=======================
From: Hemat Dwi Nuryanto 

Subject: [Bicara] Catatan Awal Tahun : Catatan Atas Catatan

Date: Tue, 1 Jan 2008 20:12:40 -0800 (PST)



Tulisan dari seorang pengajar Ponpes di Rembang (kebetulan mantan teman sekelas 
sewaktu di SMA 1 Teladan Yogyakarta di awal 80-an) yang pernah sangat dekat 
dengan mantan RI 1 dan dimuat di Kompas hari ini sebagai Catatan Awal Tahun : 
"CATATAN ATAS CATATAN". Sebuah tulisan sederhana dengan 

hikmah yg sangat dalam.Semoga bermanfaat.



Catatan  Awal Tahun



Catatan atas Catatan

Yahya C Staquf



Tuhan memperingatkan, "Takutlah kalian pada bencana yang tidak hanya menimpa 
orang-orang zalim kalian saja." Artinya, ada bencana "sapu bersih" yang melahap 
semua, tak peduli orang-orang saleh. Ini ancaman "baru", mulai berlaku sejak 
kerasulan Musa AS. Sebelum itu, orang-orang saleh tidak pernah   tidak 
diselamatkan. Ancaman baru itu berkaitan dengan suatu perintah baru. 


Sejak "paruh kedua" periode kerasulan Musa AS, yaitu setelah Firaun   
ditenggelamkan dan Musa beserta para pengikutnya diseberangkan dengan aman,  
Tuhan mewajibkan manusia untuk bertindak ketika terjadi kezaliman. Sebelum itu, 
Tuhan senantiasa "turun tangan sendiri": penentang Nabi Nuh 

ditenggelamkan banjir, penentang Nabi Saleh ditelan bumi, penentang Nabi   Luth 
diuruk batu, dan seterusnya, sampai dengan karamnya Firaun. Sesudah itu, orang 
saleh yang harus bertindak, berjuang sendiri mengoreksi kezaliman dan 
memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya. Setelah turun perintah baru,   Tuhan 
mengancam akan menimpakan bencana "sapu bersih" jika, menurut Rasulullah SAW, 
kerusakan merajalela, sedangkan orang-orang saleh berpangku tangan pura-pura 
tidak tahu. "Untuk mencapai kemenangannya di muka bumi, 

bagi setan cukup dengan orang baik tidak berbuat apa-apa," kata Edmund   Burke, 
seorang filsuf. Kita hidup bersama ibarat menumpang perahu yang sama. Jika ada 
orang zalim kita biarkan membocori perahu kita, semua orang akan tenggelam 
meskipun tidak ikut-ikutan zalim. Mungkin semangat inilah yang   mengilhami 
kegiatan-kegiatan (politik) bertajuk "Catatan Akhir Tahun" yang memenuhi 
hari-hari terakhir 2007 ini. Dalam kegiatan-kegiatan itu, sebagian besar 
wacananya berisi kritik, gugatan, bahkan umpatan terhadap pemerintah. 


Memang wajar saja, dan barangkali pemerintah pantas menerimanya. Tapi akan  
tidak adil dan tidak maslahat jika orang lupa bahwa rakyat pun perlu dikritik 
dan digugat. Kalau mau jujur, sebenarnya kelakuan pemerintah dan mayoritas 
rakyat itu setali tiga uang. Ini niscaya mengingat pemerintah   adalah "produk" 
mayoritas rakyat. Mencemooh pemerintah sama halnya menepuk air di dulang. 
Nyiprat-nya ke muka kita-kita juga. Sungguh sahih sabda Rasulullah SAW, "Sesuai 
dengan apa adamu, dijadikanlah penguasa atasmu."  Rakyat lurus menghasilkan 
pemerintahan lurus, rakyat bengkok pemerintahnya pun bengkok. Tak perlu kaget 
kalau pemerintah mengabaikan golongan miskin. 


Bukankah sebagian besar kita juga begitu? Jangan kata yang kaya terhadap   yang 
miskin, sesama miskin saja tak saling peduli. Pejuang-pejuang pembela orang 
miskin senantiasa minoritas di antara kita. Kalau pemerintah sering bersikap 
tega terhadap yang lemah, menggusuri yang gurem-gurem,   menelantarkan masa 
depan ribuan korban kezaliman, rakyat pun tak jauh beda: bersikap 
sewenang-wenang terhadap minoritas, mengusir mereka dari tempat   berkumpulnya, 
bahkan menganiaya dengan kekerasan. Pemerintah memanjakan si kaya, rakyat pun 
menjadikan mereka idola. Lihat saja, pada setiap pemilihan pejabat publik oleh 
rakyat, si kaya selalu jadi pilihan utama. Pemerintah mempraktikkan tebang 
pilih dalam penegakan  hukum? Rakyat toh sering juga   hanya mau tahu keadilan 
untuk kelompoknya sendiri. Kalau perlu, mereka ramai-ramai berdemo membela 
teman separtai atau seorganisasi atau seagama walaupun salah. 

