Sumber:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070615062550

Kredo Alternatif Wilson Lalengke - 
MILITER INDONESIA: Penyakit Kanker Nasional?
Oleh Wilson Lalengke

KabarIndonesia - Sebahagian terbesar sejarah perjalanan hidup manusia di
bumi ini dipastikan melibatkan heroisme yang direfleksikan oleh kegagahan,
kekuatan, dan penaklukan manusia terhadap sesama manusia lainnya. Sesuai
kodrat alaminya, manusia menjalankan fungsi serigala bagi sesamanya. Kalimat
sadis pepatah Romawi kuno "Homo homini lupus", manusia adalah serigala bagi
sesamanya, ciptaan Plautus yang hidup di abad ke-2 SM itu adalah suatu yang
real dalam kehidupan manusia sehari-hari. Di semua sisi kehidupan manusia,
perjuangan penuh cerita heroisme selalu muncul. Sebut saja penaklukan
wilayah-wilayah jajahan di masa lalu melalui ekspansi bangsa-bangsa Eropah
ke benua-benua lainnya penuh dengan kisah perjuangan-perjuangan heroik.
Tidak ketinggalan, dalam pengembangan budaya dan agama, keberadaan para hero
memegang peranan penting yang dikenang hingga kini. Perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia,
merupakan contoh lainnya dari sejarah heroisme anak-anak manusia.

Pada konteks hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat, heroisme
didominasi oleh kesatuan khusus di dalam komunitas, yang saat ini kita sebut
sebagai tentara atau militer. Mereka adalah sekelompok orang yang terbentuk
dan dibentuk oleh masyarakatnya yang dilegalkan oleh institusi negara,
dengan tujuan utama untuk melindungi bangsa dan negara. Tidak sembarang
orang bisa jadi tentara karena beberapa persyaratan khusus, terutama
berkaitan dengan ketahanan fisik, yang mesti dipunyai oleh seseorang untuk
bisa diberikan tugas sebagai penjaga kelompok yang handal. Mereka dibina
secara intensif dengan berbagai pola khusus yang diperlukan dalam tugasnya
sebagai penjaga keselamatan warga komunitas, menjaga keselamatan bangsa,
yang dalam tataran kenegaraan, mereka bertugas menjaga keselamatan negara.
Sesuatu yang sangat ideal, karena dengan kehadiran tentara milik suatu
bangsa, dia memberi rasa aman dan nyaman bagi semua warganya, terhindar dari
ancaman dan bahaya dari anasir-anasir luar.

Namun, pertanyaan kemudian muncul ketika dalam suasana aman, ketika
bangsa-bangsa memilih hidup berdampingan secara damai, saling menghormati,
dan tidak menyerang atau mengancam satu sama lain, masihkah kita butuh
militer? Banyak orang setuju ada militer bagi suatu negara. Tapi tidak
sedikit juga mereka yang menjawab, tentara tidak diperlukan. Toh
kenyataannya ada negara di dunia ini yang tidak memiliki militer, seperti
Swiss. Mereka hidup jauh lebih aman daripada negara-negara yang memelihara
angkatan bersenjata. Bagi negara ini, menanamkan banyak modal untuk
kepentingan mengurus arloji berkualitas tinggi dan menjualnya ke seantero
dunia, lebih menguntungkan daripada bersusah payah berinvestasi bagi
pengadaan aggota militer yang hanya akan mengacaukan tata kehidupan sosial
kemasyarakatan yang aman, tentram, dan damai. 

Lihat saja, negara-negara yang menarik mundur tentaranya dari berkeliaran di
jalan-jalan di tengah masyarakat, menjadi negara yang kuat, mandiri, dan
sangat maju. Sebab, ketika militer tinggal di barak-baraknya, dan hanya
keluar untuk menghadapi musuh yang datang dari negara lain, maka
masyarakatnya dapat hidup tenang, melakukan usaha dengan baik dan berhasil,
yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi besar bagi kemajuan bangsa dan
negara. Sebaliknya, ketika warga hidup dalam kondisi berada di bawah
todongan SS-1 atau AK-16 setiap saat, maka tebak sendiri hasil kerja apa
yang bisa dihasilkan rakyat?

Kembali ke pertanyaan awal tadi, bagi mereka yang menjawab "ya, kita butuh
militer", tentu alasan utamanya adalah sebagaimana telah diungkapkan di
atas: melindungi bangsa dan negara dari berbagai ancaman baik dari dalam,
dan terutama dari luar teritorial suatu negara. Tetapi menilik keberadaan
militer di tanah air yang dari masa ke masa, dari tahun ke tahun, dari bulan
ke bulan, bahkan dari hari ke hari, didapati warga mati akibat peluru
militer, maka kebutuhan tentara menjadi suatu tanda tanya besar. Berbagai
kematian dan kesengsaraan rakyat dari sabang sampai merauke umumnya terkait,
baik langsung maupun tidak, dengan keberadaan militer di lapangan. Kasus
memilukan di Alas Tlogo, Pasuruan, yang terjadi baru-baru ini hanya setitik
dari segunung data kejahatan militer, membunuhi rakyat yang seharusnya
dibelanya. Bila akhirnya Timor Leste memerdekakan diri, itu juga tidak
terlepas dari kebrutalan militer Indonesia di sana pada saat negara itu jadi
bagian propinsi ke-27 negara Indonesia.

Almarhum Munir, pejuang HAM yang mati konyol oleh persengkongkolan tingkat
tinggi para elit Indonesia, sungguh berkata benar ketika ia mengemukakan
kesimpulannya bahwa "tentara adalah masalah terbesar di Indonesia." Dengan
kata lain, militer Indonesia justru merupakan penyakit kanker nasional
paling ganas yang menjadi penyebab kemunduran menuju kematian bangsa
Indonesia. Dan untuk menyembuhkannya tidak mudah, Indonesia butuh terapi
khusus anti kanker super ampuh, yang kebetulan obatnya belum ditemukan
hingga saat ini. Hal tersebut diperparah karena para dokter, yakni ketiga
lembaga pemerintahan negara yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,
adalah juga termasuk para penyandang penyakit kanker yang tidak kalah
ganasnya dari yang diderita militer. Bagaimana bisa dokter penyakitan
mengobati pasien yang sakit parah?

Semua orang sudah maklum bahwa disetiap persoalan yang melibatkan militer di
tanah air dipastikan pangkal dan ujung perkaranya adalah masalah uang, doku,
fulus, money, dan lain-lain nama yang diberikan kepada lembaran bergambar
monyet itu. Atau dengan bahasa kerenya DPR, terkait persoalan "usana bisnis
militer". Kondisi ini merupakan bentukan dan warisan pemerintahan Soeharo
bersama ABRI-nya yang berkaratan tak terobati hingga sekarang. Sebut satu
dua kasus apa saja yang terjadi di Indonesia sejak pemerintahan orde baru
itu. Hampir tidak ada yang luput dari persoalan bisnis, menjadi ladang
penghasil panen bagi warga militer kita. Dari kasus DOM Aceh, Operasi
TIMTIM, kasus Poso, Maluku, hingga Papua, umumnya berlumur kekerasan yang
teramat sering berakhir pada pembunuhan rakyat, dan semua itu merupakan
tambang emas, lahan meraup penghasilan bagi tentara. Yang paling sederhana
untuk dicermati sebagai contoh adalah pembengkakan APBN bagi dana
operasional militer di daerah konflik, sementara banyak bukti yang tersebar
di masyarakat mengindikasikan bila militer terlibat langsung dalam berbagai
konflik, baik melalui keterlibatan anggotanya maupun dalam bentuk
penyaluran/penyelundupan senjata kepada mereka yang bertikai.

Secara umum, masyarakat memahami kanker sebagai suatu penyakit yang
disebabkan oleh proses pembelahan sel secara tidak normal dan diikuti oleh
penyimpangan buruk fungsi sel tersebut dalam tubuh manusia. Karena tubuh
manusia terdiri dari sel-sel, maka penyakit kanker bisa tumbuh di mana saja
di bagian tubuh kita. Dari yang namanya kanker kulit, kanker hati, hingga
kanker payudara dan kanker rahim. Nah, ibarat penyakit kanker di tubuh
manusia, militer juga pada hakekatnya telah menjadi suatu organ dalam tubuh
negara Indonesia yang "salah format/bentuk" dan terlebih lagi "salah
fungsi". Militer itu dibentuk oleh negara dan dipekerjakan untuk tujuan
tertentu: menjaga keselamatan bangsa dan negara Indonesia dari segala
ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Jika kemudian dia justru
menjalankan fungsi yang berbeda dari tujuan semula, baik itu berubah fungsi
total maupun sebagian, maka sesungguhnya tindakan tersebut merupakan
pembangkangan terhadap negara. Dalam bahasa militer mungkin disebut desersi,
yang dengan demikian institusi ini dianggap melawan negara.

Kenyataannya, militer Indonesia adalah insitusi bisnis, tidak murni
selayaknya angkatan bersenjata nasional suatu negara. Karena institusi ini
berskala nasional dan memiliki struktur organisasi yang rapi dari tingkat
pusat di Jakarta hingga ke tingkat Babinsa di desa-desa, maka ia sebenarnya
dapat dikategorikan sebagai perusahaan negara, selevel dengan PLN, Posindo,
dan lain-lain. Bedanya, hasil yang diperoleh bisnis militer hanyalah untuk
kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan negara, apalagi rakyat. Menilik
dari produk hasil usaha militer selama ini, kita bisa mengatakan bahwa
"badan usaha" tersebut lebih besar dan lebih menasional dari perusahaan
negara murni. Militer bergerak di semua bidang mulai dari usaha jasa
mem-back-up perusahaan-perusahaan lokal maupun nasional hingga kepada usaha
yayasan-yayasan militer. Mereka memiliki perkebunan-perkebunan, usaha
transportasi, koperasi, hingga ke bisnis jula-beli senjata. Hampir tidak ada
bagian jengkal tanahpun di seantero nusantara yang tidak menjadi lahan usaha
bagi tentara. Minimal dari setoran "uang keamanan" dari para pengusaha dan
preman di pasar-pasar.

Pada kondisi militer sebagai pebisnis, bagaimana mungkin dia akan menjadi
pengayom dan penyelamat rakyat? Setiap saat institusi ini akan selalu
berbenturan kepentingan dengan rakyat. Ketika sebuah konflik antara tentara
dan rakyat yang akan mengganggu kepentingan bisnis institusi militer, maka
fungsi pengayom dan penyelamat bangsa akan hilang digantikan dengan fungsi
mempertahankan kepentingan bisnis. Yang pasti, seperti selalu kita saksikan,
militer cenderung menggunakan cara kekerasan, menggunakan bedil negara yang
dibeli dari uang rakyat, dalam setiap penyelesaian masalah badan usaha
mereka. 

Pola penyelesaian "mengamankan" masyarakat dalam perkara dengan militer
terbagi dua. Pertama, pola "bunuh dulu, persoalan belakangan". Artinya,
rakyat yang melawan dihabisi dulu, apakah diculik, disiksa, ditangkap, dan
bahkan dibunuh terlebih dahulu tanpa proses berbelit, dan kemudian jika ada
penuntutan di pengadilan, itu menjadi urusan kemudian. Biasanya, di tingkat
pengusutan dan pengadilan sudah ada bagian khusus yang menangani
penyelesaiannya, seperti atasannya atau institusi militernya secara
kelembagaan. Kasus sengketa tanah di Alas Tlogo dan penembakan Theys Eluai
di Papua adalah dua contoh kecil saja dari asumsi ini.
 
Betapa gelinya melihat pembelaan militer (TNI AL) dalam melakukan pengaburan
persoalan tertembaknya empat warga di Pasuruan itu. Pihak tentara membangun
opini bahwa para serdadu tidak menembak warga, tapi menembak ke tanah dan
peluru-nya melenting, memecah terpelanting, dan mengenai warga. Yang oleh
karena itu, menurut sang komandan, anggotanya tidak bersalah. Yang salah
adalah peluru, mengapa melenting dan mengenai orang? Dasar peluru goblok!
Para wartawan-pun tidak sedikit yang ikut-ikutan dungu datang menyaksikan
presentase ngibul militer untuk membuktikan bahwa peluru memang tolol,
mau-maunya pecah dan memantul dan bunuh orang. Logika apa yang digunakan
tentara Indonesia? Perdebatan uji balistik sesungguhnya juga tidak jauh
berbeda, hanya skenario mengibuli rakyat. Betapa militer telah mati hati,
sementara korban perlakuan mereka telah membusuk jadi tanah di dalam
kuburan.

Pola kedua adalah model terorisme. Tentara menciptakan teror dan ketakutan
bagi rakyat yang mencoba-coba mempertahankan haknya atas aset-aset yang
diinginkan militer. Menciptakan suasana genting dan tidak aman di masyarakat
yang memang gampang resah. Untuk model kedua ini, ditengarai tentara lebih
sering bekerja sama dengan pihak ketiga dengan merekrut orang-orang untuk
menjalankan aksi terror di tengah-tengah masyarakat. Tidak jarang, cara-cara
provokasi massa juga digunakan. Banyaknya temuan senjata organik dan
peralatan militer lainnya dari tangan para pengacau keamanan di
wilayah-wilayah konflik adalah bukti konkrit dari dugaan ini. Penembakan ke
warga, baik langsung maupun ke tanah atau ke udara, juga merupakan bentuk
teror sebab tujuan utamanya adalah menciptakan ketakutan bagi rakyat.

Sebagai negara yang besar, dari segi luas dan jumlah rakyatnya, Indonesia
mungkin masih tetap membutuhkan militer. Mereka diperlukan sebagai penjaga
keselamatan bangsa dan negara yang setiap saat bisa saja terancam terutama
oleh kompleksitas persoalan di tingkat internasional yang makin rumit.
Namun, untuk mengantisipasi tidak terulangnya peristiwa tewasnya rakyat,
dijadikan ujicoba peluru negara oleh militer, maka satu-satunya kebijakan
negara yang harus dilakukan adalah: kembalikan para tentara itu ke baraknya
masing-masing. Beri makanan, cukupi kebutuhan hidupnya, sebagaimana layaknya
seorang tentara hidup sebagai manusia dan petugas negara. Sebagai manusia,
ia punya keluarga yang perlu dinafkahi. Ia punya anak-anak yang perlu diberi
pendidikan, dan ia butuh kebutuhan sekunder lainnya, seperti rekreasi,
hiburan, dan lain-lain. Sebagai petugas negara, ia memerlukan perlengkapan
kerja untuk suksesnya pelaksanaan tugasnya di lapangan. Negara bertanggung
jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan operasional kerja bagi militernya.
Tidak ada satupun argumen pembenar bagi kalangan tentara untuk melegalkan
usaha-usaha bisnisnya demi memenuhi tuntutan kebutuhan anggaran kerja
organisasi tentara. Seluruh asset bisnis militer harus dinasionalisasi,
diambil alih menjadi asset negara untuk dipergunakan bagi kepentingan negara
serta rakyatnya. Bila hal ini tidak dilakukan, maka militer akan senantiasa
jadi bom waktu pengintai nyawa rakyat Indonesia sepanjang waktu.

Selain itu, penting juga bagi negara untuk memberikan perhatian pada
kecenderungan mentalitas dan karakter seorang militer baik sebagai individu
maupun kelompok. Realitas menunjukkan bahwa sebahagian tentara memiliki
obsesi untuk menjadi kaum borjuis, hidup di tataran para elit yang
bergelimang harta, gelar, kepangkatan, kehormatan, dan bahkan mungkin
dikerubungi para wanita yang tentu saja membutuhkan banyak biaya. Pada
kondisi seperti itu, sang tentara lebih arif untuk dimutasikan ke bidang
lain sebagai pengusaha, pedagang, dan lain-lain yang bersifat mencari
keuntungan ekonomi dan kekayaan sebesar-besarnya. Sayangnya, jadi tentara
dan pengusaha di tanah air ibarat pinang dibelah dua, sebagian besarnya
sama-sama menyengsarakan rakyat. Kasus Lapindo telah jadi borok berkarat
ulah Bakri Cs, hutan-hutan menjelma jadi kuburan massal akibat digunduli
para pengusaha hutan, pulau-pulau runtuh akibat penambangan pasir, dan
berbagai kepiluan lainnya jadi keprihatinan bangsa ini.

Bila Indonesia mengabaikan pembenahan kembali militernya, konsekwensi
logisnya adalah bahwa setiap rakyat Indonesia perlu mempersiapkan diri untuk
menjadi petarung heroik melawan tentara. Selebihnya, setiap kita bersiaplah
untuk menjadi calon tumbal Alas Tlogo berikutnya bagi "peluru mantul" dari
Istana Negara, pemberi komando tertinggi angkatan bersenjata kita.***

Wilson Lalengke - The Netherlands
Master in Applied Ethics student Universiteit van Utrecht
http://saintlover.blogsome.com/ 


Blog: http://www.kuis-bola.blogspot.com/ 
Email: [EMAIL PROTECTED] 

Big News Today..!!! Let's see here www.kabarindonesia.com



Kirim email ke