SURAT KEMBANG KEMUNING:

"HARI SASTRA INDONESIA" PERTAMA DI PARIS [24].



Filem kedua yang diproyeksikan di "Hari Sastra Indonesia" Pertama ini adalah filem 
tentang penyair Agam Wispi. Dalam perbandingan, lika-liku kehidupan Wispi nampak tidak 
serumit kehidupan Pram dan renungan-renungan Wispi pun tidak seluas lingkup yang 
dilakukan oleh Pram. Juga tentang kedalamannya. Dalam filem dokumenter biografis 
produksi Yayasan Lontar ini, nampak Wispi lebih banyak bertutur tentang proses 
perkembangan dirinya sebagai seorang penyair sejak "Kemerdekaan Bernoda", sanjak 
pertama yang ia tulis dan diterbitkan oleh Harian Kerakjatan, Medan. Aku tidak 
menyaksikan melalui filem ini pergulatan pikiran sedahsyat yang dilakukan oleh Pram 
sehingga melahirkan Pram yang berani dan tegar. Kesimpulan Pram melalui pergulatan 
sengitnya mengingatkan aku pada tokoh "The Old Man" dalam karya Hemingway di novel 
"The Old Man And The Sea" bahwa manusia keluar sebagai pemenang di tengah laut 
tragedi.  Sekalipun karya ini tentu saja terbukan bagi rupa-rupa penafsiran. Tapi aku 
sendiri membacanya sebagai keperkasaan manusia.


Dibandingkan dengan kehidupan Pram, nampak bahwa kehidupan Wispi jauh lebih mulus 
[Lihat:Majalah Medium, Jakarta, 30 Juli-12 Agustus 2003], sekalipun setelah Tragedi 
Nasional September 1965 seperti halnya dengan orang klayaban lainnya sampai akhir 
hayatnya, Wispi meninggal sebagai seorang eksil di Negeri Belanda setelah meninggalkan 
RRT dan Republik Demokrasi Jerman, terpisah dari anak-istrinya. Wispi meninggal dengan 
kesendiriannya di rumah tunggal penghabisan ke mana ia pulang yaitu "puisi" seperti 
yang dikatakannya sendiri:


"puisi, hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi, hanya kaulah lagi pacarku terbang"


Di rumah puisi inilah Wispi "berpulang" sebagai klayaban sedangkan tanahairnya, 
Indonesia:"hanya tinggal kenangan". Tentu saja, aku tidak meremehkan sisa sunyi, 
kesendirian dan duka eksil yang jika tidak tahan bisa membuat orang goncang apalagi 
jika berada di tengah-tengah eksrimitas yang menjepit seperti yang terjadi pada masa 
Revolusi BesarKebudayaan Proletar di Tiongkok.Daya imajinasi mereka yang tidak 
mengalaminya tidak akan mampu memahaminya sekali pun di tingkat permukaan.  Hanya jika 
dibandingkan dengan Pram yang selain bergelut dengan kesepian pulau pembuangan juga 
tiap detik berada di ujung bayonet ajal, barangkali duka eksil dan duka penjara serta 
pulau pembuangan seperti yang dialami oleh Pram dan kawan-kawan lainnya akan punya 
perbedaan. Perbedaan ini nampak dari karya dan kadar pribadi penulis. Tidak  semua 
orang bisa tegar di hadapan maut seperti yang dilakukan oleh Pram. Berapa banyak yang 
tiarap, takut dan bungkam serta bahkan berkhianat di hadapan pendekatan "keamanan dan 
kestabilan nasional" Orba, lalu setelah Soeharto dipaksa turun dari panggung ke 
presidenan tampil dengan gempita sebagai "hero"? Yang banyak terjadi adalah sikap 
"bebek" dan "kambing tumbur". 


Dalam filem produksi Yayasan Lontar tentang Wispi yang banyak kudengar adalah renungan 
tekhnis atau penyimpulan pengalaman Agam menulis puisi.Ini pun penting. Paling tidak 
inilah yang melekat kuat di benakku. Berdasarkan pengalaman ini, Agam Wispi akhirnya 
sampai pada kesimpulan bahwa "puisi yang baik itu adalah puisi yang sederhana". 
Sedangkan menulis "puisi sederhana tidaklah sederhana". Lahirnya "puisi sederhana" 
menuntut syarat kematangan sebagai anak manusia dan penyair.Kesimpulan ini barangkali 
merupakan tambahan atas nasehatnya kepada Amarzan Ismail Hamid, supaya dalam berpuisi 
Agam menganjurkannya "Berusaha berbeda" [Lihat: Majalah Medium, Jakarta, 30 Juli-12 
Agustus 2003].

-"Berbeda dari apa?" tanya Amarzan.

+ "Ya, berbeda saja".

Ketika membicarakan soal "berbeda" ini saat kami bertemu di TIM Jakarta setahun lalu, 
Amarzan menyangkutkannya dengan bagaimana menulis "puisi politik". Keterkaitan ini 
dihubungkan oleh Amarzan dengan pernyataan Wispi kepadanya: 


"Bagi saya yang penting bukan puisi yang bagus atau tidak bagus, tapi puisi yang 
menyentuh atau tak menyentuh. Atau, secara sederhana puisi yang puisi" [Lihat:Majalah 
Medium, Jakarta, 30 Juli-12 Agustus 2003]. 