Pemerintah sembrono menunjuk pejabat? Mengapa heran? 
Bukankah pemerintah itu sendiri hasil kesembronoan rakyat menentukan   pilihan? 
Demikian juga akan terasa "normal" takluknya pemerintah kepada kekuatan asing 
jika kita akui juga mentalitas kita yang masih suka memuja  buatan luar negeri 
sambil merendahkan karya bangsa sendiri. Tambahkanlah  contoh  
sebanyak-banyaknya. Pasti tidak sulit karena hampir semua yang dengan geram 
kita kecam dari kelakuan orang lain (pemerintah) , kita temukan juga pada diri 
kita sendiri.  Pemerintah bodoh, kita bodoh. Pemerintah lamban, kita lamban. 
Pemerintah brengsek, kita brengsek. Dan seterusnya. 

Hanya satu  hal yang masih muskil bagi saya, yaitu tuduhan bahwa pemerintah ini 
peragu. 

Muskil karena saya belum melihat imbangannya dari sisi rakyat. Tampaknya, 
rakyat kita tidaklah peragu. Tindakan-tindakan paling ngawur pun amat sering 
mereka nekat melakukannya. Lebih dari itu, peragu itu makqamnya orang berilmu. 
Hanya orang pintar yang bisa bimbang. Orang bodoh bisanya bingung. 


Persis seperti keadaan mayoritas rakyat hari ini. Maka, jangan-jangan 
pemerintah pun belum sampai ke maqam bimbang, tapi baru bingung. Di atas semua 
itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa kritik, termasuk dalam rangka 
catatan-catatan akhir tahun ini, akan lebih bijaksana dan maslahat jika 
dilakukan dalam nuansa introspeksi. Cita-cita memiliki pemerintah yang baik 
hanya mungkin terwujud jika rakyat juga sungguh-sungguh berusaha menjadi baik. 
Ketidakberesan tak boleh dibiarkan. Tapi pastilah tindakan yang diperlukan 
bukan hanya "memberesi orang lain", tapi harus pada saat yang  sama "memberesi 
diri sendiri". Lebih lanjut, tidakkah kita ingat bahwa yang kita perlukan 
adalah perubahan, bukan pertarungan, apalagi penghancuran? 


Jika Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat 
kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya (falyughoyyirhu) ?," maka benar-benar 
yang beliau maksudkan adalah mengubah, bukan menggasak pelakunya. 
Saudara-saudara kita yang kalap melihat kesesatan sekelompok kecil orang 

lalu menyerbu, menyegel tempat-tempat ibadah, merusak rumah-rumah, jelas  
keblinger. Mereka tidak mengubah (menuju perbaikan), tapi menambah kerusakan. 
Respons yang benar terhadap ketidakberesan haruslah memenuhi sejumlah syarat 
yang dapat menjamin bergulirnya proses menuju perubahan. 

Antara lain: rasional, tidak emosional; terencana dengan baik, tidak ngawur; 
terorganisasi rapi, tidak asal jalan; dalam kebersamaan, tidak berebut jadi 
pahlawan kesiangan; dan seterusnya. Di atas segala-galanya, yang paling 
mendasar bagi orang beriman adalah "keikutsertaan" Tuhan. Ketidakberuntungan  
pemerintah kita saat iniâ?"begitu banyak bencana, begitu banyak 
masalahâ?"dikarenaka n "salah kampanye". "Bersama kita bisa!" begitu slogan 
utama mereka dulu. Seolah-olah hanya dengan bersama-sama di antara mereka 

saja sudah bisa. Tuhan tidak diajak. Jangan salahkan Tuhan kalau sekarang  Dia 
tidak mau tahu.



Penulis adalah Pengajar di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang  
Tiada kata akhir untuk belajar seperti juga tiada kata akhir untuk kehidupan 

(Annemarie Schimmel)









      
____________________________________________________________________________________
Looking for last minute shopping deals?  
Find them fast with Yahoo! Search.  
http://tools.search.yahoo.com/newsearch/category.php?category=shopping

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke