SURAT KEPADA ORANG SEKAMPUNG
PROSES DESIVILISASI?! [3] Dengan melaksanakan politik kebudayaan "ragi usang" dan "pengosongan gelas", kolonialisme Belanda yang dikemudian disokong oleh elite baru Dayak yang merasa diri sebagai "bangsawan Dayak", secara hakiki sebenarnya telah melakukan genosid budaya. Yang mencengangkan adalah kebanggaan Dayak-Dayak budak Belanda itu dalam turut melakukan bunuh diri budaya. Agresi kebudayaan yang merupakan sekaligus proses desivilisasi orang Dayak ini tidak berhenti di sini saja. Genosid budaya di atas dilanjutkan oleh kalangan tertentu, juga termasuk orang Dayak sendiri, dengan "memusyrikkan" budaya Dayak terutama budaya Kaharingan. Gejala ini muncul seiring dengan masuknya pedagang-pedagang dari Kalimantan Selatan. Orang-orang Dayak yang "memusyrikkan" budaya Dayak ini termasuk mereka yang kemudian malu menyebut diri sebagai Dayak. "Pemusyrikan" budaya Dayak oleh penganut-penganut agama Islam ini, sebenarnya berangkat dari kepentingan membangun basis perdagangan [baca: ekonomi mereka]. Kepentingan ekonomi pedagang primer ini [seperti halnya Belanda adalah bangsa pedagang primer] kemudian menyusup ke bidang politik. Mereka mencoba merebut kekuasaan politik untuk mengokohkan dan mengkonsolidasi kepentingan ekonomi mereka. Di Tumbang Sanamang, Katingan, misalnya, untuk kepentingan ini, seorang sopir truk dari Banjar ditunjuk oleh wedana untuk menjadi camat, sementara camat yang secara pengalaman, kapasitas dan kedinasan berhak karena ia Dayak Kaharingan disisihkan dengan gampang [Percakapan JJK dengan Tiyel Djelau, 2001]. Barangkali apa yang dialami oleh A.D Nihin, sekwilda propinsi Kalteng sekarang, yang diminta oleh Gubernur A. Gani untuk turun jabatan dalam rangka pemilihan gubernur Kalteng, merupakan varian ulangan dari pengalaman Tumbang Sanamang. Akibat lebih lanjut yang berlangsung sampai sekarang, masalah agama dijadikan syarat dan perhitungan dalam pemilihan pos-pos kunci seperti gubernur, sekwilda, bupat bahkan camat. Konflik etnik dan agama pun dicetuskan atau dicoba dicetuskan. Keadaan sekarang, akan menjadi terbaca jelas jika kita memahami sejarah, termasuk sejarah daerah. Tanpa pemahaman ini bisa dipahami jika ada aktivis LSM yang memandang ringan masalah nasib budaya Dayak hanya dengan mengatakan "lapor saja ke LIPI" sambil merasa diri sebagai pembela kepentingan penduduk daerah [lihat:milis [EMAIL PROTECTED], 31 Januari 2005]. Ucapan orang yang sama sekali tidak mengerti sejarah lokal, tidak paham struktur kekuasaan politik dan perangkatnya,dan jauh dari pemahaman letak dan fungsi serta makna kebudayaan. Masuknya dua agama besar ini dengan kepentingan politik dan ekonomi masing-masing pendukungnya menjadikan agama di Kalteng berkembang menjadi kendaraan politik dan ekonomi. Dayak secara budaya terpecah-belah. Kepentingan ini tercermin dari ucapan orang-orang Banjar yang Islam di Kalteng yang mengatakan bahwa "Palangka Raya" berarti "palang pintu yang sudah dibuka". Pada zaman Warsito jadi gubernur, Kaharingan yang disebut agama itu pun dijadikan kendaraan politik merampok oleh Warsito. Untuk menghancurkan bangkitnya Dayak disediakan dana besar bermiliaran rupiah dati hasil HPH, ditopang oleh tim pemikir tujuh orang serta organisasi-organisasi tertentu. Untuk pemilihan Bupati di Kuala Kapuas, orang-orang Banjar didatangkan dan dijadikan penduduk setempat secara darurat. Periode Kalteng Di bawah Tjilik Riwut: Kalteng sebagai propinsi berdiri di tahun 1957 melalui pemberontakan bersenjata oleh seluruh komunitas Dayak di bawah pimpinan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila [GMTPS].Keinginan membangun Kalteng sebagai propinsi yang hampir seluas Jawa, ada di impian komunitas Dayak sejak lama, sejak Belanda masih menduduki Indonesia. Untuk mewujudkan keinginan ini berbagai organisasi dan usaha serta didirikan, lobbi-lobbi berbagai tingkat dilakukan. Yang terpenting misalnya adalah organisasi Pakat Dayak. Pada zaman Belanda, Kalteng merupakan bagian dari propinsi Kalsel beribukotakan Banjarmasin. Dengan menjadi bagian dari propinsi Kalsel, daerah yang sekarang menjadi propinsi Kalteng menjadi sangat tergantung pada Kalsel.Hasil ekspor dari Kalteng dikendalikan dan dimanfaatkan oleh Banjarmasin, dengan demikian mimpi membangun masyarakat Dayak tidak mungkin terwujud karena ketiadaan beaya dan oleh propinsi diabaikan. Kalteng di bawah pemerintahan di Banjarmasin hanya jadi sapi perahan. Padahal untuk mengibarkan panji kemerdekaan yang dilambangkan oleh Merah Putih, Kalteng, terutama dilakukan oleh putera-puteri Kalteng sendiri, dengan pendropan pasukan Tjilik Riwut di Kalteng oleh Angkatan Udara Republik Indonesia, Yogyakarta, dengan isntruksi langsung dari Soekarno dan Jendral Soedirman. Dengan pendropan pasukan payung pertama ini [monumennya terdapat di Pangkalan Bun], di Kalteng berkembang gerakan gerilya di berbagai sungai. Mimpi Merah Putih, mimpi kemerdekaan adalah mimpi kebangkitan Dayak, bukan berjuang untuk menjadikan Dayak, komunitas jipen [budak]. Antara mimpi dan kenyataan memang terdapat jarak. Ketika kemerdekaan Indonesia secara terpaksa diakui oleh Belanda melalui KMB 1949, daerah yang sekarang menjadi Kalteng tetap merupakan bagian dari propinsi Kalsel. Komunitas Dayak Kalteng merasa kecewa dan melancarkan pemberontakan bersenjata meminta Jakarta mengakui dan menjadikan Kalteng sebagai sebuah propinsi mandiri. Propinsi sendiri dan bukan kemerdekaan. [Di sini saya tidak memasuki masalah apakah Tjilik Riwut berjasa atau tidak dalam perjuangan pembentukan Kalteng sebagai propinsi seperti yang disinggung oleh pernyataan pihak tertentu yang dari kalangan akademisi Dayak, karena berada di luar konteks tulisan ini.Hanya saja saya menganggap pernyataan demikian kurang dipertimbangkan matang-matang dampak politik-sosialnya, sekalipun mengatasnamai obyektivitas sejarah. Justru dari segi ini, saya kira pernyataan demikian sebagai tergesa-gesa dan menjadi sangat lemah karena tidak dilengkapi dengan data]. Pemerintah Pusat di Jakarta akhirnya terpaksa menyetujui tuntutan yang diimpikan sejak lama oleh komunitas Dayak Kalteng. Ya saya sayangkan mengapa pemerintah pusat baru menanggapi aspirasi daerah setelah menumpahkan darah seakan-akan nyawa anak bangsa dan negeri tidak punya arti bagi pemerintah pusat. Berdirinya Kalteng pada 1957 merupakan periode baru bagi komunitas Dayak Kalteng. Bisa dikatakan periode renaissance Dayak Kalteng. Paris, Februari 2005. -------------------- JJ.KUSNI [Bersambung....] [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> DonorsChoose. A simple way to provide underprivileged children resources often lacking in public schools. Fund a student project in NYC/NC today! http://us.click.yahoo.com/5F6XtA/.WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM --------------------------------------------------------------------~-> *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.uni.cc *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/