Barangkali pernyataan "berbeda" ini selain menjadi diri sendiri juga mengkritik 
keadaan perpuisian di kalangan "progresif revolusioner" pada waktu itu yang oleh 
Amarzan dikatakan:

"[]...sudah sesak dengan kata-kata aus dan dikunyah terus-menerus [dimamah-biak 
menurut istilah Wispi], atau metafora yang dangkal, dan agak sulit dimaafkan" [Ibid]. 


Di hadapan keadaan begini, Wispi mengeluarkan anjuran untuk "berbeda", agar menulis 
"puisi yang puisi" karena puisi adalah tetap puisi sedangkan politik adalah tema yang 
diolah dan cara menuangkan tema politik dan apa saja ke dalam puisi kiranya patut 
mempertahankan ciri-ciri puitisitas.


Filem dokumenter biografis tentang Wispi lebih melukiskan pergulatan Wispi sebagai 
penyair untuk menuliskan "puisi yang puisi" dibandingkan dengan pergulatan pemikiran. 
Apalagi seperti yang dikatakan oleh Amarzan bahwa "Agam Wispi tak pernah 
memperbincangkan teori". Pergulatan Wispi -- dalam filem ini -- lebih menjurus ke 
pergulatan tekhnis kepenyairan karena ia masih tidak bisa melepaskan diri dari 
"ingatan ideologis" jika menggunakan istilah Amarzan. "Ingatan ideologis" ini sering 
mengalahkan "ingatan empiris" bahkan "ingatan emosional". Banyak segi tentang Agam  
belum terungkapkan melalui filem dokumenter ini, tidak sebanyak yang terungkapkan oleh 
filem tentang Pram.  Betapa pun usaha Yayasan Lontar mendokumentasi kehidupan seorang 
sastrawan, tetap sesuatu yang sangat berharga karena itu aku menagih produksi John 
McGlynn dan "crew" Yayasan Lontar selanjutnya termasuk tentang Taufiq Ismail. 


***



Lepas dari segi kekurangan-kekurangan tekhnis,  "Hari Sastra Indonesia" Pertama di 
Paris mempunyai arti yang patut dikonsolidasi lebih lanjut oleh para penerbit, 
sastrawan dan pekerja budaya dan lembaga-lembaga terkait dari ketiga negeri: 
Indonesia, Belanda dan Perancis. "Hari Sastra Indonesia" ini telah mencoba mengangkat 
ke permukaan hubungan tradisional triangulaire di berbagai bidang yang selama ini 
kurang diperhatikan. "Hari Sastra Indonesia" Pertama telah menarik perhatian berbagai 
kalangan terhadap adanya hubungan saling menguntungkan ini dan persepektif yang 
mungkin digalakkan. "Hari Sastra Indonesia" juga telah mengungkapkan potensi besar 
dari hubungan tradisional triangulaire di samping mengungkapkan berbagai masalah 
penting dalam sastra-seni, politik serta teoritis. Waktu sehari memang tidak padan 
untuk menjawab semua permasalahan esensil tapi paling tidak "Hari Sastra Indonesia" 
Pertama ini telah mengangkat serangkaian pertanyaan ke permukaan. Tidak pernah selama 
ini, kudapatkan ada kegiatan sejenis dengan mengangkat persoalan-persoalan esensil 
sedemikian di negeri mana pun. Tidak pernah kudapatkan juga ada perhatian demikian 
hangat dari pihak resmi Perancis dan Belanda terhadap kegiatan sastra-seni seperti 
yang diberikan kepada penyelenggaraan "Hari Sastra Indonesia" Pertama di Paris ini. 
Barangkali pengetahuanku terbatas. Yang ditinggalkan oleh "Hari Sastra Indonesia" 
adalah sebuah pertanyaan: Apa-bagaimana selanjutnya untuk mengkonsolidasi hasil yang 
sudah dicapai. Pintu yang sudah dibuka oleh Lembaga Persahabatan Perancis-Indonesia 
"Pasar Malam" akankah tidak terus dimasuki dan dibiarkan menganga saja dibentur-bentur 
angin? Kesempatan atau peluang telah dibuka. Jika meminjam kata-kata Heraclitus: "Kita 
tidak pernah dua kali menyeberangi sungai yang sama". Sadar akan keadaan begini, orang 
Vięt Nam telah menteoritisasikan keadaan ini ke dalam "teori kesempatan". Mengapa 
tidak kita belajar dari Vięt Nam?



Paris, Oktober 2004
-----------------
JJ.KUSNI


[Selesai]


Catatan:

Foto terlampir:John McGlynn  dari Yayasan Lontar,Jakarta, produsen filem dokumenter 
biografis Pramoedya A.Toer,bersama Joesoef Isak dari Hasta Mitra, Jakarta dalam  "Hari 
Sastra Indonesia" Pertama  yang berlangsung di l'Institut  Néerlandais, Paris ,  9 
Oktober 2004.[Dokumen JJK].



[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Make a clean sweep of pop-up ads. Yahoo! Companion Toolbar.
Now with Pop-Up Blocker. Get it for free!
http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih 
Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Posting: [EMAIL PROTECTED]
5. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
6. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
7. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke