk menjadi raja dengan alasan:

Daripada kita masih mendjadi desa, santiasa kana sarah dangan pupuan maantarkan 
kahulu, hangir kita barbuat radja, kalau ia ini jang saparti chabar orang itu 
tjutju Maharadja Sukarama jang diwasiatkannja mandjadi radja

Alasan untuk lepas dari kewajiban pajak dan menyerahkan upeti,  serta keinginan 
untuk  "tidak  lagi  berstatus desa," itu diterima oleh Pangeran Samudera yang 
ditindaklanjuti dengan  merebut Bandar Muara Bahan dan memindahkan Bandar itu  
dengan segala penduduknya ke Bandjarmasih.  Hal itu rupanya disambut baik oleh 
para pedagang yang ada di Muara Bahan, karena  memang posisi Bandjarmasih yang 
dekat muara sungai sangatlah  strategis dan  menguntungkan (Ras 1968: 406). 

Tentu saja  hal ini membuat murka Pangeran Tumenggung  yang  berujung pada 
perang terbuka antara paman dan keponakan.  Untuk meraih kemenangan, Pangeran 
Samudera  meminta bantuan ke Kintap, Satui, Sawarangan, Hasam-hasam, Laut 
Pulau, Pamukan, Pasir, Kutai, Barau, Karasikan, Biaju, Sabangau, Mandawai, 
Sampit, Pambuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas (Ras 1968: 408).  
Bantuan yang signifikan datang dari kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai 
utara Jawa.  Dengan adanya bantuan itu maka sang keponakan berhasil mengalahkan 
sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak 
politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau 
memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran 
Tumanggung (Ras 1968: 21-53, Usman 1998:22).  Masih menurut Hikajat Bandjar  
(Ras 1968: 438) setelah berhasil menjadi raja di Bandjarmasih, oleh  orang 
nagri Arab, ia diberi gelar Sultan Surjanu'llah.

C.  Awal Kesultanan:Mari Mendiskusikan Hikajat Bandjar

Patut diakui, seperti yang dikatakan oleh Lambut (1992: 25), bahwa pengetahuan 
dan penghayatan kita tentang masyarakat Kalimantan, bumi tua yang selalu 
terpecah belah, masih sangat sedikit dan masih sangat kaku.  Begitu juga 
mengenai pengetahuan kita mengenai Urang Banjar  hanyalah berkisar pada 
spekulasi-spekulasi para penulis Barat yang menyatakan bahwa masyarakat inti 
asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya sempalan Melayu  yang 
menurut pelbagai sumber  berasal dari salah satu tempat di semenanjung Malaka 
(Hudson 1956, Oppenheimer 1999, Potter 1999, dalam Lambut 2003).  Memang ada 
juga spekulasi yang non-Barat yang menyatakan bahwa suku Banjar adalah "Melayu 
yang Jawa" atau "Jawa yang Melayu"  (lihat Salim1996: 223).  

Sumber atau data sejarah untuk melacak  lahirnya etnis Banjar sangatlah 
terbatas sekali.  Satu-satunya buku yang terus menerus menjadi rujukan adalah 
Hikajat Bandjar.  Walaupun Hikajat Bandjar , oleh J.J. Ras, diklasifikasikan 
sebagai  "a Malay myth of origin" (Ras 1968: 93), yang artinya realiabilitas 
data sejarahnya diragukan,   tetapi sebagai teks sastra yang diproduk  ketika 
masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah 
sumber  valid dan patut diperhitungkan.  

Ras dengan nada hormat, karena berisi ceritera asal-asul,  menyebut Hikajat 
Bandjar  sebagai  teks yang semi sakral (semi-sacred text).  Ia mengatakan 
"...also cleary indicates that this text was originally a piece of semi-sacred, 
functional literature"  (Ras 1968: 93).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa 
bentuk awal dari  Hikajat Bandjar   adalah sastra atau tradisi lisan yang 
dikenal sebagai mitos asal-usul.    Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan 
 bahwa Hikajat Bandjar   sebagai  tradisi lisan tidak diragukan lagi sebagai 
sumber pengetahuan tentang masa lalu (Vansina, 1965 : X).   Memang tak dapat 
disanggah ada pendapat yang mengatakan bahwa Hikajat Bandjar   adalah  mitos: 
sekedar cerita belaka, dan tidak masul akal. Akan tetapi anggapan semacam ini 
dapat ditepis dengan pendapat Van Peursen (1978:37-41) bahwa "mitos adalah 
sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu  pada kelompok orang 
(pemiliknya), memberikan "pengetahuan tentang dunia".  Dengan demikian Hikajat 
Bandjar   dapat  menjadi sumber pengetahuan tentang masa lalu  atau menjadi 
sumber pengetahuan tentang "pengetahuan tentang dunia" orang Kalimantan pada 
masa lalu.

Hal pertama yang dapat kita katakan  mengenai  Hikajat Bandjar  adalah teks ini 
ditulis pada masa kesultanan Islam Banjar.  Sebagaimana tradisi Islam, ia 
dibuka dengan satu doxology "Bism Allâh al-rahmân al-râhim wa bihi nasta' în bi 
Allâh 'aliy" (Ras 1968: 228).  Ini dapat diasumsikan bahwa Hikajat Bandjar   
membawa satu tujuan khusus yaitu untuk menyebarkan berita-berita mengenai 
kesultanan Banjar Islam.  Karena itu kemenangan Pangeran Samudera , yang 
didukung oleh kekuatan Islam Demak, dalam perang saudara melawan Pangeran 
Tumenggung secara implisit adalah untuk mendemontrasikan kebesaran kesultanan 
Banjar Islam ketika berhadapan dengan kekuatan lain. 

Di sisi lain Hikajat Bandjar    juga dapat dilihat sebagai  upaya untuk mencari 
legitimasi politik dari Jawa  seperti  yang sebelumnya sudah dibuat oleh orang 
Kalimantan pada masa pra-Islam.  Karena itu dalam Hikajat Bandjar   dituturkan 
bahwa asal-asul  dan silsilah sultan Banjar pertama adalah dari Negara Dipa 
yang diclaim berasal dari Majapahit.  Menurut Russel Jones (1979: 153) ,  
penyusunan silsilah yang mengkaitkan diri dengan raja atau tokoh-tokoh masa 
lampau yang pernah berkuasa  adalah hal yang biasa dilakukan oleh para raja 
yang baru bertahta dalam rangka mendapat pengakuan dari rakyatnya.  Menurut 
Sartono Kartodirjo (1992: 47) kekuasaan raja sering bersumber pada soal 
keturunan, maka silsilah raja  berfungsi sebagai  dasar legitimasi otoritasnya. 
 Karena itu, tidaklah heran kalau di dalam Hikajat Bandjar    dituturkan betapa 
unggulnya para leluhur yang menurunkan para elite istana, dimana dalam jajaran 
nenek moyang terdapat nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain (Ras 1968: 21), para 
saudagar kaya serta gagah berani dan para elite lokal (Ras 1968: 27).  Bahkan 
Putri Junjung Buih,  nenek moyang perempuan orang Dayak Ngaju  juga didaftarkan 
sebagai salah satu nenek moyang  raja Banjar (Ras 1968: 308-12).

Dalam tradisi sastra kerajaan Jawa,  Hikajat Bandjar   dapat digolongkan 
sebagai babad yang bertujuan untuk memuliakan raja atau seseorang yang 
dirajakan dan menceriterakan asal usul  satu kerajaan.  Anthony Reid, yang 
menyebutkan bahwa Hikajat Bandjar     sebagai turunan dari tradisi Islam Jawa, 
mengatakan bahwa sebagai kronik Hikajat Bandjar    "tidak ragu menggambarkan 
kekuasaan para penguasa dan asal usul negara dengan menggunakan kekuasaan magis 
(kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi  
proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang  dapat 
diterima oleh kalangan Muslim di sebagian besar dunia" (2004: 20-22).  Dalam 
genre babad,  Hikajat Bandjar  memang alat legitimator para raja.  Hal ini 
sangat diperlukan bila mengingat betapa tindakan seorang raja penggeser 
(usurpator)    dalam satu suksesi kerajaan akan dapat mendatangkan perasaan 
tidak adil dalam masyarakat.  Rasa tidak adil dalam masyarakat demikian itu 
harus dihindarkan jangan sampai tumbuh.  Untuk itu raja penggeser harus 
mengusahakan legitimasi.  Salah satu caranya adalah melalui penulisan babad 
atau hikayat, yang tujuannya untuk menyatakan bahwa raja penggeser itu layak 
dan berhak sebagai raja.  Dengan demikian  kedudukan para usurpator akan 
semakin kokoh, karena perasaan ketidakadilan dalam masyarakat dapat dinetralkan 
bahkan tindakan penggeseran itu dapat diterima (G. Moedjanto 1987: 34-6).  
Kalau  kita mencermati "daftar orang hebat"  yang terdapat silsilah seperti  
dipaparkan oleh Hikajat Bandjar, maka  akan tampak bahwa siapa saja yang  mau 
"dirangkul" atau "dijinakkan" oleh para usurpator ini (lih. Ras 168: 123).

Dalam fungsinya sebagai legitimator dan pengaman kedudukan Raja, sangat dapat 
dimengerti kalau ada beberapa bagian dari Hikajat Bandjar, misalnya perkelahian 
antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, sengaja dibuat 
"tampil agung dan cantik".    Sebab sangat ironis  kalau Sultan Islam 
Banjarmasin yang pertama digambarkan sebagai orang sadis yang tega membunuh 
paman kandungnya sendiri.   Dalam semangat anti hegemoni Jawa, terkadang  
bagian ini  dapat dikatakan sebagai bagian yang sengaja dibuat sedemikian rupa 
untuk menunjukkan bagaimana pusat kerajaan Jawa di Nagara Daha  ditaklukkan  
tanpa melalui peperangan.

Sebagai produk pujangga istana, menarik untuk dicermati bahwa Hikajat Bandjar   
 memang berbicara tentang sejarah awal  pengislaman kaum istana tetapi  sama 
sekali tidak ada bertutur  mengenai sejarah urang Banjar.  Memang ada banyak 
kata Bandjar, basa Bandjar, kota Bandjar, nagri Bandjar, atau  radja Bandjar  
(Ras 1968: 533) disebutkan, namun sama sekali tidak untuk menunjuk pada etnik 
Banjar tetapi untuk menunjukkan sekelompok orang yang tinggal di satu wilayah 
kampung yang dikenal sebagai  Bandjarmasih, di muara sungai Kuwin.  Scott 
(1913:313-44 dalam Azra 2004: 315) menggambarkan bahwa meskipun Islam tampaknya 
telah dianggap secara resmi sebagai agama negara, kaum Muslim ternyata hanya 
merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk.  Para pemeluk Islam, 
umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; Islam hanya  mampu masuk secara 
perlahan ke kalangan suku Dayak.  Karena itu tidaklah heran kalau dalam Hikajat 
Bandjar    orang-orang yang tinggal di Pamukan, Hasam-hasam, Kintap, Takisung 
dan Tabuniau tidaklah disebut  sebagai orang Banjar.  (Ras 1968: 430).  Bahkan 
orang-orang yang berdiam di Sarapat, Balandean, dan Kuwin juga tidak disebutkan 
atau dibedakan dari orang Banjar atau orang  Bandjarmasih (Ras 1968:382).  
    
Mengenai  basa Bandjar pun  dinyatakan beda dengan bahasa Melayu, yaitu ketika 
Patih Masih akan berkata kepada Raden Samudera yang sedang menyamar dikatakan  
"Adapun kata kamudian dikatakan kata basa Bandjar, tiada itu basa Malaju". (Ras 
1968:400).  Ras menyebut bahasa yang dipergunakan dalam Hikajat Bandjar   
dengan istilah the Bandjarese colloquial,  dimana di dalamnya terdapat banyak 
kata yang bukan bahasa Melayu maupun bahasa Banjar yang dipergunakan pada waktu 
itu, tetapi bahasa Dayak Ngaju atau Jawa  (Ras 1968:12).    Dalam hubungannya 
dengan bahasa Dayak Ngaju, Ras berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena pada 
satu ketika di masa lampau  telah terjadi hampir seluruh komunitas Dayak  
membuang atau meninggalkan bahasa aslinya dan beralih ke bahasa para atasan 
atau para tetangganya yang adalah orang Melayu, dengan demikian  mereka melebur 
kedalam  komunitas yang berbahasa Melayu Banjar (Ras 1968:8).   Hal ini memang 
terjadi yaitu ketika Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur 
pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih 
Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402), sepakat dengan Patih Masih 
untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka.

Menarik untuk disimak bahwa Hikajat Bandjar   juga tidak berbicara sedikitpun 
mengenai etnis Dayak atau nama Dayak.  Ia banyak berbicara mengenai Biadju (Ras 
1968:536).  Ketika menjelang pengangkatan Pangeran Samudera sebaga Raja 
Bandjar, memang muncul kesan adanya konfederasi Melayu dan Biadju.  Hal itu 
terjadi karena  langkah politik Patih Masih untuk  membangun aliansi dengan 
para patih Biadju yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu Patih Balit  
pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin 
pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung 
(Ras 1968: 402).  Pada saat itu,  kesan Banjar sebagai satu kelompok sosial 
sama sekali tidak muncul.

Sekalipun dikelompokkan sebagai "mitos" ternyata Hikajat Bandjar    memberi 
sumbangan informasi penting kepada kita pada masa kini, yaitu bahwa sebelum dan 
pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik 
Dayak  sama sekali tidak disebut.  Hal itu berarti, Banjar, pada waktu itu,  
belum menjadi identitas suku atau agama, dan hanya sebagai identitas diri yang 
merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.  
Tampaknya data-data ini sangat mempengaruhi Idwar Saleh  (1986: 12)  sehingga 
ia menyimpulkan:

Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam 
bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit 
sebagai inti.  Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan.  
Dalam amalgamasi [campuran] baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, 
Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar 
dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton.  ....Di 
sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang 
ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok  Banjar Kuala, kelompok 
Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.  Yang pertama tinggal di daerah Banjar 
Kuala sampai dengan daerah Martapura.  Yang kedua tinggal di sepanjang sungai 
Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua.  Yang ketiga 
tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari.   Kelompok 
Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu 
berasal dari kesatuan- etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari 
kesatuan- etnik Bukit.  Ketiga ini adalah intinya.  Mereka menganggap lebih 
beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan 
Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.  

[Bersambung.....]



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources 
often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today!
http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke