Marilah omong tentang INDONESIA.
Jangan berpola partisan atau tanpa juntrung. salam


--- In [EMAIL PROTECTED]:
Sebenarnya bukan wayang tentang aids yang pertama, tapi yang penting 
bukan soal itu kan. Salam (FILE)

*********************************************


--- <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Adegan 11: Puncak Gunung Kailasa

Bima bertekad akan menghadap Guru Sejatinya, Sang Dewaruci, untuk 
mohon 
petunjuk cara mengatasi bahaya yang mengancam generasi muda Amarta. 
Untuk 
itu ia naik sendirian ke puncak Gunung Kailasa, tempat para dewata 
bersemayam.

Di situ Bima berjumpa dengan Dewaruci untuk kedua kalinya, setelah 
pertemuan pertama mereka di dasar samudra dalam lakon "Dewaruci". 
Setelah 
Bima menyampaikan keprihatinannya, Dewaruci berkata bahwa sebetulnya 
Bima 
sudah bisa menemukan jawaban atas keprihatinannya sendiri. Untuk 
itu, 
Dewaruci menyuruh Bima masuk kembali ke sanubari Dewaruci melalui 
telinga 
kirinya, sebagaimana pernah dilakukannya ketika berjumpa pertama 
kali dulu.

<Bima masuk ke dalam sanubari Dewaruci, dan ia berada sendirian di 
alam 
kosong.>

---> (Dari "Serat Dewaruci" gubahan Yasadipura I)

Dalang: Tanpa ragu Bima segera masuk ke dalam tubuh Sang Dewaruci. 
Setelah 
tiba di sanubari Dewaruci, tampak olehnya samudra luas tanpa tepi. 
Sejauh 
mata memandang, Bima tidak melihat apa pun selain angkasa kosong 
melompong. 
Kemana pun Bima berjalan, tidak tahu utara, selatan, barat dan 
timur. Tidak 
tahu pula atas, bawah, muka dan belakang. Bima bingung, kehilangan 
arah, ke 
mana saja ia pergi, tak ada bedanya. ...

<Dewaruci muncul kembali di hadapan Bima.>

Dalang: Seketika itu juga, Bima sudah berhadapan kembali dengan 
Dewaruci. 
Tampak Dewaruci bercahaya berkilauan, terang-benderang kanan-
kirinya. Pada 
saat itu pula, Bima tidak lagi bingung. Ia dapat mengetahui kembali 
utara, 
selatan, barat dan timur, demikian pula, atas, bawah, muka dan 
belakang. Di 
samping itu, Bima melihat lagi matahari, sehingga hatinya tenang 
kembali, 
sekalipun ia  sesungguhnya melihat Dewaruci dalam dunia sungsang 
balik. 
Kemudian Bima melihat empat macam warna: hitam, merah, kuning dan 
putih.

Bima: "Hamba melihat empat macam warna: hitam, merah, kuning dan 
putih. 
Apakah artinya itu?"

Dewaruci: "Empat macam warna, hitam, merah, kuning dan putih itu 
pancamaya 
namanya. Itulah hati sanubari yang sejati, yang menjadi penuntun 
raga, 
menjadi pertimbangan laku; kekuasaan serta khasiat hati dan 
penglihatan 
hati itu menuju ke kemuliaan sejati.

             "Adapun caturwarna, hitam, merah, kuning dan putih yang 
terdapat di dalam hati itu merupakan bahaya sesungguhnya dalam hati, 
yang 
menolak pikiran yang menuju ke keselamatan dan kebahagiaan.

             "Yang mengisi kehidupan di dunia ini sepenuhnya ialah 
tiga 
warna dari empat warna itu, yaitu hitam, merah dan kuning. Tiga 
warna ini 
menjadi penghalang laku utama. Barang siapa dapat pisah dari ketiga 
warna 
itu, dialah yang bersatu dengan Yang Gaib. Dalam menjalankan tapa, 
petapa 
harus waspada terhadap ketiga warna itu, sebab triwarna itu 
merupakan 
penghalang untuk melestarikan penyatuan dengan Hyang Mahamulia. Jika 
orang 
tidak terikat lagi pada ketiga warna itu, ia tidak lagi bingung, dan 
dapat 
melestarikan kesatuan hamba dengan Khaliknya.

             "Mengenai bahaya yang terdapat di dalam hati itu, 
kekuatan 
masing-masing harus diketahui. Warna hitam itu sangat besar 
pengaruhnya 
pada amarah, gusar, dan naik pitam yang berkobar-kobar. Maka warna 
hitam 
itulah yang menjadi penghalang dan menyumbat semua kebajikan dan 
mengurungkan maksud hati yang bijak.

             "Adapun warna merah, besar pengaruhnya pada nafsu yang 
mengarah pada perbuatan tidak baik. Segala keinginan untuk memiliki 
selalu 
timbul dari situ, di samping dengki, panas hati, dan yang menyumbat 
hati 
yang ingat, sehingga menggagalkan kewaspadaan.

             "Selanjutnya, warna kuning merintangi segala angan-
angan dan 
pikiran yang menuju ke keselamatan dan kebahagiaan sejati. Demikian 
pula 
tindakan yang melestarikan hati suci, kuninglah yang menghalangi. 
Sebaliknya, perbuatan yang menjurus ke kerusakan serta kesengsaraan 
giat 
dibantu olehnya.

             "Hanya warna putihlah yang benar-benar mewarnai hati 
yang 
tenang, dan secara diam-diam berpengaruh pada semua tindakan yang 
mengarah 
ke kesucian, keselamatan dan kebahagiaan. Dalam menuju kesucian, 
warna 
putih ini tidak mempertimbangkan ini-itu, melainkan dengan segenap 
akal 
budi mengusahakan pelaksanaannya. Warna putih ini bijak dan mampu 
menanggapi semua yang bersifat duniawi. Warna putih ini pula yang 
dapat 
menerima segala macam isyarat sejati. Hanya warna putih inilah yang 
mampu 
menerima anugerah luhur, dapat menyatukan cipta pribadi dan cipta-
Nya.

             "Untuk dapat mencapai usahanya, warna putih harus 
berhadapan 
dengan ketiga lawannya, hitam, merah dan kuning, yang tangguh dan 
memiliki 
banyak bala tentara, sedangkan warna putih tiada berkawan, hanya 
sendirian. 
Maka wajarlah bila warna putih selalu kalah. Akan tetapi, apabila 
warna 
putih dapat menaklukkan ketiga musuhnya yang mencemari hati manusia, 
maka 
tercapailah kemanunggalan hamba dan Khaliknya."

Dalang: Selanjutnya, maka lenyaplah keempat warna itu, digantikan 
oleh satu 
nyala dengan delapan warna: ada yang bagaikan ratna cemerlang, ada 
yang 
bagaikan jamrud berkilauan, dan ada yang bersinar samar-samar sangat 
menakjubkan memenuhi seluruh alam semesta.

Dewaruci: "Satu nyala dengan delapan warna, itulah penyatuan yang 
sejati. 
Artinya, semua peristiwa ada di dalam diri dan di dalam alam 
semesta. Bumi 
seisinya tergambar di dalam tubuh, sehingga antara jagad besar dan 
jagad 
kecil tak ada bedanya. Jika semua sifat dunia besar itu lenyap, 
lenyap pula 
semua gambaran yang ada pada diri."

Dalang: Maka Bima pun memusatkan perhatiannya pada satu nyala dengan 
delapan warna itu, hingga akhirnya lenyap. Kemudian ia melihat 
seperti 
boneka gading, memancarkan cahaya menyilaukan ke segala arah, dan 
sangat 
besar pengaruh dan perbawanya.

Dewaruci: "Yang tampak seperti boneka gading itu pramana namanya. 
Itu bukan 
yang kaucari. Yang kaucari itu adalah yang menguasai seluruh 
kehidupan, dan 
itu tidak dapat kaulihat! Tanpa rupa, tanpa warna, tanpa wujud, 
tiada 
tampak, tanpa arah, dan tanpa tempat. Itu hanya dapat dikenal oleh 
manusia 
yang waspada menanggapi isyarat-isyarat tak teraba yang memenuhi 
alam 
semesta ini.

"Sedangkan pramana itu menyatu di dalam raga, tetapi tidak turut 
merasakan 
sedih, priihatin, tidak turut makan dan tidur, tidak turut merasakan 
suka 
dan duka yang dialami manusia. Jika pramana berpisah dari raga, 
badan 
menjadi tak berdaya, lemah, lesu. Pramana itulah yang menjaga 
kesinambungan 
hidup raga, dihidupi oleh sukma.

             "Sukma itu yang memberi hidup dan sekaligus menjadi 
inti zat 
hidup. Dalam raga, pramana hidup karena dihidupi oleh sukma. Jika 
manusia 
meninggal dunia, pramana turut lenyap, sedangkan sukma yang lepas 
dari raga 
tetap hidup. Pramana sebagai tanda yang dapat merasakan adanya sukma 
dalam 
raga, tapi keduanya sesungguhnya tunggal asalnya, yakni tunggal yang 
sejati."

Bima: "Bagaimanakah wujud sukma atau inti zat hidup itu?"

Dewaruci: "Itu tidak dapat kamu amati dalam keadaan biasa, melainkan 
dengan 
piranti yang ada kalanya mudah, dan ada kalanya sukar diperoleh dan 
digunakan."

Bima: "Hamba ingin tahu, apakah sesungguhnya mati yang sesat, mati 
yang 
sejati, dan pegangan hidup yang sejati."

Dewaruci: "Baiklah, Bima; hendaknya kamu awas dan ingat selalu akan 
sebab-musabab kegagalan laku yang utama. Pesanku kepadamu, jika kamu 
telah 
memiliki ilmu yang akan saya berikan kepadamu, hendaknya kamu hayati 
baik-baik, jangan kamu pakai sebagai pameran jika kamu berbicara, 
sebab 
ilmu ini pandangan hidup pribadi yang sangat berharga. Jangan kamu 
pakai 
sebagai bahan percakapan dengan sembarang orang pandangan hidup ini, 
sebab 
jika kamu tidak diminta untuk menguraikan pandangan hidup ini, 
pembicaraan 
itu akan membuahkan pertengkaran. Apabila uraianmu menimbulkan 
perselisihan 
faham, sebaiknya kamu mengalah, jangan kamu pertahankan, agar 
pembicaraan 
lekas selesai.

             "Bima, jangan kamu melekat kepada kehidupan duniawi; 
itulah 
penyebab mati yang sesat. Sebaliknya, kuasailah ilmu tentang mati 
yang 
sempurna. Pusatkan perhatianmu pada kebenaran yang tersembunyi dalam 
dunia 
ini. Jangan ragu! Hidup itu tidak ada yang menghidupi dan tak kenal 
waktu. 
Adanya hidup ini sudah ada padamu, bersamaan dengan keberadaanmu, 
serta 
menyatu, bertunggal tempat, tak terpisahkan dari keberadaanmu.

             "Oleh karena asal-usulmu itu dulu dari Yang Menciptakan 
alam 
semesta, maka penglihatan dan pendengaran-Nya pun sudah ada padamu. 
Sukma 
mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata.

             "Hyang Sukma ada padamu, untuk mengawasi batin sukma 
yang ada 
padamu. Demikianlah hubunganmu dengan Hyang Sukma, yang dapat 
diibaratkan 
kayu dibakar, ada asap dan apinya, seumpama samudra, air dan 
ombaknya, 
ibarat minyak di dalam air susu.

             "Segala gerak-gerik ragamu itu atas pemberian kuasa. 
Jika kamu 
tahu menyatunya hamba dan Khaliknya, adanya sukma padamu, maka 
segala yang 
kamu inginkan akan tercapai. Karena sukma yang ada padamu, Hyang 
Sukma 
membimbingmu, ibarat wayang yang bergerak karena dalang, sedangkan 
panggung 
dan layar menggambarkan dunianya. Kamu bergerak bila digerakkan, dan 
segala 
gerak-gerik, kedipan mata, dan ujarmu digerakkan oleh-Nya.

             "Tindak dan sabda Hyang Sukma itu amat berkuasa atas 
segala-galanya. Paduan karsamu dan karsa-Nya tiada berjarak, karena 
paduan 
itu tanpa rupa, sudah ada padamu. Ibarat orang bersolek di depan 
cermin, 
yang bercermin Hyang Otipati, bayangan dalam cermin itulah kamu 
sebagai 
hamba-Nya.

             "Pengertian kelepasan ini besar artinya bagimu. Lebih 
besar 
kelepasan ini daripada kelepasan jagad besar. Selembut-lembut air, 
masih 
lebih lembut kelepasan ini. Sekecil-kecil kuman, masih lebih kecil 
kemoksaan ini. Artinya kemoksaan ini menguasai segala-galanya, yang 
besar 
maupun yang kecil. Itulah mati yang sejati.

             "Maka janganlah hendaknya mengandalkan ajaran dan 
pengetahuan, 
lebih-lebih kekuasaanmu. Sucikan badanmu dan usahakan memiliki dan 
menguasai ilmu dan laku sebanyak-banyaknya, agar kamu mengenal dan 
menyatu 
dengan Yang Gaib."

Dalang: Demikianlah wejangan Dewaruci tentang ilmu suci dan luhur, 
yang 
sebetulnya sudah ada dalam sanubari Bima. Kemudian Dewaruci 
melanjutkan 
wejangannya.

Dewaruci: "Pelajaran ini bagaikan benih, sedangkan yang diajar ini 
ibarat 
sawah-ladangnya. Jika kacang kedelai disebar di atas batu tanpa 
tanah, 
meski kehujanan dan kepanasan, tentu tidak akan tumbuh.

             "Kalau kamu arif, penglihatan yang ada pada ragamu itu 
kamu 
matikan, sehingga menjadi penglihatan Hyang Sukma. Demikian pula 
suaramu 
kamu kembalikan kepada Yang Empunya Suara, sebab sesungguhnya kamu 
itu 
hanya peminjam saja.

             "Oleh karena itu, kamu jangan mempunyai kenikmatan lain 
selain 
kenikmatan menyatu dengan Yang Maha Suci. Dengan demikian kamu 
memiliki 
raga Batara, yang gerak-gerik serta pikiranmu menyatu dengan Yang 
Maha 
Suci. Jangan menganggap dirimu dengan Yang Maha Suci itu dua, sebab 
apabila 
demikian kamu masih ragu-ragu.

"Itulah empat kelompok ilmu: caturwarna, pancamaya, pramana dan 
penyatuan 
hamba dan Khaliknya yang telah kuberikan kepadamu. Jadikanlah itu 
pedoman 
dan pegangan hidupmu.

"Adapun yang kelima, yang akan kuberikan ini, Bima, sangat berguna 
bagimu 
di mana saja kamu berada. Pahamilah pengertian 'mati di dalam 
hidup', serta 
`hidup di dalam mati'. Yang hidup itu badan lahirmu; tetapi karena 
batinmu 
telah menyatu dengan Yang Maha Suci, maka kamu ibarat mati, itulah 
pengertian 'mati di dalam hidup'; yang mati adalah cipta, rasa dan 
karsamu 
pribadi, karena telah berganti dengan cipta, rasa dan karsa-Nya; 
itulah 
yang sekarang hidup, menggantikan apa yang telah mati di dalam 
batinmu, 
itulah pengertian `hidup di dalam mati'. Itulah pegangan hidup yang 
sejati."

<diselingi suluk>

Dewaruci: "Oh, Bima, tiada aji lagi yang tinggal. Semuanya telah ada 
padamu. Semua kesaktian, keampuhan, serta keperwiraan untuk kejayaan 
dalam 
segala tugas seorang ksatria telah sempurna kamu kuasai ..." [2]
(Sampai di 
sini dipetik dan disadur kembali dari: S.P. Adhikara 
(penerjemah),"Serat 
Dewaruci", gubahan Yasadipura I, 1803  ­  Penerbit ITB, 1984.)

---> Puncak kemanunggalan: "Lenyap sifat `kawula', dan lenyap pula 
sifat 
`gusti' ..."

Dewaruci: "... namun ketahuilah, Bima, perjalanan manunggal­yang di 
situ 
masih ada serba dua, yakni `kawula' dan `gusti'­hanyalah awal dari 
perjalanan sejati, yang berakhir pada pencerahan, yang juga berarti 
pembebasan, kelepasan, `moksha', `nirwana', `ittihad' atau `hulul'. 
Apa 
yang baru saja kuwejangkan kepadamu, sekalipun itu membuat hatimu 
terang 
dan lapang, namun itu tetap sebuah pengetahuan (kawruh) bagimu 
selama belum 
kaucapai sendiri dalam batinmu tanpa melalui pengetahuanku. Seperti 
telah 
kukatakan kepadamu, hendaknya kamu jangan mengandalkan dan melekat 
kepada 
ajaran dan pengetahuan, termasuk kepada pengetahuan yang baru saja 
kuberikan kepadamu, melainkan berusahalah mencapai sendiri kebenaran 
itu 
tanpa bergantung pada apa yang kusampaikan kepadamu."

Bima: "Bagaimanakah hamba harus berusaha mencapai sendiri kebenaran 
dari 
apa yang Pukulun wejangkan?"

Dewaruci: "Mari, Bima, cobalah `mulat sarira', pusatkan perhatianmu 
kembali 
kepada apa yang berlangsung dalam batinmu, sementara aku 
menyaksikan."

Dalang: Maka Bima pun kembali `mulat sarira', mengheningkan pikiran, 
memusatkan perhatian mengamati badan & batinnya sendiri. Perlahan-
lahan 
cipta, rasa dan karsa Bima menjadi hening, tidak bergerak. Perlahan-
lahan 
ia tidak dapat lagi melihat jarak dan perbedaan antara dirinya 
dengan 
Dewaruci yang berada di hadapannya; perlahan-lahan ia melihat 
dirinya 
menyatu dengan Dewaruci. ...

<wayang Bima dan wayang Dewaruci disatukan>

Dalang: ... dan akhirnya, pada puncak perjalanannya, lenyaplah wujud 
Bima, 
dan dengan itu sekaligus lenyap pula wujud Dewaruci. ...

<wayang Bima dan Dewaruci ditutupi kayon diangkat pergi. ... gamelan 
suwuk 
dan dalang hening selama kira-kira 10 detik ... >

             ... ... ... ... ... (10 detik)  ... ... ... ... ...

<kemudian gamelan mulai ditabuh kembali lirih perlahan-lahan, dan 
dalang 
menceritakan:>

Dalang: Itulah puncak kemanunggalan, disebut pula pencerahan dan 
pembebasan, yang dicapai oleh Sang Bima; itulah gambaran puncak 
kemanunggalan sejauh dapat dipahami oleh kesadaran manusia biasa di 
muka 
bumi yang belum  bebas, belum tercerahkan. Di situ ia mengalami 
lenyapnya 
sifat `kawula' dan sekaligus lenyapnya sifat `gusti' ... sehingga 
tidak ada 
apa-apa lagi yang tertangkap oleh pancaindra, dan tidak ada apa-apa 
lagi 
yang dapat ditanggapi oleh ciptanya, oleh rasanya dan oleh 
karsanya ... 
tidak ada apa-apa lagi yang dapat dilihat, dipikirkan, dikehendaki 
dan 
disebut. Yang ada hanyalah HAYU, Hidup, tetapi Hidup ini bukanlah 
hidup 
orang per orang, melainkan Hidup Tunggal, di mana kesadaran 
individual 
tidak ada lagi, tidak ada lagi kesadaran `Bima', tidak ada lagi 
kesadaran 
`Dewaruci', sehingga Hidup itu tidak dapat dibayangkan oleh cipta, 
rasa dan 
karsa manusia yang belum bebas, belum tercerahkan.

<hening sejenak>

Dalang: ... Lalu perlahan-lahan muncullah kembali segala keberadaan 
(dumadi, eksistensi) yang beraneka warna di dalam kesadaran Bima; 
kehidupan 
di luar sana, dan kehidupan di dalam dirinya, ternyata tetap 
berjalan 
seperti biasa. ...

<wayang Bima dan Dewaruci yang menyatu ditutupi kayon 
dikembalikan ... 
kayon diangkat ... dan Bima kembali berhadapan dengan Dewaruci>

Dalang: Bima merasa mendapat penerangan hati, ibarat menerima wahyu 
dari 
Yang Maha Suci. Bagaikan bulan tersibak dari awan yang menutupinya, 
ia 
menerima wahyu Bimasuci. Batinnya terang-benderang, tanpa cacat, 
bersih 
dari segala sesuatu yang mencemari.

             Dewaruci bertanya, apakah Bima sudah mengetahui jawaban 
atas 
keprihatinan-nya yang membuatnya datang ke puncak Gunung Kailasa 
ini. Bima 
menjawab dengan pasti, sudah tahu. Mendengar kepastian Bima, 
Dewaruci 
memberikan pangestunya, lalu lenyap dari hadapan Bima. Bima pun 
berjalan 
menuruni lereng Gunung Kailasa.

<bersambung>



[Non-text portions of this message have been removed]
--- End forwarded message ---
--- End forwarded message ---






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: ppiindia@yahoogroups.com
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke